Sore ini, aku berada di kota lagi. Duduk berdua dalam diam bersama dengan Arni. Dia dengan pikirannya, sementara aku pun juga. Sembari, sesekali memandang ke arahnya yang tampak sedang melamun. Penerawangannya sangat jauh, seolah-olah apa yang dipikirkan adalah perkara yang teramat berat. Jujur, aku seperti merasakan apa yang Arni rasakan. Setelah ini, dia ingin bagaimana? Setelah ini dia harus bagaimana? Dia bukanlah seorang perempuan yang hanya membawa sendiri, melainkan memiliki dua tanggung jawab di pundaknya, yaitu anak-anaknya. Jadi, bagaimana bisa dia bahagia di saat yang sangat ndhak membahagiakan untuknya?
"Besok sidangmu yang terakhir, betul?" tanyaku membuka percakapan. Kupandangi wajahnya yang tampak lesu, membuatku tersenyum getir. Benar, memang. Seharusnya aku ndhak melangkah sejauh ini. Seharusnya, aku ndhak pernah mencampuri urusan rumah tangga orang sampai sejauh ini. Seharusnya aku bersikap layaknya manusia pada umumnya, bukan malah menjadi sok pahlawan, yang bahkan yang kutolong belum tentu bahagia dengan apa yang telah kulakukan.
Arni memandangku sambil mengerjapkan matanya.
"Mau ditunda lagi?" tanyaku lagi. Dia kembali tampak kebingungan. Dia benar-benar ndhak fokus, denganku saat ini. Kurasa, pikirannya benar-benar ndhak ada di sini sekarang. "Ndhak usah dibahas, itu urusanmu. Bukan urusanku," kataku lagi. Lebih baik untuk mengakhiri percakapan yang hanya aku menjadi manusia waras di sini, dari pada aku hanya berbicara seorang diri.
Arni memasang senyum kaku, mimiknya tampak ndhak enak hati karena telah mengabaikan ucapanku. Membuatku menepuk bahunya, memberitahu jika aku benar-benar paham, bagaimana dia bisa bersikap seperti itu. Aku kemudian menghela napas, melihat ke arah luar ada bayangan Ningrum yang tampak semakin jelas tatkala ia mendekat.
"Juragan! Juragan!" Ningrum memanggil namaku, dari kejauhan dia berlarian lalumemeluk tubuhku. Kuangkat dia di pangkuanku, kucium pipi lembutnya kemudian dia memeluk erat leherku. Rasanya benar-benar seperti memiliki seorang anak kandung. Rasanya usiaku sudah benar-benar terlalu tua untuk melajang. Tapi, kapan aku melepas lajang pun aku ndhak tahu. Gusti, hidupku ini rasanya benar-benar paling ndhak jelas di dunia.
"Dari mana, Ndhuk? Tampaknya bahagia sekali, toh?" kutanya. Sebab penasaran juga, dia itu termasuk anak baru di tempat ini. Tapi mainnya sudah jauh. Sedari pagi sudah ndhak ada di rumah, dan sekarang baru pulang dengan wajah bahagianya. Aku tebak, jika Ningrum telah memiliki kawan akrab di sini. Melihat bagaimana kepribadian Ningrum yang mudah akrab, ndhak heran juga jika dia cepat bergaul dengan kawan baru. Ningrum ini mencontoh siapa, toh?
Dia mengangguk. "Aku dapat kawan baru, Juragan, baik...," dia bilang, tentu dengan semangat menggebu-gebu. Seolah apa yang dialaminya hari ini adalah hal yang benar-benar luar biasa dalam hidupnya. "Aku boleh pinjam beberapa mainannya," lanjutnya. Seketika, senyumku memudar tatkala Ningrum mengatakan hal itu. Hanya sekadar diperbolehkan meminjam mainan, Ningrum bisa sebahagia ini?
"Memangnya dulu ndhak ada yang minjamu mainan, Ndhuk?" kutanya. Ningrum menggeleng.
Aku tahu alasan di balik semua itu. Alasan klise yang membuat si miskin ndhak akan mendapatkan tempat di mana pun mereka berada. Dan alasan itu pula yang membuat dadaku terasa sesak ndhak terhingga. Bagaimana mungkin, ada manusia seperti ini di dunia ini? Bagaimana mungkin, Gusti Pangeran membuat kemiskinan tanpa ada kekayaan di dalamnya. Bahkan kebahagiaan pun, mereka seolah ndhak punya. Gusti, aku merasa bersyukur, telah terlahir di dalam keluargaku sekarang.
"Aku ndhak pernah membelikannya mainan, sebab ndhak ada uang untuk itu. Paling-paling kubuatkan dia timbangan dari pelepah pisang untuk dia mainkan, atau ndhak gitu, orang-orangan dari tanah liat. Kalau masih merajuk juga, kubuatkan dia boneka yang rambutnya berasal dari rambut jagung," kata Arni menerangkan. Seketika, aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Rasanya sudah lama, aku ndhak bernostalgia.
"Lalu sebagai badannya, kamu kasih kayu?" tebakku. Dia mengangguk, kemudian tertawa. Aku pun juga. "Rasanya ndhak hanya kamu yang berlaku seperti itu. Sebab Biungku dulu seperti itu, kalau Rianti menangis minta mainan, dengan segala cara Biung selalu membuatkan mainan-mainan lucu. Bahkan kamu tahu, Biung membuatkan Rianti bantal kecil, yang ia jahit dengan tangannya sendiri. Bahkan bantal itu sampai detik ini selalu menemani tidur Rianti. Ndhak bisa tidur dia kalau ndhak ada bantal itu. Padahal bantal itu benar-benar telah usang. Kalau aku kan laki-laki, mainan paling mudah adalah mobil-mobilan yang dibuatkan Romo dari kulit jeruk bali, atau kapal—kapalan, kalau ndhak begitu ya dibuatkan ketapel, untuk mengambili buah yang ada di kebun, atau sekadar mengetapel burung."
Aku sama sekali ndhak pernah menyangka, jika hal-hal yang dulu kuanggap sangat sepele. Rupanya, jika diceritakan saat ini telah menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Dan aku benar-benar ndhak menyangka, jika bukan hanya aku yang memiliki pengalaman indah itu. Tapi orang-orang lain juga. Salah satu hal yang membuatku bangga sebagai anak dari orang Kampung ya seperti ini. Sederhana, memang. Tapi kenangannya ndhak bisa digantikan oleh apa pun di dunia ini. Dan ndhak ternilai dengan uang berapa pun.
"Sama saja seperti anakku, dan bapaknya, toh. Bahkan, aku sering dimarahi tetangga gara-gara anakku mengetapel mangganya kemudian dibawa pulang," kata Arni lagi.
Kami kemudian tertawa seolah mengingat kejadian lucu yang sama. Sementara Arni kemudian kembali menundukkan kepalanya. Aku tahu sejatinya apa yang ada di dalam hatinya. Aku hanya sedang menunggu, kapan dia memiliki keberanian untuk jujur. Sekadar jujur pada perasaannya sendiri. Sebelum semuanya benar-benar akan berakhir dengan sia-sia. Sebab menurutku, apa pun itu. Baik takdir, dan cinta, ndhak akan pernah bisa berjalan sesuai kehendak kita, kalau kita ndhak mau berusaha. Bahkan sesuatu yang ditakdirkan oleh Gusti Pangeran pun, harus dengan perjuangan untuk mendapatkannya. Bukan diam saja.
"Kang Mas, boleh aku meminta kepadamu beberapa hal?" tanyanya.
Kutoleh Arni kemudian kusunggingkan sebuah senyum hangat kepadanya, agar ia tahu jika aku ndhak keberatan atas apa pun permintaannya. "Silakan, dengan senang hati aku akan membantu mengabulkannya selagi bisa," kataku meyakinkannya. Aku hanya ingin dia dan kedua anaknya merasa aman. AKu hanya ingin dia yakin, jika akulah yang mungkin membuat kehidupannya hancur. Maka aku akan bertanggung jawab sampai akhir untuk membantunya dalam urusan apa pun.
"Aku ingin berdagang, Kangmas. Aku ingin merubah hidupku, aku ingin belajar berdagang untuk bisa menjadi mandiri dan ndhak menggantungkan diri kepadamu lagi. Jadi, sudilah kiranya Kangmas meminjamiku modal untukku berdagang? Dan, sudilah kiranya Kangmas mengajariku bagaimana caranya menjadi pebisnis yang hebat? Aku ingin bisa mandiri, tanpa bergantung dengan laki-laki. Aku ingin bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Agar aku ndhak diremehkan lagi, agar aku ndhak diinjak-injak lagi, agar aku bisa melindungi harga diriku sendiri."
Aku diam untuk sesaat mendengar ucapan Arni yang mantab itu, seolah-olah melihat sosok Biung yang sedang berbicara dengan lantang dan penuh percaya diri. Tanpa sadar aku tersenyum, andai dia bukan istri orang, bisa saja aku jatuh hati dengannya. Melihat bagaimana cara dia memandang hidupnya yang pahit ini. Dia pantas dibantu, andai saja dia memiliki pendidikan cukup tinggi, aku yakin dia akan seperti Biung, dan Manis. Bisa mengangkat martabat kaum perempuan, bisa memperjuangkan kaum perempuan yang lemah, dan membuktikan kepada seluruh dunia jika perempuan itu juga bisa melakukan apa pun yang ia inginkan.
"Tentu, dengan senang hati, toh. Modal berapa pun, dan waktu kapan pun aku selalu siap untuk membantumu. Agar kamu bisa mandiri, dan ndhak diinjak-injak lagi oleh kaum laki-laki. Kurasa, Arni yang dulu sudah kembali, toh. Arni yang sempat membuatku jatuh hati," kubilang. Dia tersenyum.
Setelah itu, kami bercakap-cakap lama untuk membahas perihal rencana bisnis yang hendak Arni mulai rintis. Mulai dari bisnis apa, butuh modal, dan peralatan apa saja, serta tetek bengeknya. Arni sangat semangat untuk itu, bahkan apa yang kami bahas cukup untuk membuat Ningrum tertidur di pangkuanku. Setelah Arni yakin, kami pun bersepakat jika mulai minggu depan, aku akan menyuruh beberapa abdi dalem atau Manis untuk menemaninya membeli keperluan, dan aku yang mengantar. Sebab ndhak baik jika aku harus pergi berdua dengannya terus. Takut ada yang salah sangka.
*****
"Juragan, bahaya, Juragan. Bahaya!" teriak Paklik Sobirin sambil berlari ke arahku. Napasnya terengah, keringatnya tampak deras membanjiri kausnya sampai terlihat basah. Aku sama sekali ndhak tahu, sejak kapan Paklik Sobirin bisa seheboh itu. Padahal biasanya yang kutahu, dia adalah sosok yang tenang. Dan dari segala segi apa pun, penuh dengan unggah-ungguh yang patut dicontoh.
"Bahaya ada apa, toh?" kutanya. "Bulik Amah kelon sama laki-laki lain?" tebakku. Paklik menggeleng. "Kerbaumu yang banyak itu dimaling orang?" tebakku lagi. Paklik Sobirin kembali menggeleng. "Oh, mungkin kamu ndhak dapat jatah dari Bulik Amah, toh, iya toh?" tebakku.
"Bukan! Juragan ini!" marahnya. Aku menahan tawa. Lihatlah bagaimana wajah jeleknya yang jengkel itu. Tampak semakin jelek. Pantas dia bergaulnya dengan para kerbau-kerbau. Sampai wajahnya ndhak kalah sama kawan sepergaulannya itu. "Kebun teh, kebun teh dirusak orang, Juragan!" katanya.
Duh Gusti, kenapa bisa?!
Aku langsung berlari menuju kebun teh tanpa memedulikan Paklik Sobirin yang berteriak-teriak memanggilku. Pantas jika dia sangat panik. Tapi kurasa, seharusnya dia menceritakan lebih awal masalahnya. Bukan malah muter-muter seperti kitiran!
Ndhak berapa lama, aku pun sampai di perkebunan. Dan jelas saja, semua pepohonan teh yang ada di kebunku hancur berantakan! Semuanya rusak dan ndhak bisa dipanen. Aku bisa melihat, wajah terkejut para pemetik daun teh. Serta wajah gusar beberapa mandor yang ada di sana. Kurang ajar! Bajingan mana yang berani merusak kebun tehku? Bajingan mana yang berani main-main dengan Arjuna Hendarmoko! Aku benar-benar ndhak akan pernah melepaskan siapa pun yang berani mengusikku. Mengusik perkebunanku, yang berdampak pada nasib para pemetik kebunku. Aku pasti akan membuat perhitungan kepada siapa pun, yang telah lancang menginjak-injak kehormatanku sebagai Juragan Besar di Kampung ini!
"Juragan, ngapunten kami benar-benar ndhak tahu jika ada masalah seperti ini di kebun. Seharusnya, tadi malam kami mengunjungi kebun, untuk memastikan jika semua baik-baik saja. Seharusnya—"
"Cukup, ndhak usah menyalahkan diri kalian sendiri seperti itu, toh, Soleh. Cukup cari siapa pelakunya, itu saja," kubilang. Soleh tampak mengangguk. Rahangku mengeras menyaksikan bagaimana wajah para pemetik yang hendak menangis. Pasti, mereka risau jika hari ini mereka ndhak bisa memetik daun teh, maka mereka ndhak punya uang sebagai bekal membeli beras, dan sayur untuk dimasak hari ini.
"Apa ini ulah Muri, Juragan? Mengingat apa yang terjadi beberapa waktu terakhir antara Juragan dengan Muri," kata Soleh tampak hati-hati. Sepertinya, dia takut aku tersinggung. Aku berdehem, namun aku ndhak menjawab ucapan dari Soleh. Kupilah-pilah siapa gerangan orang yang mungkin bisa melakukan tindakan pengecut seperti ini. Namun, yang kutahu dengan jelas, hanya beberapa orang, dan orang itu adalah orang yang kukenal.
"Benar, Juragan, ini pasti ulah Muri," tambah Paklik Sobirin yang baru saja datang bersama dengan Paklik Junet.
"Harus dikasih pelajaran Muri sialan itu!" seru Paklik Junet ndhak terima. Memang Paklik Junet kadang-kadang menyebalkan. Tapi, ketika aku berada di dalam kesulitan. Paklik Junet pasti selalu datang paling depan untuk membantu. Bagaimanapun itu kondisinya.
"Bukan...," kataku, yang berhasil membuat mereka diam. "Pelakunya bukanlah Muri." Ya, pelakunya bukanlah Muri. Sebab aku tahu pasti, kondisi Muri sendiri saat ini seperti apa. Jangankan memikirkan untuk merusak perkebunan, bahkan memikirkan bagaimana nasib pernikahannya saja kurasa Muri ndhak sanggup melakukannya.
"Lantas siapa, Juna?" tanya Paklik Junet tampak penasaran.
"Ada," kubilang. Aku ndhak mungkin mengatakan siapa orang terbesar yang kucurigai saat ini. Sebab aku ndhak mau membuat gaduh, memancing konflik yang ndhak ada satu orang pun yang tahu. Aku harus mengurusnya sendiri, dan aku harus membuat perhitungan kepada manusia laknat itu sendiri.
Kemudian aku bergegas pergi, setelah meminjam motor Soleh. Beberapa mandor, beserta Paklik Sobirin, dan Paklik Junet mengikutiku. Meski aku yakin jika semua pasti akan penasaran ke mana aku akan pergi saat ini.
Pasti bajingan ndhak tahu diuntung itu ada di sana!
"Di mana Minto?!" tanyaku dengan nada tinggi setelah sampai di warung yang ndhak jauh dari balai desa.
Semuanya tampak berkasak-kusuk, kemudian menunjuk Minto dengan dagu mereka. Tanpa berani bertanya kepadaku ada apa? Atau sekadar menegurku. Iya, aku tahu. Masalahku dengan Arni, benar-benar mengnhancurkan karismaku sebagai seorang Juragan di Kampung ini.
Minto tampak asik bergurau dengan kawan-kawannya, kudatangi dia dengan langkah lebar-lebar kemudian kutinju pelipisnya tatkala ia menoleh.
Dia langsung terhuyung, bahkan kopi-kopi yang ada di meja depan Minto pun terguling berantakan. Semua pengunjung langsung berdiri, berteriak ketakutan bahkan berkumpul seolah-olah kami adalah sebuah tontonan.
"Apa maksud semua ini, Minto?!" tanyaku. Aku benar-benar ndhak habis pikir. Ternyata, begitu pengecut seorang Kamitua Minto. Bahkan saking pengecutnya, rasaya ingin kukuliti tubuhnya. Atau bahkan, ingin rasanya kubunuh sekarang juga.
Minto berdiri, dia mengusap pelipisnya kemudian memandangku dengan percaya diri. Ndhak ada sedikit pun rasa bersalah di sana. Pandangan congkaknya, senyuman sok menghinanya. Itu benar-benar membuat hatiku semakin dilecehkan sangat luar biasa.
"Lho, ada apa toh ini? Seorang Juragan besar kenapa datang-datang dan membuat keributan? Sungguh, ndhak elok peringai Juragan yang satu ini," katanya. Dengan nada mengejek yang begitu kentara.
"Apa maksudmu merusak kebunku, berengsek!" marahku, mencengkeram kerah kemejanya sampai ia menjinjit.
"Jangan menuduh tanpa bukti, Juragan yang terhormat. Kamu bisa tak laporkan, lho," ancamnya kemudian. Tahu dia jika aku ndhak memiliki bukti apa pun. Atau malah memang, jika kelakuan kurang ajarnya ini sudah disusun jauh-jauh hari. Dan dia dengan mulus menghilangkan semua bukti yang ada.
"Cih! Bermulut lamis sekali rupanya laki-laki bau tanah ini. Apakah menggunakan cara busuk seperti ini untuk menunjukkan betapa pecundangnya dirimu?"
Dan lagi-lagi, Minto tertawa, seolah apa yang kukatakan adalah lelucon belaka. Seolah-olah, memancing emosiku adalah tujuan utamanya. Tapi, endhak... aku bukan laki-laki rendahan sepertinya. Jika aku murka sekarang, sama saja aku dengannya. Aku harus tenang, semarah apa pun hatiku saat ini aku harus tenang.
"Kamu tahu, semua penduduk kampung ini semuanya sudah muak denganmu, Juragan. Jadi, peringai siapa yang busuk sekarang? Peringaiku, atau peringai lelaki yang membawa kabur istri orang? Kemudian sekarang, menggoda calon istri orang? Ck, seharusnya sampean ini berterimakasih kepadaku, lho. Sebab karenaku Juragan ndhak jadi disidang di balai desa oleh petinggi kampung. Tapi rupanya, Juragan cukup ndhak tahu malu untuk sekadar intropeksi diri, malah membuat ulah dan memancing keributan di sini. Sungguh kasihan sekali—"
BUUUK!!
"Lelaki yang banyak ucap itu ndhak ubahnya seperti banci, mengerti!" marahku.
"Heh, keturunan Londo, ndhak usah banyak bacot di sini kamu! Bukan hanya karena manukmu yang besar itu lantas kamu bergaya seolah kamu adalah laki-laki satu-satunya di kampung ini? Penjajah, selamanya penjajah. Penjajah ndhak ada hak untuk menguasai bumi pertiwi kami!" teriak seorang penduduk kampung, kemudian disambut dengan teriakan warga lainnya. (maaf ya, bukan untuk menyinggung siapa pun, hanya saja aku menggambarkan pemikiran orang zaman dahulu. Dan lagi, tidak semua orang zaman dulu kok memiliki pola pikir seperti itu)
"Iya, dasar Juragan ndhak tahu diri!" seru semua orang yang ada di sini. Kenapa jika aku keturunan Londo? Kenapa jika aku keturunan Tionghoa? Apa salahnya? Toh, aku sama-sama manusia seperti mereka yang asli penduduk pribumi. Aku adalah Arjuna Hendarmoko, yang lahir dan besar di bumi pertiwi. Jadi, bukankah aku sama saja dengan mereka?
Minto langsung melepaskan cengkeraman kerahnya dariku. Kemudian dia menepuk-nepuk bahuku, seolah-olah dia telah memenangkan sesuatu dariku.
Lalu, dia mendekatkan wajahnya pada telingaku. Dan dengan percaya diri dia pun berkata, "tenanglah, Arjuna... sebentar lagi Manis akan menikah denganku. Aku akan menceritakan bagaimana nanti Manis akan kukangkangi, bagaimana empuk dadanya yang kuremas dengan kedua tanganku, bagaimana ranum putingnya yang bisa kuhisap sepanjang waktu, dan bagaimana keperawannya kumiliki seutuhnya. Oh, ataukah kamu ingin melihatku mengangkanginya secara langsung saat malam pertama nanti? Akan kupastikan, Manis ndhak akan beristirahat barang sebentar untuk memuaskan nafsuku ini. Bukankah aku cukup baik—"
"Bajingan kamu, Minto!"
Aku langsung memukuli Minto dengan membabi-buta. Sungguh, dalam benakku ndhak pernah terbesit sedikit pun bisa bertemu dengan laki-laki seperti Minto ini. Bagaimana bisa, ada laki-laki sepertinya? Dan terlebih, aku sama sekali ndhak bisa membayangkan bagaimana jika Manis benar-benar menikah dengan lelaki bejat ini. Dia pasti hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu lelaki biadab ini. Kurang ajar!
Paklik Sobirin, dan Paklik Junet pun langsung berusaha menarikku agar menjauh dari Minto yang saat ini sudah terkapar ndhak berdaya. Sebentar lagi, jika bukan karena dua lelaki yang menghadangku ini pasti lelaki berengsek itu akan mati. Sebentar lagi, aku berhasil membunuhnya!
"Juragan, eling, Juragan! Tahan emosi, Juragan bisa membunuh Kamitua Minto!" (ingat) teriak Paklik Sobirin kepadaku.
"Ayo pulang, lebih baik kita pulang sebelum Arjuna semakin menggila," tambah Paklik Junet. Mereka berusaha sekuat tenaga menyeretku untuk pergi dari sana, tapi aku masih enggan.
Kuludahi Minto kemudian kutunjuk tepat di depan wajahnya. Dia, benar-benar ndhak akan selamat dari cengkeramanku.
"Semoga nanti kamu ndhak malu dengan ucapanmu itu," kubilang. Kemudian pergi meninggalkan Minto dan kawan-kawannya yang ada di sana.
Sungguh, sejatinya aku benar-benar ndhak peduli tentang pandangan orang kepadaku. Perihal jika aku ini adalah keturunan Belanda yang kata penduduk kampung sebaik apa pun aku, keturunan Belanda adalah keturunan Belanda, yang dulunya telah menjajah bangsa ini dengan begitu teganya. Atau anggapan lain jika aku ini anak haram. Sungguh, aku sama sekali ndhak peduli dengan itu.
"Kenapa kamu yakin jika Minto pelakunya, Juna?" tanya Paklik Junet saat kami sudah sampai di rumah.
"Firasat," kujawab. Paklik Junet melotot.
"Hanya berdasarkan firasat lantas kamu memukuli orang sampai hampir mati? Ndhak waras kamu," katanya kemudian.
"Sudah, Junet. Percaya sama Juragan Muda, praduganya itu kuat. Juragan bisa tahu apa yang orang lain ndhak tahu."
"Halah, memangnya dia dukun?" kata Paklik Junet lagi.
Kuabaikan ucapan mereka yang ndhak jelas itu, sebab mataku menangkap sosok Manis yang kini sedang mengenakan rok berwarna wungu terong itu. Sementara bibirnya diwarnai dengan gincu merah hati.
Dia mau ke mana?
"Manis!" kejarku. Dia berhenti, kemudian memandang ke arahku. "Mau ke mana, kamu?" tanyaku. Sebab penasaran, kenapa dia bisa berdandan seperti ini? "Kenapa dengan dandananmu? Berlebihan benar, toh,"
"Ada janji dengan Kangmas Minto, dan dia menyuruhku berdandan seperti ini."
Minto, sungguh. Aku ingin benar-benar membunuhnya saat ini juga. Apa sebenarnya rencananya dengan menyuruh Manis berdandan seperti ini? Apa dia ingin melakukan sesuatu kepada Manis? Ndhak, aku ndhak akan pernah membiarkan itu terjadi.
"Berhenti!" bentakku tatkala Manis berjalan pergi. Dia kembali memandangku, dan dengan tatapannya yang penuh kebingungan itu. "Ndhak usah bertemu lagi dengan Minto," kataku.
Manis sejenak diam.
Aku sama sekali ndhak bisa membayangkan bagaimana kotornya otak laki-laki itu. Dan aku ndhak bisa menjelaskan itu kepada Manis. Dia pasti akan terluka, dan dia pasti akan sedih jika orang yang selama ini dianggap baik, rupanya memiliki pikiran sangat kotor kepadanya.
"Kenapa toh kamu ini, Juna. Dia itu calon suamiku, lho. Kenapa kamu bertingkah ndhak jelas seperti ini, toh! Kamu ndhak ada hak melarangku untuk menemui Kangmas Minto."
"Aku ada," kubilang. Bagaimana bisa dia bilang aku ndhak memiliki hak apa pun atas dirinya? "Kita telah melakukan hal itu bersama-sama, jadi aku ada hak atasmu, Manis!"
Manis tersenyum kecut mendengar ucapanku. Rupanya, dia cukup pantas menganggapku main-main dengannya selama ini. "Melakukan apa? Faktanya, kita memang ndhak ada hubungan apa pun!"
Dia kembali melangkah, tapi kutarik tangannya untuk berhenti dan kuhimpit dia di dinding. Kulumat bibirnya sampai gincu berwarna menjijikkan itu hilang dari sana. Minto, ndhak ada hak melihat Manisku yang tampak menggoda. Minto, sama sekali ndhak ada hak untuk itu!
"Apa-apaan kamu—"
"Katakan kepada Simbahmu untuk membatalkan pernikahanmu dengan Minto, atau aku yang akan mengatakan sendiri kepadanya jika aku mencintaimu."