"Saya benar-benar ndhak paham, sebenarnya dari mana Juragan tahu kalau Arni masih menyimpan rasa yang mendalam kepada Muri?"
Pertanyaan itu sudah tiga kali dilontarkan oleh Paklik Sobirin, dan tiga kali pula aku mengabaikannya. Ini benar-benar jenis pertanyaan yang membutuhkan jawaban panjang kali lebar yang membuatku malas benar untuk membahasnya. Sebab aku yakin, jika aku menjawab satu, ia akan bertanya lebih. Dan begitu seterusnya.
Aku mendesah sesekali sambil menyapu sekeliling kebun belakang kediamanku. Ya, sekarang sudah berada di Kemuning. Tentu, setelah kejadian buruk itu dengan Arni. Dia mendiamiku, seolah-olah apa yang malam itu kukatakan adalah hal yang salah. Bisa saja dia menolak kenyataan jika hatinya ndhak bisa lepas dari Muri. Tapi, matanya ndhak pernah bisa untuk dibohongi. Sorot mata orang pura-pura, sorot mata orang terluka, dan sorot mata orang gelisah. Semua tampak terpampang nyata.
"Saya benar-benar ndhak paham, sebenarnya dari mana Juragan tahu kalau Arni masih menyimpan rasa yang mendalam kepada Muri?"
Dan itu adalah kali keempat Paklik Sobirin bertanya kepadaku. Rupanya, dia cukup jengkel karena sikap diamku selama ini.
Aku tersenyum, menundukkan pandanganku kemudian melirik ke arah Paklik Sobirin yang sudah memandangku lekat-lekat.
"Sebab apa yang Arni lakukan, sama persis dengan apa yang Biung lakukan...," kubilang. Tampaknya, Paklik Sobirin ndhak paham dengan ucapanku. "Kamu tahu, Paklik, di setiap malam di hari kelahiran dan kematian Romo Adrian, Biung selalu berada di bibir pintu, menggenggam erat-erat bibir pintu sambil pandangannya menerawang entah ke mana. Tatapannya kosong, senyumnya hilang. Seolah menunggu, tapi ndhak tahu apa yang ia tunggu. Seolah berharap, tapi ndhak tahu apa yang ia harapkan. Dan pada akhirnya, semua rasa kecewa karena kehilangan itu menyeruak jadi satu. Menjadi puing-puing kesedihan yang ia coba tutupi dengan sangat apik. Aku, melihat tatapan kosong itu di mata Arni. Tatkala ia diam-diam berdiri di bibir jendela, menerawang entah ke mana, dan diam-diam ia menangis. Seolah, dia masih berharap jika kejadian ini ndhak terjadi. Seolah ia masih berharap jika Muri—suaminya, masih bisa berubah dan menjemputnya untuk kembali. Paklik pernah merasakan seperti itu?"
Paklik Sobirin tampak menggeleng, dia kemudian memandangku lekat-lekat seolah menemukan sesuatu.
"Saya juga pernah melihat Ndoro Larsati seperti itu, dan dari jauh-jauh Juragan Nathan mengamati dalam diam. Aku pikir, itu karena Ndoro Larasati bertengkar dengan Juragan Nathan, toh. Rupanya bukan?" tanya Paklik Sobirin. Aku menggeleng.
"Yang kutahu, Romo Nathan ndhak pernah membuat Biung benar-benar kesal. Dalam artian, senyumnya Biung saja Romo jaga, apalagi air matanya. Dan kurasa baru kemarin karenaku itu Biung menangis, dan sedikit bersitegang dengan Romo Nathan. Iya, itu baru pertama kalinya...," kubilang. "Itulah sebabnya aku sangat salut dengan Romo Nathan, dia itu benar-benar pecinta sejati, Paklik. Meski dia tahu di hati Biung masih terpatri rapi nama Romo Adrian di sana, meski dia tahu jika Biung di waktu-waktu tertentu masih mengharapkan kehadiran Romo Adrian. Tapi Romo Nathan ndhak pernah marah tentang itu, Romo Nathan selalu memberikan waktu bagi Biung untuk menikmati kerinduannya kepada Romo Adrian. Apakah, ada lelaki yang bisa seperti Romo Nathan sekarang?" tanyaku. Paklik Sobirin masih diam. "Itulah kenapa aku ndhak berani dengannya. Meski aku tahu betul Romo Nathan bukanlah Romo kandungku. Aku sangat menghormatinya, sebab dia begitu menghormati Biungku. Terlebih, ndhak pernah sedikit pun Romo Nathan membedakan aku dan Rianti. Dia mendidikku, dan merawatku seperti anaknya sendiri. Terlepas aku ini adalah keponakannya."
"Lantas, jika benar Arni masih mencintai Muri. Kenapa sampai dia menggoda Juragan Arjuna?" tanya Paklik Sobirin.
Sepertinya dia cukup penasaran dengan hal-hal mengenai hubunganku dengan Arni. Atau bahkan, ia sengaja banyak bertanya karena telah disuruh oleh Romo Nathan.
"Karena dia takut, jika dia telah kehilangan cintanya dia akan sendirian. Maka dari itu dia seolah menggantungkan harapannya kepadaku. Sebab dia percaya, jika aku akan memberinya apa yang ndhak bisa ia dapatkan dengan Muri. Itu sebabnya dia ingin memastikan dirinya sendiri jika aku benar-benar memegang ucapanku atasnya. Itulah kenapa dia bisa bersikap seagresif itu," kubilang.
Paklik Sobirin tampak mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah dia paham dengan apa yang kubicarakan.
"Sekarang yang bisa kulakukan adalah memperbaiki semuanya, Paklik. Sebelum semuanya menjadi runyam dan terlambat sama sekali,"
*****
Pagi ini aku sudah berada di pasar. Meski kata Romo untuk saat ini aku lebih baik diam di rumah, tapi ndhak aku indahkan. Aku sedang ingin berkeliling, mencari beberapa barang meski mata orang-orang kampung tertuju padaku. Bisikan-bisikan orang-orang kampung pun sama. Aku tahu sejatinya apa yang kulakukan adalah hal yang sangat buruk, membawa kabur istri orang bukanlah tindakan yang pantas untuk ditiru. Bahkan, ndhak menerima hukum kampung, dan disidang di balai desa pun itu benar-benar suatu keajaiban. Aku yakin, mereka sungkan dengan Romo Nathan. Dan mereka tipikal penduduk yang beraninya main belakang, ndhak seperti zaman Biung dulu, terlalu banyak orang-orang pengadu domba, jadi semuanya menjadi menderita.
"Mau jeruknya, Bulik, dua kilo," kataku kepada seorang penjual jeruk.
Bulik itu tampak melayani pesananku, sementara aku terus mencari. Di mana....
Ya, aku sedang mencari seseorang, dan ke pasar hanyalah alasanku untuk bisa barang sejenak melihat-lihat, atau malah melepas penat.
Kuambil jeruk dari Bulik penjual itu, kemudian aku melangkah menepi. Menyusuri jalanan yang agaknya sepi, sambil menyibak semak-semak yang ada di bagian kirinya.
Ndhak berapa lama dari jalan yang kuambil, ada sebuah lorong kecil. Di ujung lorong sana, ada sebuah rumah yang tampak berdiri mungil. Rumah yang begitu dekat dengan hutan bambu, rumah dari kayu yang terkesan sangat lucu.
Namun bagaimana pun, rumah itu ndhak sama seperti biasanya. Dulu, kulihat rumah ini tampak ramai. Namun sekarang, rumah itu tampak sepi. Hanya ada seorang lelaki yang sedang duduk termenung, bertopang dagu seolah sedang menunggu sesuatu.
"Menunggu ndhak akan mengubah apa pun dalam hidupmu," kataku. Kemudian duduk di samping sosok itu.
Laki-laki itu adalah Muri, agaknya dia terkejut melihatku datang ke rumahnya. Gurat emosi langsung terpancar dengan begitu nyata.
"Aku datang sebagai kawan, bukan lawan," lanjutku.
Muri tampak diam, dia bahkan benar-benar mengacuhkanku. Kuberikan sekantong jeruk kepadanya, tapi diabaikan begitu saja.
"Kenapa kamu bersikap bodoh seperti ini?" tanyaku lagi. Dan lagi-lagi Muri mengabaikanku. Sialan tua bangka satu ini.
"Kamu pikir, dengan berdiam diri seperti ini, lantas Arni akan datang kepadamu bersama dengan anak-anak kalian, meminta maaf karena telah pergi dengan sangat penuh penyesalan?"
Kali ini Muri memandangku, tatapannya begitu beringas tapi dia ndhak melakukan apa pun. Bisa saja dia membacokku sekarang, menebas leherku atau melakukan apa pun. Tapi kali ini, Muri ndhak melakukan itu.
"Ingat, Muri, apa yang kamu lakukan sampai membuat Arni pergi. Ini bukan perkara aku yang membawanya lari. Tapi, ini perkara kelakuanmu selama ini kepada Arni. Toh, seandainya waktu itu aku ndhak membawanya pergi, aku yakin jika Arni akan pergi dari rumah. Perempuan mana toh yang betah jika dipukuli setiap hari? Perempuan mana yang betah jika ndhak pernah dicukupi? Ndhak ada, jawabannya adalah ndhak ada. Dan apakah kamu sudah merenungi semua kesalahanmu ini, Muri?"
"Ndhak usah banyak ucap, kamu! Anak kemarin sore mau berucap seperti itu. Kamu—"
"Aku hanya menjaga istri, dan anakmu. Biar bagaimanapun aku teramat sangat sadar jika Arni adalah istrimu. Jadi jangan pernah berpikir jika aku telah menyentuh istrimu itu. Endhak, Muri... apa yang telah menjadi prasangkamu ndhak benar sama sekali. Meski aku sendiri ndhak tahu, dapat kabar busuk itu dari mana kamu?"
Muri kembali diam, dia ndhak mengatakan apa pun barang beberapa menit. Bahkan, sudah dua batang rokok ia habiskan. Tapi dia memilih untuk bungkam.
"Di dana Arni sehat, anak-anakmu juga sehat. Kamu tahu apa yang Arni lakukan di saat-saat seperti ini?" kataku. Kini Muri tampak memandang ke arahku. Tepat benar jika Muri masih begitu mencintai Arni. Lihatlah, betapa ia sangat penasaran dengan apa yang istrinya sedang lakukan. "Dia akan berdiri di balik jendela, sambil menerawang. Seolah-olah menunggu suami yang dicintainya untuk datang. Tapi sayangnya, lelaki yang ia cintai rupanya adalah pecundang. Bagaimana endhak toh, barang sejenak merenungkan kesalahannya saja ndhak mau. Apalagi berniat untuk datang menjemput...," sindirku. Aku kemudian tertawa, sengaja mengejekknya agar dia memandang ke arahku. "Tapi sebelum menjemput, kurasa kamu harus merubah kepribadianmu dulu. Perangaimu sangat busuk, ndhak pantes bersanding dengan Arni. Ibarat kotoran, ndhak pantes bersanding dengan sekuntum bunga yang cantik."
"Tapi kamu juga harus tahu, tanpa adanya kotoran, bunga ndhak akan terpupuk dengan baik,"
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Setelah menepuk bahunya aku pun pergi. Apa pun keputusan dua manusia itu setelah ini aku ndhak peduli. Yang jelas aku sudah ndhak ada hubungannya lagi dengan mereka. Maksudku, aku telah meluruskan apa pun yang membuat Muri salah paham. Kurasa, itu lebih dari cukup dari pada terus membuat kesalahpahaman ini berlanjut. Tinggal mereka berdua, bagaimana meredam ego masing-masing. Bagaimana mengalahkan tabiat buruk demi cinta, atau malah... sebaliknya.
*****
Hari ini aku sedang duduk bersama Biung. Kondisinya sekarang sudah benar-benar pulih, setelah beberapa hari bermanja-manja denganku. Ndhak mau jauh, katanya. Tapi setelah itu manjanya sama Romo Nathan. Lihatlah betapa dua hari ini keduanya nyaris ndhak keluar kamar kalau bukan untuk makan, dan sekadar membersihkan diri di kamar mandi. Rupanya, penyatuan rindu kepada orang yang dicintai benar-benar seperti itu. Apakah nanti aku, dan Manis bisa seperti itu juga? Ah, kurasa jalan kami akan berbeda.
"Juna, apa benar apa yang kamu ucapkan kepada Biung? Kamu ndhak bohong, toh?" tanya Biung yang berhasil menarik dunia khayalku kembali ke alam sadar.
Sepertinya Biung benar-benar penasaran, rasa takutnya seolah ia menginginkan sebuah kepastian.
"Biung, aku ini putramu. Ucapanmu adalah perintah untukku. Bahkan jika Biung ingin aku mati pun, aku akan dengan segera. Jadi, jangan—"
Biung langsung menutup mulutku dengan telunjuknya. Memelukku dengan begitu erat.
"Jangan...," katanya, seolah-olah benar jika ia sedang ketakutan. "Jangan bilang kematian, Anakku. Bagaimana bisa kamu mengatakan kematian dengan begitu mudahnya? Seolah Biung adalah sosok paling jahat yang bisa mencabut nyawamu hanya karena Biung ingin. Hanya karena Biung ndhak menyukai perilakumu sebagai laki-laki. Berhenti berucap seperti itu lagi, Arjuna, sungguh. Sebab sejatinya, kematianlah yang merenggut orang yang berharga dalam hidup Biung."
Aku langsung menggeleng tatkala Biung mengatakan hal itu. Endhak, ini sama sekali ndhak adil. Jujur, meski aku tahu dengan baik jika Biung sangat mencintai Romo Adrian, tapi entah kenapa, setiap kali Biung mengatakan hal itu, benar-benar membuatku terasa sesak. Benar-benar membuatku terasa ciut di depan Romo Nathan. Aku tahu sejatinya jika cinta memang ndhak ada yang memiliki hak untuk menghentikannya, bahkan tetap menjaganya hidup dalam sanubari adalah hal paling indah yang pernah ada. Hanya saja, untuk urusan ini, aku ingin Biung benar-benar menyimpannya di dalam sanubari. Aku ingin Biung benar-benar hanya menjadikannya sebagai rahasia terindah, yang hanya Biung, Romo Adrian, juga Gusti Pangeran yang tahu betapa gila cinta Biung untuk Romo Adrian. Seendhaknya ndhak perlu diucap, ndhak perlu Romo Nathan tahu. Meski aku sendiri pun paham, jika jauh sekali di dalam lubuk hati Romo Nathan juga mengetahui akan hal itu.
"Jangan pernah berkata seperti itu, Biung. Ndhak baik...," kubilang. Biung tampak mengerutkan alisnya, sepertinya dia ndhak paham dengan apa yang aku katakan. "Dengan Biung berkata seperti ini, sadar ndhak bagaimana perasaan Romo Nathan jika tahu? Juna tahu, kalau Biung ndhak ada niatan sedikit pun untuk menyakiti hati Romo Nathan, toh sekarang juga Biung teramat mencintai Romo Nathan. Namun, dengan terus mengungkit yang lalu itu bukanlah perkara yang baik. Diamnya Romo Nathan bukan berarti jika hatinya ndhak hancur, diamnya Romo Nathan bukan berarti jika dia akan baik-baik saja Biung berlaku seperti itu. Saranku, simpan rapat-rapat kenangan indah Biung dengan Romo. Biarkan itu tetap terpatri manis di sanubari, dan bagi kisah cinta itu berdua dengan Romo. Tanpa harus mengumbar itu di depan banyak orang. Sebab, sejatinya cinta hanya melibatkan dua orang yang akan bahagia di dalamnya, untuk selebihnya hanyalah pemanis semata."
Biung tersenyum tipis mendengar ucapanku yang panjang lebar itu, kemudian ia menepuk-nepuk bahuku dengan sayang.
"Kamu benar, Juna, sejatinya Biung juga merasa menjadi perempuan yang benar-benar sangat egois. Mementingkan diri sendiri dan larut dalam cinta lama yang dulu berakhir tragis. Sampai akhirnya, Biung ndhak peduli dengan perasaan Romomu. Ndhak peduli jika nanti dia akan hancur dan terluka. Terimakasih, telah mengingatkan Biung sejauh ini,"
Sungguh, hal yang sangat membahagiakan bagiku adalah kebahagiaan orangtuaku. Meski aku ndhak menampik jika orangtua kandungku adalah Romo Adrian. Tapi biar bagaimana pun, masa lalu adalah masa lalu. Masa lalu letaknya di belakang, itulah sebabnya ia menjadi kenangan. Dan bukan hal yang harus selalu menjadi bayangan.
"Lantas, apa benar kata Romomu jika kamu telah memiliki tambatan hati, Juna?" tanya Biung yang berhasil membuatku mendongkak untuk sekadar memandang manik matanya.
Kutelan ludahku dengan susah, kupaksakan seulas senyum meski rasanya benar-benar kaku. Kenapa Biung tiba-tiba bertanya perihal tambatan hatiku? Apakah Biung telah mengetahui suatu hal perkara tentang diriku? Jika iya, dari mana dia tahu akan itu? Atau dari Romo Nathan? Atau malah ini murni insting dari seorang Biung kepada anaknya?
"Kenapa kamu ndhak mengatakan ini kepada Biung sedari lama? Kamu tahu toh, jika Biung telah ingin memiliki seorang menantu. Lebih-lebih, menimang seorang cucu," katanya lagi. Dan benar saja ucapan Biung membuat keringatku langsung keluar tanpa aba-aba.
Mati aku!
"Siapa?" tanyanya.
Bagaimana toh ini. Kenapa Biung harus bertanya siapa? Bagaimana aku akan menjawabnya? Bisa-bisa Biung akan jatuh sakit lagi, murka kepadaku, kemudian menamparku. Sebab lagi-lagi menurutnya, aku telah jatuh hati kepada perempuan yang sudah menjadi milik orang.
Gusti, berat benar kisah cintaku ini, toh. Kenapa aku sampai bisa terjerat dalam kubangan masalah sepelik ini? Dalam kehidupanku di dalam masa mana pun, aku bahkan ndhak pernah mau, dan ndhak pernah ingin, meski dalam mimpi sekali pun, bisa mengalami hal seperti ini. Menjadi bahan gunjingan hanya karena semua orang memandangku telah merebut istri orang lain, terlebih telah membuat orang yang paling kusayangi kecewa. Biung, percayalah... kejadian kemarin adalah kejadian pertama, dan terakhir kalinya kubuat Biung kecewa. Aku janji, ndhak akan mengulanginya lagi.
"Siapa, Arjuna?" tanya Biung lagi yang tampak ndhak sabaran. Rupanya, hobi benar Biung ini mendesak. Apa Biung benar-benar penasaran, dengan siapa yang ada di dalam hatiku saat ini? Ah, dasar, Biung!
"Ya... ada," kujawab, sambil tersenyum jahil ke arahnya. Senyumku yang agak malu-malu, rupanya membuat Biung semakin penasaran dibuatnya. Lihatlah kedua mata indahnya itu. Terbelalak semakin lebar, seolah-olah ingin masuk ke dalam mataku, dan menjelajahi isi hatiku dengan paksa.
"Siapa?" tanyanya lagi. Kini, kedua tangannya sudah menggenggam tanganku erat-erat. Suatu bahasa tubuh khas Biung jika dia benar-benar sedang sangat penasaran.
"Orang," kujawab sambil menggaruk tengkukku. Gusti, hanya hendak mengatakan namanya saja aku merasa seberat ini. Rasanya bibirku benar-benar seperti diberi beban satu ton. Aku benar-benar ndhak tahu, jika mengaku telah jatuh hati kepada orangtua itu benar-benar seberat ini.
"Iya, Biung tahu kalau itu orang, toh. Masak iya kamu mau pacaran sama lelembut, toh, Jun... Jun," gemas Biung. Untung lelembut, kalau monyet repot nanti Biung!
"Ya, bagaimana lagi. Yang jelas dia adalah perempuan, Biung. Senyumnya manis, wajahnya manis, matanya tampak manis, rambutnya yang digerai begitu manis, kalau bicara juga manis," kubilang. Biung menggeleng-geleng. Iya, toh, Biung ndhak peka dengan kode yang kuberikan padanya. Padahal, nama perempuan itu sudah kuulang berkali-kali dalam jawabanku itu. Rupanya, Biung kurang pintar, dalam menerka nama orang.
"Manis...," seketika aliran darahku terasa berhenti, tatakala Biung mengatakan hal itu. Apakah Biung tahu jika perempuan itu yang kumaksud adalah Manis? "Kamu tahu anakku ini suka sama siapa? Kata romonya dia telah memiliki perempuan, saat kutanya jawabannya benar-benar ndhak jelas,"
Wajahku terasa sangat panas, tatkala melihat Manis yang datang mendekat sambil membawakan obat untuk Biung. Dia melirik ke arahku sekilas, kemudian ikut duduk bersama dengan kami. Bahasa tubuhnya benar-benar kaku, bahkan wajahnya ndhak berani sama sekali untuk sekadar melihatku, dan melihat Biung. Manis benar-benar menunduk, menunduk yang sampai ndhak bisa berkutik sama sekali. Gusti, lucu benar Manis ini, andai berdua pasti sudah kucubit hidung bangirnya.
"Wah, saya ndhak tahu, Ndoro. Itu kan urusan pribadi Arjuna, toh, mana mungkin saya tahu," Manis jawab, sambil melirik ke arahku. Wajahnya kemudian bersemu merah, lalu ia kembali menunduk malu-malu. Pintar benar dia bersandiwara, terlebih nada suaranya seolah-olah jika benar dia ndhak tahu apa-apa. Awas saja nanti, pasti setelah ini akan kujahili sampai dia ndhak bisa berkutik lagi.
"Lho, bukannya kalian itu sahabatan kental, toh. Masak dia ndhak ada cerita-cerita sama kamu?" tanya Biung yang tampak semakin penasaran. Aku tahu jika sejatinya Biung agaknya ndhak percaya dengan jawaban Manis. Jika dilogika, Manis adalah kawan baikku, jadi sangat ndhak mungkin sekali jika sekali, dua kali aku ndhak pernah bercerita perihal kekasih hatiku kepadanya. Atau malah, ndhak mungkin sekali kalau dia ndhak pernah tahu kalau aku pernah pacaran dengan pacarku. Padahal, pacarku adalah dia. "Lalu kalau kalian berdua itu melakukan apa saja, toh! Heran aku,"
"Kelon," cicitku.
Biung langsung melotot, kemudian memukul kepalaku. Sementara Manis tampak terbatuk-batuk dengan wajah merah padam. Aku benar-benar ingin tertawa saat ini juga melihat ekspresi Manis itu. Gusti, lucu benar dia ini, toh!
"Kamu itu ndhak sopan, lho, Juna. Kamu tahu toh kalau Manis itu calon istri Kamitua Minto? Becandamu itu, ndhak sopan benar. Jangan diulangi!" marahnya. Kemudian, memukul punggungku sampai aku mengaduh. Selalu seperti ini Biung, kalau marah selalu memukul punggungku. Tapi, yang menjadi fokusku sekarang bukanlah Biung, melainkan Manis.
Kulihat Manis sudah menunduk, aku yakin jika dia sedang malu karena ucapanku. Bagaimana caranya aku bilang sama Biung kalau perempuan yang kucintai itu Manis? Jika sampai benar aku mengatakan hal itu, maka prahara besar akan terjadi lagi. Biung pasti akan marah lagi. Faktanya, status Manis sekarang adalah calon istri dari Kamitua Minto jelek itu. Dan lagi-lagi, aku berada di posisi orang ke tiga sebagai perebut. Padahal jelas, akulah yang lebih dulu mencuri hati Manis. Memang, nasibku benar-benar ndhak semujur Romo Adrian.
"Anak mana toh, Juna? Kalau kamu ndhak mau bilang siapa perempuan itu, aku akan menyuruh Manis untuk mencari tahu sendiri lho," ancam Biung lagi. Rupanya Biung masih sangat keras kepala untuk sekadar tahu calon istriku siapa. Kuhela napas beratku, kemudian aku memandang Biung, dan Manis secara bergantian. Lebih baik, aku segera pergi, jika kalau ndhak nanti bisa-bisa aku benar-benar akan keceplosan karena desakan Biung.
"Silakan suruh Manis mencari, toh sebenarnya Manis sudah tahu jawabannya," kubilang.
Manis langsung memandangku, matanya melotot seolah ingin memarahiku. Aku langsung menjulurkan lidahku menjawabi ekspresinya yang lucu itu. Wajah memerah Manis, tampak begitu lucu.
Biarkan dia yang diberondong Biung dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepalaku pusing. Toh, dia pandai dalam urusan bersilat lidah. Dan aku yakin, karena rasa penasarannya Biung yang teramat tinggi, seorang Biung Larasati yang benar-benar super duper penasaran, dan akan selalu menanti jawaban pasti. Pasti ndhak akan melepaskan Manis sampai Manis mau membuka suara. Bahkan aku yakin, sampai pagi lagi pun, Biung ndhak akan melepaskan Manis begitu saja. Aku tersenyum melihat Biung yang sudah mendesak Manis, sementara Manis tampak ingin menangis seolah meminta pertolongan kepadaku. Kulambaikan tanganku tinggi-tinggi kepadanya. Ya, harusnya seperti itu. Harus rukun dengan calon mertua, jadi calon menantu harus nurut, dan baik. Iya, toh?