"Ooooii~ Logaviii~"
"Ya."
"Ayooo kita berburuuu~"
"Ya."
"Aaaaahh Logavi selalu pelit ngomong! Hihihi..."
"..."
Aku adalah putra tunggal dari almarhum kedua orangtuaku. Mereka tewas di medan perang ketika para prajurit manusia entah dari mana, datang ke desa kami di hutan Goturg ini. Mereka menyerang desa dan menangkap sebagian dari kami untuk dijadikan slave (budak). Untungnya, petarung dari desa kami berhasil mengusir mereka, walaupun memakan cukup banyak korban jiwa.
Kami ras Elf, lebih memilih mati daripada harus hidup sengsara menjadi slave. Dan untuk itu, aku juga harus menjadi lebih kuat lagi. Aku harus menjadi sangat kuat agar aku dapat melindungi orang-orang yang kusayangi, terutama Myurei.
Myurei adalah anak dari orangtua angkatku. Mereka menampung dan membesarkanku setelah kedua orangtuaku meninggal. Myurei adalah gadis seusiaku di desa ini.
Sangat sedikit jumlah remaja seusiaku di sini. Tingkat reproduksi kaum Elf memang rendah. Tapi kami diberi umur rata-rata yang cukup panjang sebagai kompensasinya. Jika manusia hanya hidup selama 80-100 tahun, maka Elf dapat hidup selama 400-500 tahun.
Dampak buruk dari rendahnya tingkat reproduksi ini adalah, kami harus memiliki kekuatan untuk bisa bertahan hidup di dunia yang keras ini. Bertahan dari musuh, dan bertahan dari monster.
"Myu, ada Karbi." Kataku sambil menunjuk seekor monster mamalia berkaki empat dengan duri di sepanjang punggungnya dan dua taring besar keluar dari rahang bawahnya, yang sedang makan di tengah hutan.
"Sebentar, Log. Ada tiga temannya di sekitar sana. Kita awasi dulu dan kita tunggu salah satu dari mereka terpisah." Myurei menyampaikan rencananya kepadaku.
Kami sedang berburu monster. Tujuan utamanya adalah untuk makan. Tapi, tujuanku melakukan ini lebih kepada berlatih untuk meningkatkan kemampuanku.
"... Split Shot." Aku melepaskan skill panah yang dapat menembak 3 ekor Karbi sekaligus.
"Tu--!" Myurei berusaha menahanku, tapi dia terlambat.
*Syuu syuuu syuuu*
"Ooiiiikkk!"
"Oiikk!"
"Oiikk oiiikk!"
Satu panah telah terpecah menjadi 3 dengan magic-ku. Menyusuri udara dan melesat menuju tiga ekor Karbi tersebut. Jika kena kepalanya, tentu saja instakill. Bahkan, jika terkena badannya, monster itu hanya akan mampu berlari beberapa puluh meter lalu meningkal akibat pendarahan yang dialaminya.
Tapi sayang, teriakan Myurei untuk menghentikanku tadi, malah merusak konsentrasiku. Akibatnya, semua anak panah itu meleset. Semuanya. Tidak satupun mengenai tiga ekor Karbi tersebut.
"Snipe Shot!" Melihat panahku gagal mengenai target dan para Karbi mulai berlari ketakutan, Myurei langsung mengeluarkan skill panahnya.
*Syuuuu*
*Jlebb*
"Tuuhh kaaaan! Logavi dibilang tunggu sebentar malah nembak sembarangan!" Myurei mengomeliku setelah tembakannya mengenai salah satu kepala Karbi yang langsung mati di tempat.
"M-maaf."
Sebenarnya, ini tidak sepenuhnya salahku! Ini salah Myurei juga karena sudah mengagetkanku tadi! Tapi, kenapa terkesan aku yang payah begini, ya?
Aku turun dari atas pohon untuk mengambil hasil buruan kami. Karbi hanyalah monster kelas E yang ukuran tubuhnya sebesar tubuh kami. Biasanya, kami mengulitinya dan memotong dagingnya untuk dimasukkan ke dalam kantong yang sudah kami bawa.
Namun kali ini, karena ukurannya relatif kecil -mungkin karena belum dewasa- maka aku langsung mengikat keempat kakinya dan menarik tubuh utuhnya.
Kami berdua kembali ke desa setelah mendapatkan hasil buruan. Sepanjang jalan, tidak usah ditanya lagi, Myurei mengomel panjang tanpa henti. Kadang, aku jadi bertanya-tanya. Kapan ya tenaganya perempuan ini habos untuk mengomel?
Untungnya aku sudah biasa mendengar rentetan omelan dari Myurei. Bisa dikatakan kalau telingaku sudah kebal. Seperti sudah beradaptasi hingga akhirnya berevolusi menjadi telinga yang memiliki katup magic. Dimana katup itu akan otomatis tertutup ketika mode cerewet Myurei sedang aktif. Padahal tidak ada perubahan pada anatomi telingaku.
Aku dan Myurei adalah Archer (pemanah). Tapi kami memiliki perbedaan fundamental dalam hal teknik. Karena aku lebih mengutamakan kemampuan pengimbuhan magic kepada tembakanku, sedangkan Myurei lebih memperdalam teknik memanah murni.
Di tengah perjalanan pulang, aku mendengar sesuatu seperti mengikuti kami dari dalam semak-semak. Suara gesekan dari semak yang terdengar selalu mengikuti kami tidaklah terlalu jelas. Kemungkinan Myurei tidak menyadarinya karena dia terlalu asyik dengan omelannya.
"Ssst!"
"Kenapa, Log? Kamu nggak terima aku kasih tau yang baik buat kamu? Kamu udah capek kena omelanku? Makanya kalo nggak mau aku ngomel-ngomel, kamu jang--"
"Sssttt diam!" Kataku sambil melepaskan tali yang mengikat Karbi lalu mempersiapkan panahku.
Myurei diam setelah melihat ekspresiku berubah. Bunyi gesekan di semak belukar semakin jelas terdengar setelah Myurei berhenti merepet seperti knalpot motor 2 tak.
A/N : Eh, iya. Di sini tidak ada motor. Hehe. Bodo amat.
"Awas!"
Aku berteriak sambil melompat mendorong Myurei karena aku melihat sekelebat bayangan dari belakang Myurei bergerak mendekati kami dengan cepat.
*Bruukk*
"Ah!"
Myurei terjatuh saat kudorong, dan aku menindihnya. Bayangan yang mendekati kami melintas di atas kami. Kami terhindar dari serangannya.
Saat kami jatuh, wajahku terbentur ke dada Myurei. Tapi rasanya keras saja dan rata seperti ketika wajahku menabrak papan dinding rumah. Payudara Myurei belum tumbuh. Atau, jangan-jangan sudah tumbuh tapi memang rata!? Harusnya Elf berusia 15-16 tahun sudah memiliki payudara. Tapi memang, semua wanita dewasa di desaku tidak ada yang memiliki payudara besar.
Ah! Bukan saatnya untuk memikirkan itu! Ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan sekarang! Aku langsung bangun dan melihat sekelilingku. Makhluk apa yang menyerang kami barusan?
Yang sempat kulihat hanyalah sepotong ekor bersisik warna ungu yang masuk dengan cepat ke dalam semak belukar.
Ekor monster apa itu? Aku masih meragu. Tapi, perasaanku tidak enak. Monster itu, ukuran ujung ekornya saja sudah lumayan besar. Kemungkinan tubuhnya akan memiliki ukuran yang lebih besar lagi.
"Myu! Bisa lari?"
"Bisa!"
"Ayo lari!"
Kami berdua pun berlari sekencang-kencangnya. Aku meninggalkan hasil buruan kami agar dapat berlari dengan cepat. Akan tetapi, monster itupun segera menyusul kami dengan cepat. Aku bisa mendengarkan suara pergerakannya dari semak-semak.
*Duuk*
"Aaah!"
"Myu!!!"
Myurei terjatuh karena tersandung akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. Dia jadi tertinggal di belakangku. Ini buruk. Monster itu akan menyerang kami. Aku berbalik badan dan menyiapkan panahku.
*Sssrrraaaasssss*
Monster itu, langsung melompat keluar dari semak-semak, memperlihatkan tubuh besar dan panjangnya yang menyeramkan. Sosok ular raksasa berwarna ungu dengan garis kuning di kedua sisinya. Itu, kalau aku tidak salah, adalah Anargon.
Anargon adalah monster ular raksasa kelas D yang memiliki racun sangat kuat. Setetes saja racunnya masuk ke dalam tubuh, dipastikan korbannya akan mati dalam hitungan menit.
Dia melompat dan menerkam Myurei yang masih tersungkur di tanah.
"Uugh!" Myurei yang melihat monster itu datang untuk menerkamnya, langsung berguling ke kanan.
*Brraasss*
Moncong Anargon bertemu dengan tanah tempat Myura sebelumnya terjatuh. Myura berhasil menghindar dari serangannya.
"Frost Shot! Haaaaaahhh!!!"
*Syuuuuss syuuuusss syuuuusss*
Aku langsung menembakkan skill panah es berkali-kali ke arah monster itu. Sebagian besar dari tembakan Frost Shot tidak mengenai monster tersebut. Hanya satu atau dua tembakan yang mengenai tubuhnya dan langsung membekukan sebagian area di sekitar menancapnya panah es tersebut.
Namun, hanya sampai di situ saja efeknya. Membekukan sebagian kecil dari tubuhnya.
Monster itu, tidak mempedulikan seranganku. Dia masih fokus kepada mangsanya, yaitu Myurei.
Setelah gagal pada serangan pertamanya, monster ular itu dengan sigap meliukkan tubuhnya dan menolehkan kepalanya ke arah dimana Myurei berguling tadi. Rahangnya terbuka lebar. Taring racun menghunus ke depan. Tiada ampun bagi mangsanya yang terkena gigitan seperti itu.
Bahaya! Apa yang harus kulakukan saat ini!? Aku tidak bisa menggunakan skill panah terkuatku karena Myurei sedang berada di AoE seranganku jika aku menggunakan skill Magic Archer tingkat atas!
Aku... Aku hanya bisa mengeluarkan skill single target...
"Flame Shot! Flame Shot! Flame Shot! FLAME SHOOOTTT!!!"
Kali ini, karena Frost Shot tidak mempan, aku mengeluarkan tembakan panah api terus-menerus, tanpa henti, sampai anak panah di quiver-ku habis. Lawan dari elemen air yang dimiliki oleh Frost Shot.
*Syuuussh syuussshh syuussh syuusshh*
"Kyaaaahh!" Myurei berteriak.
Brengsek!!! Tembakan panahku tidak secepat gigitannya kepada Myurei! Kedua taringnya sudah sempat terhujam ke paha dan betis Myurei!
Tembakan panah apiku mengenai kepala Anargon sesaat setelah taring monster itu menancap dangkal dan membuatnya melepas gigitannya lalu mundur dan pergi menjauh dari kami. Dia takut api. Kelemahannya adalah api. Kenapa tidak kugunakan Flame Shot dari awal!?!?
Area di sekitarku terbakar akibat Flame Shot-ku yang berhamburan. Membakar daun dan ranting yang terkena tembakan yang tersasar.
"Myu!!!"
Aku langsung berlari ke lokasi Myurei. Kulihat, luka gigitannya dangkal. Tapi sudah ada racun berwarna ungu kehijauan di dalam lubang bekas gigitan taring Anargon. Kusiram luka gigitan itu dengan air minumku untuk membersihkan racun yang masih bisa dibersihkan, walaupun tidak bisa semuanya.
Kemudian kubalut luka gigitan itu agar pendarahannya berhenti. Kuikat di bagian atas paha dari lokasi gigitan. Harapanku, supaya racunnya tidak menyebar. Semoga saja.
"Logavi... Genit... Megang-megang pahaku..." Ucap Myurei dengan suara lemah.
"Jangan bicara! Ini bukan waktunya bercanda!" Aku membentaknya karena aku sedang panik.
Setelah selesai mengurus luka dan racunnya, aku langsung menggendong Myurei di punggungku. Aku berlari dan terus berlari. Aku harus segera mencari bantuan di desa. Myurei membutuhkan anti racun. Aku berharap di desa ada anti racun yang bisa menyelamatkan Myurei.
Lelah dan pegal di kakiku, tak kurasa. Aku memaksakan tubuhku untuk terus berlari. Hingga akhirnya aku sampai di desa dan berteriak minta tolong kepada semua orang.
Namun, hal yang paling kutakutkan terjadi. Ketika aku menurunkan Myurei dan meletakkannya di tanah, Myurei sudah tak bernafas. Tubuhnya sudah dingin. Bibirnya membiru. Kedua matanya yang sudah tak bercahaya lagi, masih terbuka separuh.
"Myu! Bangun, Myu! Sadarlah! Jangan pergi ninggalin aku kayak gini! Myureeeiiii!!!"
Aku tahu, Myurei sudah meninggal. Tapi aku tak bisa menerima kenyataan ini. Hatiku sakit, nyeri, sesak, dan hancur. Apalagi, semua ini terjadi karena ketidakbecusanku dalam menjaga Myurei. Ini semua salahku!
Setelah upacara pemakaman Myurei, aku hanya mengurung diri di kamar. Kedua orangtua Myurei juga merasa hancur. Aku tak sanggup melihat wajah mereka. Mereka juga sangat terpukul. Mungkin lebih terpukul daripada aku saat ini. Tapi, mereka masih berusaha menenangkanku. Aku tak dapat membayangkan betapa tegarnya mereka.
Semua ini memang salahku. Seandainya aku tidak lemah. Seandainya tembakanku akurat. Seandainya aku lebih kuat lagi. Seandainya aku tidak sebodoh ini!
Pasti Myurei masih bisa mengajakku bercanda saat ini. Pasti dia masih bisa memarahiku dan mengomeliku lagi. Pasti dia masih bisa tersenyum dan tertawa. Tapi karena aku, Myurei hanya bisa terbaring kaku dan dingin di dalam makamnya.
Aku... Aku harus bisa lebih kuat dari ini. Aku harus lebih dan lebih kuat lagi.
Aku menggenggam gelang yang pernah diberikan Myurei kepadaku. Gelang kembar yang sama dengan yang dimilikinya. Memang ini hanyalah gelang dari akar tanaman yang tak memberikan tambahan status apapun. Tapi entah kenapa, setiap melihat gelang ini, aku bisa melihat senyuman Myurei. Aku tidak akan membuatmu kecewa, Myurei. Aku akan menjadi lebih kuat, lebih dari yang dapat kamu bayangkan.
Dan untuk mencapai tujuanku, aku tidak bisa terus berada di kamar ini. Tapi aku sudah tidak dapat meningkatkan kemampuanku jika aku hanya berada di desa ini.
Mungkin, tempat itu, tempat yang pernah kudengar merupakan tempat berlatihnya para calon petarung yang sangat hebat, adalah tempat dimana aku akan mulai melangkah lagi. Myurei juga pernah bercita-cita untuk berlatih di sana.
Baiklah, sudah kuputuskan...
*Ceklek* kubuka pintu dan berjalan keluar dari kamarku.
"Paman Orkeno, Bibi Ahira. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Aku akan menjadi petarung yang lebih kuat, yang sangat kuat, untuk melindungi desa ini. Jadi, aku meminta izin untuk bisa berlatih di Knight Academy Arvena, tempat yang selalu diinginkan Myurei untuk dapat berlatih di sana."
***BERSAMBUNG***
______________________________________
Ini adalah chapter perkenalan karakter baru yang terakhir. Terima kasih bagi semua Pembaca yang masih mengikuti ceritanya.
Berikutnya adalah chapter hentai yang hanya diperuntukkan kepada Pembaca yang berusia 18 tahun atau lebih. Melewatkan chapter hentai tidak akan mengganggu cerita secara keseluruhan. Anak di bawah usia 18 tahun dipersilahkan untuk skip ke chapter berikutnya.
Setelah chapter hentai, kita akan kembali memasuki cerita utama.
Silahkan vote, komentar, dan share! Terima kasih!