Chereads / JURAGAN ARJUNA / Chapter 20 - Bab 20

Chapter 20 - Bab 20

Sudah hampir sepuluh menit aku duduk di ruang kerja Romo Nathan. Dan sepuluh menit pula aku, dan Romo Nathan duduk dalam diam. Dia sibuk dengan kopi, dan bukunya, sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Sekarang, apalagi yang akan Romo Nathan ucapkan? Atau malah, dia akan menggantungku hidup-hidup di tempat ini. Semuanya, bukan hal mustahil mengingat bagaimana murkanya Romo Nathan kepadaku.

"Jadi sekarang katakan...," ucap Romo Nathan yang berhasil membuatku mendongak. Memandangnya yang hanya melirikku sekilas, kemudian ia kembali membaca buku. "Jika diammu bisa dipertanggung jawabkan, aku sama sekali ndhak masalah. Namun jika diammu malah membuat bubrah, lebih baik kamu jelaskan sekarang kepadaku sebelum aku melakukan sesuatu dengan simpanan sialanmu itu. Oh, bukan... bukan. Kamu yang simpanannya perempuan ndhak tahu diri itu."

Lagi, Romo Nathan menyindirku seperti itu. Bahkan sekarang, ia ndhak menyebut dirinya sebagai Romo. Melainkan 'aku'. Jelas ini adalah jurang pembatas yang Romo buat untuk diriku.

Aku tersenyum getir mendapati perlakuan Romo seperti ini. Sungguh, dalam mimpi pun aku ndhak pernah membayangkan jika hubungan kami akan seperti ini. Karena, bagaimanapun Romo akan tetap menjadi Romoku apa pun itu yang terjadi.

"Semuanya adalah salahku, semuanya berawal dariku...," kataku pada akhirnya. Romo Nathan tampak seksama melihat ke arahku, tapi dia diam membisu. "Dulu aku yang menggodanya, karena rasa penasaran, rasa tertarik, terlebih simpatiku kepadanya. Awalnya aku melihat Arni sebagai perempuan yang lemah, ia harus bekerja membanting tulang untuk memenuhi nafkah keluarga. Aku sangat bersimpatik karena itu, sebab jarang benar ada perempuan yang telah bersuami melakukan pekerjaan-pekerjaan tanpa henti, dan dia harus masih mengurus keluarganya. Namun tatkala aku tahu jika suaminya ndhak memberinya cukup uang, terlebih berlaku kasar padanya, rasa simpatikku bertambah. Rasa ingin melindunginya semakin bertambah. Sebab di mataku, aku seperti melihat bayangan Biung di masa lalu. Bayangan Biung yang menderita hanya sekadar untuk makan, bayangan Biung yang harus bekerja, dan semua bayangan serta rasa kasihan berubah menjadi rasa ingin melindungi. Sekali, dua kali kucoba yakinkan dia jika aku lebih pantas dari suaminya. Dan berkali-kali pula perempuan itu ndhak mengindahkanku, berkali-kali pula ia menolakku. Sampai saat akhirnya aku memberinya suatu janji, jika suatu saat ia lelah dengan suaminya, dan ingin pergi. Maka aku akan menjadi tempatnya untuk pulang,"

Pyar!!!

Aku kaget tatkala Romo Nathan memecahkan cangkir kopi yang ada di depannya. Kutelan lagi ludahku dengan susah. Aura Romo jelas terlihat semakin menyeramkan dari tadi. Tapi, bukankah dia sendiri mengatakan jika aku harus jujur? Jadi, aku akan mencoba seperti apa yang ia mau.

"Lalu?" tanyanya kemudian. Rahangnya tampak mengeras, sorot matanya memandangku dengan tajam.

"Lalu setelah itu kami ndhak bertemu lama, aku menghindarinya. Biung berkata kepadaku tentang perbedaan cinta dan rasa kasihan. Untuk kemudian kucoba tarik benang merah dengan apa yang kurasakan kepada Arni. Dan ternyata benar, aku yang salah. Mungkin bagi Romo aku adalah pemuda kemarin sore, yang masih belum paham tentang perasaan cinta, dan kasihan, aku ndhak peduli itu. Sebab sedari dulu pun aku selalu menghindari beriteraksi dengan kawan-kawan perempuan. Tapi ketahuilah, Romo jika sekarang apa yang berada di pundakku sangatlah berat. Aku ingin menjelaskan perkara ini kepada Arni tapi aku sendiri ndhak tahu bagaimana caranya. Karena dia sudah terlanjur menggantungkan harapannya kepadaku. Terlebih, Ningrum. Aku... aku benar-benar ndhak bisa melukai perasaannya. Aku ndhak bisa melihat kebahagiaannya hilang."

"Lalu, kenapa kamu ndhak menikah dengan Ningrum saja? Bukankah dengan seperti itu, rasa kasihanmu terbayar tanpa menyakiti hati semuanya?"

"Ningrum masih kelas 3 sekolah dasar, Romo," jawabku.

"Lantas kenapa? Ndhak masalah sama sekali. Menikah terpaut usia cukup jauh, ndhak masalah. Aku akan menjadi orang pertama yang mendukungmu tentang ini. Bahkan dulu, usia Kangmas Adrian dan Larasati juga terpaut jauh tatkala mereka berhubungan."

"Tapi, aku ndhak bisa membayangkan bagaimana gadis sekecilnya bisa melayaniku di atas ranjang," tolakku. Kenapa Romo menjadi memaksaku untuk menikah dengan Ningrum.

"Dari perkataanmu itu, sepertinya kamu telah menemukan sosok yang bisa memuaskanmu di atas ranjang. Apa tebakanku itu benar?"

Aku langsung mendongak saat Romo mengatakan itu. Dan saat itu pula aku benar-benar kehilangan kata-kata. Harus kujawab apa? Aku benar-benar ndhak tahu.

"Apa itu Arni?"

"Bukan. Meski dia terus berusaha, tapi aku ndhak bisa dengan dia."

"Lalu?"

Lagi, Romo Nathan mendesakku. Dan lagi-lagi aku dibuat mati kutu karena pertanyaannya.

"Ada seseorang. Tapi bukan Arni," kujawab pada akhirnya.

"Berapa kali?" Romo Nathan bertanya lagi. Aku memandang ke arahnya, masih dengan tatapan bingungku. "Berapa kali kalian melakukannya?"

"Sekali."

"Apa orangtuanya sudah tahu dengan hal itu? Apa kamu ndhak mau bertanggung jawab atas apa yang telah kamu lakukan kepada anak orang?" selidik Romo Nathan lagi.

Kini aku menunduk, aku benar-benar ndhak bisa menjawab ucapannya. Bagaimana bisa aku bertanggung jawab? Saat perempuan yang kucintai nyatanya akan menikah dengan laki-laki lain.

"Romo bisakah aku pergi sekarang?" tanyaku pada akhirnya.

Kini Romo Nathan ndhak menekanku lagi dengan pertanyaan-pertanyaannya yang memaksa itu. Dia tampak lebih tenang.

"Jika kamu hendak membantu. Pertegas tujuanmu dan jangan mencla-mencle. Kamu itu laki-laki, bukan banci," katanya sebelum aku melangkah pergi.

Kuembuskan lagi napasku, rasanya meski malu luar biasa mengatakan semua hal itu kepada Romo. Seendhaknya, hatiku lega. Lega karena telah jujur kepada diri sendiri, dan lega telah mengatakan apa yang berkecamuk di hatiku kepada orang lain. Semuanya, ndhak kupendam sendiri lagi sekarang.

"Weh, Arjuna... baru tampak ke mana saja, toh?"

Aku menoleh saat Paklik Junet menyapaku. Untuk kemudian, dia mengajakku sekadar duduk di pelataran belakang, duduk bersila sambil menikmati kopi hitam buatan Bulik Sari. Sementara Paklik Junet menikmati setiap putung rokoknya.

"Kabarnya, kamu ndhak boleh ke kota lagi. Dan dikurung di rumah untuk beberapa hari?" tanyanya. Aku mengangguk.

Romo memang mengatakan hal itu. Aku tahu kenapa dia berlaku seperti itu. Selain bukan perkara yang baik, faktanya tinggal bersama serumah dengan Arni adalah hal yang benar-benar sangat berat.

"Bagaimana, sudah jebol berapa kali perempuan bahenol itu?" selidik Paklik Junet lagi.

Aku langsung terbatuk mendengar ucapannya. "Memangnya Paklik pikir, Arni itu apa, jebol apanya...," kataku. Paklik Junet tertawa. "Tinggal bersamanya selama seminggu ini, sama saja seperti uji nyali. Jika boleh memilih, lebih baik aku melihat genderuwo, buto ijo, atau lelembut apa pun asal bukan Arni."

"Walah, jahat benar kamu ini, Jun. Arni disamakan sama lelembut itu lho, kamu pikir dia semengerikan itu, apa? Kalau Paklik ya, aku anggap perempuan itu surga dunia. Setiap waktu aku kangkangi terus. Beeeh, tubuhnya sayang untuk dilewatkan barang sebentar."

"Itu bagimu, Paklik!" cibirku. Paklik Junet tertawa. "Hampir setiap hari dia selalu berlaku yang aneh. Aku tahu sejatinya dia saat ini benar-benar bimbang. Oleh sebab itu dia ingin mencari kepastian dengan berlaku seperti itu kepadaku. Meski aku tahu, hal-hal bodoh yang ia lakukan di luar nalar. Mungkin menyendiri barang sebentar membuat pikiran kalutnya menjadi jernih. Tanpa ada aku di sana. Lagi pula,"

"Lagi pula apa lagi?" kata Paklik Junet. Dia terbatuk-batuk setelah menyeruput kopi yang ada di depannya. "Asem, siapa yang buat kopi ini, toh? Manis benar, sampai aku ndhak minat!" marahnya.

"Lagi pula, meski aku sedari awal salah mengartikan perasaan. Tapi untuk urusan ranjang, aku ndhak mau main-main Paklik. Aku ndhak mau tidur dengan sembarang perempuan. Prinsip dari Romo Nathan ini akan selalu kupegang teguh."

Mendengar ucapanku, Paklik Junet malah tertawa. Seolah, apa yang baru saja kuucapkan adalah hal yang sangat lucu baginya.

"Halah, halah... kamu bicara seperti itu sudah ndhak ada gunanya, Jun. Apa kamu mau menjadi perjaka tua yang ndhak menikah, begitu? Faktanya, perempuan yang telah kamu kangkangi telah memiliki calon suami. Mereka akan segera menikah. Lantas, apa yang kamu harapkan dari itu semua? Selain, kamu harus menerima Arni dengan lapang dada setelah perceraiannya dengan Muri."

"Selama janur kuning belum melengkung, aku masih punya kesempatan untuk nikung, Paklik," kataku. Paklik Junet tertawa lagi. "Jadi ingat, itu entah ucapan siapa. Tapi, Romo Nathan gemar benar menyindir-nyindir Biung dengan kalimat itu. Rupanya, berguna benar untukku yang sedang berduka ini."

"Malang benar nasibmu, Jun... Jun. Lalu Arni bagaimana? Kamu mau mematahkan perasaannya setelah dia resmi bercerai dengan Muri? Jangan egois."

Aku kembali diam. Apa yang terjadi kepada Arni setelah ini? Aku juga ndhak tahu. Yang jelas bagiku sekarang, aku ndhak mau lagi ada kesalahpaham yang akan merusak semuanya. Dan jika benar nanti akhir kisah bodohku ini ndhak bersatu dengan Manis, dan malah menikah dengan Arni. Seendhaknya, aku mau jujur kepadanya mulai dari sekarang. Tentang apa yang aku rasakan. Agar ndhak ada lagi harapan semu, ndhak ada lagi kebahagiaan semu. Meski itu sakit, kurasa jauh lebih baik.

"Ndhak usah membahas Arni. Bahagianya dia, bukan urusan Juragan Arjuna. Jika dia ingin bahagia, dia bisa mencarinya sendiri tanpa harus mengharapkan kebahagiaan dari orang lain. Itu namanya, mampu bersikap dewasa." Paklik Sobirin datang. Kemudian dia ikut duduk bersamaku dan Paklik Junet.

"Walah, abdi dalem sepertimu rupanya pandai benar berucap, toh. Pantas saja sekarang banyak abdi dalem yang kurang ajar. Malah menggurui Juragannya seperti itu. Cih!" sindir Paklik Junet. Untuk kemudian dia melangkah pergi, menjauhi kami.

Memang tabiat Paklik Junet seperti itu kalau dengan Paklik Sobirin. Aku sendiri endhak tahu. Bisa saja jika keduanya ini saingan atau Paklik Junet telah iri karena Paklik Sobirin lebih dekat denganku. Dan aku menurut kepada Paklik Sobirin.

"Sudah, Paklik. Berhentilah membahas masalah ini sekarang. Kepalaku sudah cukup sakit, aku ingin beristirahat. Menghibur Biung agar segera sehat, dan merayu Romo agar mau makan kembali. Aku ingin mengembalikan suasana rumah ini seperti sedia kala. Terlebih, setelah penuturan Romo yang menyinggung masa lalu Biung, kurasa Biung sakit hati benar dengan hal itu."

Paklik Sobirin diam, dia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Aku tahu jika masalah Romo dan Biung bukanlah ranahnya. Hanya saja, aku butuh tempat untuk bercerita perkara ini. Sebab jika aku bercerita dengan Paklik Junet benar-benar mustahil.