Aku diam sejenak mendengar ucapan Arni. Mendengar kemarahannya bersahutan dengan isakan terasa begitu menyakitkan. Ia terlihat frustasi, ia terlihat tertekan. Dan, itu karenaku. Sekarang, kutinggalkan dia sendiri. Gusti, kenapa lagi-lagi aku kembali seperti ini. Di saat aku mulai mantab dengan apa yang hatiku ingini, goyah kembali mengusik seolah ingin berkuasa atasnya.
PLAK!
"Kenapa kamu diam saja di sini?" kata Romo Nathan setelah dia menempeleng kepalaku.
Aku yang masih bingung, mencoba menampilkan seulas senyum kaku. Kemudian kuelus kepalaku yang ditempeleng olehnya.
"Digoda lelembut di ruangan ini? Kok, ya, ditanya diam saja, toh,"
"Tadi, aku sedang berpikir, Romo."
"Berpikir apa? Sudah, ayo ke tempat makan. Tamu biungmu sudah pada pulang, dan kamu ditunggui dari tadi."
Kuikuti langkah Romo menuju ruang makan. Di sana, rupanya sudah ada Biung dengan wajah tegang, serta beberapa abdi dalemnya.
"Biung kenapa, toh? Mau makan kok ya wajahnya setegang itu?" kutanya.
Ekspresinya tampak terkejut, tapi kemudian wajahnya mulai santai seperti biasa.
Ada apa? Apakah Biung telah tahu dari cerita Arni, jikalau aku adalah dalang yang membuat perempuan ayu itu disiksa suaminya. Jujur, setiap mengingat itu, hatiku terasa ngilu.
"Ndhak apa-apa, hanya saja Biung teringat percakapanku dengan Arni tadi," Biung jawab.
Aku hanya mengangguk-angguk saja, mengabaikan tatapan beberapa orang kepadaku.
"Bagaimana bermalam dengan Manis kemarin? Seru? Ndhak terjadi apa-apa, toh?" selidik Romo Nathan.
Aku langsung tersedak ditanyai seperti itu.
"Jelas endhak," bohongku.
Romo Nathan terbahak.
"Ya syukur kalau endhak. Sudah milik orang," katanya.
Aku tersenyum getir mendengar ucapan Romo itu. Seperti aku ndhak ada kesempatan saja.
"Oh, ya, Sari, kabarnya tadi siang ada Wakis bertandang kesini ada ap?" tanya Biung.
Padahal, pantangan benar jika makan harus bercakap-cakap, terlebih bercakap dengan abdi dalem.
"Ngapunten, Ndoro. Wakis bertandang untuk memberikan semangka, hasil kebunnya dari kampung seberang,"
Mendengar kata semangka, Romo lantas tertawa. Aku benar-benar ndhak tahu kenapa dia tertawa sampai serenyah itu.
"Semangkanya besar, ndhak, Sar?" Romo tanya.
"Iya, Juragan,"
"Kembar?" tanyanya lagi.
Kali ini Bulik Sari tampak bingung. Sementara aku nyaris tersedak mengingat kata semangka kembar.
"Jun, asal kamu tahu. Dulu, Romo pernah mendapat semangka kembar yang buesar-buesar, lho. Tak peluk, dengan erat. Tapi, ndhak meletus, empuk semangkanya."
"Kang Mas!" marah Biung tatkala Romo berujar itu.
Dan aku semakin tahu, ucapan Romo menjurus ke mana.
"Lho, kenapa? Aku hanya bercerita. Apa kamu masih ndhak terima jika kusebut benda yang menggemaskan itu sebagai semangka kembar? Atau perlu kuubah?"
"Kamu ini, gemar sekali, toh, berkata hal-hal yang aneh. Ada Arjuna ini, lho. Ndhak sopan."
"Anggap saja Arjuna, dan para abdi dalem ndhak berguna ini seperti lelembut di hutan-hutan,"
"Kang Mas!"
"Apa, toh, Cinta. Kok manggil terus? Ngajak masuk ke kamar apa bagaimana?"
"Bicara lagi awas, lho!" jengkel Biung yang tampaknya hilang sabar.
Lihat saja, wajahnya sudah merah padam seperti itu. Duh, gemas benar Romo menggoda Biung.
"Larasati, semangka kembarmu itu telah jadi milikku."
"Nathan Hendarmoko!"
"Iya, Sayangku!"
"Sudah, sudah," kataku menengahi mereka berdua.
Biung yang sudah berdiri sambil membawa centong pun duduk kembali. Duh Gusti, mereka berdua ini.
"Tapi memang benar, Romo. Semangka kembar itu nikmat," kataku, dan berhasil mendapatkan pelototan oleh Biung.
"Lho, benar, toh? Kita itu lelaki perkasa yang normal,"
"Tos!"
****"
Pagi ini tampaknya mentari cukup lambat untuk menampakkan diri. Atau malah aku yang terlalu dini berada di sini?
Duduk sambil memeluk tubuhku sendiri, sambil menikmati kopi buatan simbahnya Manis.
"Omong-omong Juragan, pagi benar Juragan bertandang ke sini? Disuruh Ndoro Larasati, toh?" tanya Simbah Manis. Aku mengangguk.
Sebenarnya, Biung menyuruhku menjemput Manis dua jam lagi. Tapi entah mengapa, aku rindu dengannya. Berada di sini secepat mungkin adalah hal yang harus kulakukan.
"Kenapa Ndoro Larasati ndhak menyuruh abdi dalemnya saja, toh? Kok ya repot-repot menyuruh putranya segala, lho. Kan, merepotkan."
"Endhak kok, Mbah. Ndhak merepotkan sama sekali. Lagi pula, aku rindu dengan Simbah. Bisa memandang wajah Simbah seperti ini, ser-seran hatiku, Mbah,"
Mendengar rayuanku itu, Simbah Manis tertawa. Ia memukul-mukul lenganku berkali-kali.
"Anak Juragan Adrian ini nakal sekali. Kok, ya, orangtua digoda itu, lho...," katanya. Aku tersenyum saja. "Tapi, Juragan, ndhak usah sering-sering. Manis bisa ke rumahmu sendiri, lho. Jangan sering-sering seperti ini,"
"Kenapa, Mbah?"
"Kalian bukan lagi anak kecil, yang bisa berkawan laki-laki, dan perempuan. Kalian sudah dewasa, ndhak baik dipandang oleh warga kampung. Lebih-lebih, Manis itu sudah memiliki calon suami, Juragan. Sungguh ndhak pantas jikalau pihak calon suaminya salah paham."
Senyumku memudar mendengar ucapan Simbah Manis. Terlihat jelas jika dia kurang begitu suka aku terlalu dekat dengan cucunya. Akan tetapi, hal itu lumrah. Sebab Manis sudah memiliki calon suami.
"Iya, Mbah," jawabku seadanya.
Kemudian aku memilih diam, sambil sesekali menengok ke arah kamar Manis. Katanya tadi, dia ingin mandi kemudian bersiap. Dan aku baru tahu, jika perempuan bersiap itu membutuhkan waktu yang lumayan lama.
"Juragan, boleh aku meminta tolong kepadamu," kata Simbah Manis setelag menimbang-nimbang sesuatu.
"Apa, Mbah?" tanyaku.
Senyumnya tersungging kaku, membuatku mau ndhak mau mengelus kedua tangannya. Memastikan jika semuanya akan baik-baik saja.
"Bujuklah Manis agar lebih lembut dengan calon suaminya. Agar dia menjadi calon istri yang menurut. Jikalau ndhak suka dengan calon suaminya, kenapa dari awal dia mau dengan hubungan ini. Semuanya sudah terlanjur."
"Maksud, Simbah?"
"Jadi begini, lho, Le...," katanya mengawali percakapan. "Manis itu terkesan menghindari Minto, toh. Setiap kali Minto mendekat, Manis selalu menghindar. Minto ingin memegang tangannya, Manis menolak. Minto mau merangkulnya, Manis memilih jatuh dan terpeleset. Saat kutanya kenapa, dia menjawab jika sungkan. Tapi, Simbah sejatinya tahu, jika dia terpaksa dengan hubungan ini,"
"Kenapa ndhak dibatalkan saja, Mbah? Siapa tahu Manis telah memiliki pilihannya sendiri,"
"Semuanya sudah terlanjur, Le. Ndhak bisa mundur lagi. Ini mempertaruhkan nama baik keluarga. Dan tentang lelaki yang mungkin dipilih Manis...," kata Simbah terputus. Dia melirik ke arahku, kemudian mulai *nginang. "Sampai kapan pun, Simbah ndhak akan menyetujuinya."
"Kenapa, Mbah?" tanyaku lagi yang semakin penasaran. Apa benar jika Manis telah memiliki pilihan sendiri di dalam hatinya selain Minto? Jujur, aku sangat ingin tahu akan hal itu.
Ndhak menjawab Simbah Manis malah memandang ke arah lain, sambil berdiri, dia pun berujar, "Manis telah siap. Pergilah, Simbah juga mau ke kebun dulu," berpamitan kepada kami sebelum pintu belakang rumah terdengar ditutup.
Aku masih berdiri, bahkan sampai Manis menegurku. Aku yakin, atau cuma perasaanku saja, tapi aku harus memastikan sesuatu dulu.
"Ayo, toh, nunggu apa lagi?" kata Manis sambil menarik tanganku.
Aku memerhatikan, tangan kurus Manis menggenggam tanganku cukup erat. Jika dia ndhak mau digandeng oleh Minto. Lalu kenapa, dia sangat gemar menggandeng tanganku.
"Ada apa?" tanyanya yang tampak terkejut tatkala kurangkul pundaknya. Tapi, dia ndhak menghindar, dan memilih jatuh.
Apakah benar jika yang ada di dalam hatinya Manis itu aku?
Apakah Manis juga jatuh hati denganku?
"Manis, aku ingin bertanya kepadamu..." kataku pada akhirnya. Dia memandangku dengan mata bulatnya, sambil mengerutkan kening. "Kenapa kamu menghindari kontak fisik dengan Minto? Bukankah katamu kamu telah jatuh hati kepadanya? Atau jangan-jangan kamu telah jatuh hati kepada pemuda lain? Sementara denganku, kenapa kamu ndhak keberatan?"
Manis hendak menghindar, dia hendak pergi tapi kutahan. Kutarik dia masuk kembali ke dalam kamar, dan kukunci tubuhnya dengan kedua lengan.
"Katakan, Manis, katakan," kataku setengah memaksanya.
"Kamu ini bicara apa, toh, Juna. Hal yang wajar jika aku menghindari konta fisik dengan Kang Mas Minto. Itu dikarenakan aku sungkan, aku malu," dia jawab. Benar-benar membuatku ingin naik pitam. "Sementara denganmu, bukankah kita adalah kawan baik?"
"Kawan? Benar kamu menganggapku hanya kawan, Manis?"
Lagi, dia memalingkan wajahnya. Membuatku ndhak tahan juga dibuatnya. Kupadamkan penerangan yang ada di kamarnya, sampai cahanya menjadi remang-remang.
Dia terlihat mulai resah, kemudian kupeluk tubuhnya erat. Kuhirup dalam-dalam, aroma tubuhnya yang begitu wangi. Bisa kurasakan jika tubuhnya mulai menegang.
"Arjuna, jangan lagi," katanya. Mencoba menjauhkan tubuhnya dariku.
"Kita hanya berdua, kita lakukan apa yang kita suka. Tunjukkan padaku, Manis. Apa yang ada di dalam hatimu," kubisikkan kalimat itu padanya. Sebelum aku menyerbu bibirnya.
Aku sudah ndhak bisa menahan diri lagi jauh lebih lama. Aku sudah menahan ini sedari lama.
Kubuhai bibir Manis, kucoba membuatnya nyaman dengan semua ini. Tangan Manis yang awalnya menolak, kini telah merengkuh leherku dengan begitu kuat. Kutuntun dia mendekat ke arah dipan, sebelum kubuka kancing-kancing bajunya.
Manis ndhak melakukan apa pun, selain mengikuti apa yang aku lakukan. Pagi ini, adalah pagi yang temaram. Pagi yang hangat, hanya milik kami berdua.