Silahkan vote, share, dan komentar! Selamat membaca!
_______________________________________
"Eksperimen pertama. Menghidupkan semut mati." Ucapku dengan penuh semangat membara.
Usiaku sudah beranjak 7 tahun sekarang. Aku sudah lumayan mahir dalam menggunakan skill magic Heal dan Recovery. Aku juga sudah melakukan percobaan-percobaan dengan magic yang kumiliki.
Satu hal yang sudah kupastikan. Yaitu, aku memiliki afinitas terhadap light magic. Artinya, bakatku sangat tinggi untuk menjadi Light Mage. Aku bisa menghasilkan cahaya dari bagian tubuhku yang manapun yang aku inginkan, untuk penerangan atau sekedar gaya saja.
Selain tiga skill magic di atas, aku sedang mencoba skill Detoxification. Tapi belum menemukan bahan uji coba yang bagus. Baru kucoba kepada nyamuk yang keracunan oleh asap dari hasil pembakaran tanaman pembunuh nyamuk.
Papa dan Mama menyuruhku merahasiakan kemampuan light magic yang kumiliki dari semua orang yang ada di kampung ini. Kata mereka, kalau sampai orang lain tahu, bisa menyulitkanku nantinya.
Ya, aku patuhi saja perkataan orangtuaku. Dan kali ini, aku sedang melakukan percobaan untuk menggunakan skill Revive. Bahan percobaanku kali ini adalah semut. Aku akan membunuh seekor semut, lalu mencoba menghidupkannya kembali.
"Nah, semut yang ini... Hm."
Kupenggal kepala salah satu semut. Dia masih bergerak untuk beberapa detik sebelum akhirnya diam tak bergerak. Kutunggu sekitar 1 menit untuk memastikan kematiannya. Lalu...
"Revive."
Dengan berkonsentrasi penuh, aku mengeluarkan energi light magic di dalam tubuhku untuk kualirkan kepada semut itu. Seperti biasa, cahaya kebiruan menyelimuti semut tersebut, lalu kepalanya yang terpenggal tadi, kembali menyatu dengan tubuhnya.
Kualirkan terus energi magic-ku ke bangkai semut itu. Aku berharap tubuh semut yang sudah utuh kembali di hadapanku, dapat kembali bergerak.
Ayo! Bergeraklah! Hidup lagi! Ayo!
"Uuggghh...."
Sudah sangat banyak energi magic yng kukeluarkan. Tapi masih belum terlihat adanya tanda-tanda pergerakan pada semut itu meskipun tubuhnya sudah utuh kembali. Masih terus kupaksakan tubuhku untuk mengalirkan energi magic kepada semut yang mati ini.
Dan...
*Brugg...*
Pandanganku gelap. Aku... Pingsan? Ah... Gagal. Untung aku melakukannya di dalam rumah untuk berjaga-jaga jika hal seperti ini terjadi. Berarti, sekarang aku sedang tergeletak di lantai rumah. Di ruang tengah. Seperti seorang anak yang tertidur karena kelelahan bermain.
***
Aku terbangun. Bayangan pohon di halaman depan sudah jatuh tepat di bawahnya. Padahal tadi aku melakukan eksperimen tidak lama setelah mentari terbit. Wah, lumayan lama. Dan sekarang perutku kelaparan.
Kulihat semut yang tadi, masih tergeletak kaku di dekatku terbaring. Aku gagal. Berarti, yang kulakukan tadi hanyalah sebatas Recovery. Aku hanya menyembuhkan tubuhnya. Tapi aku gagal mengembalikan nyawanya.
Tunggu.
Nyawanya?
Aha! Aku paham kenapa aku gagal. Aku hanya memfokuskan light magic untuk menyembuhkannya saja tanpa mengembalikan jiwanya yang telah lepas dari raganya. Pantas saja aku gagal.
"Anviii... Ayuk makan..." Mama memanggilku dari dapur.
"Papa nggak ikut makan siang, Ma?"
"Papa sedang berburu bersama bapak-bapak lainnya. Paling mereka pulang sore nanti."
"Semoga papa dapat babi! Anvi mau makan babi! Enaaaak!"
"Hihihi... Anvi seneng banget makan babi. Kayak Papa..."
"Anvi kan anaknya Papa!" Aku selalu berusaha bertingkah seimut mungkin seperti anak yang ceria seusia tubuh ini.
"Iyaa iyaaa... Doain Papa, yah..."
"Um!" Aku mengangguk sambil tersenyum. Apa aku sudah imut seperti anak berusia 7 tahun? Atau aku berlebihan? Ah, tak masalah.
"Tapi sekarang makan sama Mama dulu, sini..."
"Iya, Maaa..."
Aku akan makan dulu untuk mengembalikan mana yang sudah terkuras dari tubuhku. Rencananya, setelah makan dan tidur siang, aku akan mencoba eksperimen kedua.
...
Tapi ternyata eksperimen kedua juga gagal. Begitu pula puluhan eksperimen-eksperimen berikutnya. Apakah karena aku masih terlalu kecil sehingga mana di dalam tubuhku belum cukup untuk menghidupkan seekor semut yang mati?
***
Dalam sekejap saja, waktu telah berlalu begitu cepat. Sekarang aku berusia 10 tahun. Sepertinya aku sudah mulai tumbuh menjadi gadis setengah Elf yang imut. Hehe bercanda...
Selama beberapa tahun ini, aku sudah mulai memiliki banyak teman sesama jenis. Banyak juga teman dari lawan jenis. Mereka tidak mengucilkanku hanya karena telingaku berbeda dengan mereka. Kata mereka, aku ramah dan menyenangkan untuk diajak main.
Mama sudah memperbolehkan aku untuk bermain ke rumah-rumah tetangga asalkan tidak keluar dari batas wilayah kampung. Aku dan teman-teman sering bermain bersama. Ya, namanya juga tinggal di kampung, mainan kami hanyalah mainan khas anak kampung. Tapi semua itu tetap menyenangkan.
Dan aku sudah terbiasa untuk bersandiwara menjadi anak kecil.
Kalau dijumlahkan, usiaku dikehidupan sebelumnya dan usiaku di kehidupan ini, berarti jiwaku sudah berumur 24 tahun.
Oh, ada hal yang perlu kusampaikan kepada para Pembaca. Hmm. Bahasa manusia di dunia ini sangat berbeda daripada bahasa di duniaku sebelumnya. Tapi di usiaku kini, aku sudah menguasai semua bahasa sehari-hari di sini. Walaupun aku belum memahami banyak dari bahasa yang digunakan para orangtua ketika mereka berdiskusi.
***
"Anvi, sekarang kamu udah berusia 15 tahun. Papa nggak mau kamu tumbuh menjadi seorang wanita yang tidak memiliki masa depan jika kamu cuman di kampung ini terus. Paling hebat, kamu cuman akan jadi petani di kampung ini. Padahal kamu memiliki bakat yang sangat langka."
Suatu hari ketika aku sudah berusia 15 tahun, tiba-tiba Mama dan Papa mengajakku berbicara tentang suatu masalah yang serius setelah makan malam bersama. Mendengar arah pembicaraan Papa barusan, aku sudah mengerti apa maksud dan tujun mereka.
Tapi aku masih diam dan mendengarkan saja.
"Sayang, gimana menurut kamu tentang Akademi?" Tanya Mama dengan lembut.
"Akademi? Tempat untuk belajar magic ya, Ma?"
"Iya sayang... Apa Anvi mau memulai karir dengan melalui pendidikan di Akademi?"
Sebenarnya, aku sudah nyaman hidup seperti ini. Tapi, menurut akal sehatku dari kehidupan sebelumnya, memang pendidikan itu sangat penting untukku agar bisa melangkah lebih jauh. Supaya aku tidak stuck hidup seperti ini terus.
"Tapi... Aku nggak mau jauh-jauh dari rumah..." Alasan pertamaku.
"Tenang aja, nak. Dalam jarak 4 hingga 5 hari perjalanan darat saja, kita sudah sampai di Kota Arvena. Kamu bisa pulang ke rumah saat liburan. Dan Mama akan sering berkunjung ke sana. Di sana, ada sebuah akademi baru yang dibangun oleh Raja Arthos dan benar-benar didukung oleh Kerajaan Balvara. Papa yakin, itu adalah akademi yang sangat bagus untukmu."
"Anvi jangan khawatir. Mama akan sering ke sana untuk menjenguk Anvi."
Papa dan Mama berbicara demikian, tapi tersirat sedikit kesedihan di nada suaranya. Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu bahwa mereka tidak ingin anaknya hanya berakhir seperti mereka, hanya menjadi petani kampung.
"Tapi, gimana dengan biaya sekolah di akademi itu? Akademi di ibukota itu, pasti biayanya sangat mahal." Alasanku yang terakhir.
"Untuk itu, Anvi tidak perlu khawatir. Selama 10 tahun belakangan ini, Papa dan Mama sudah menabung uang yang lebih dari cukup untuk biaya pendidikanmu. Kami juga sudah mencari informasi tentang biaya hidup di ibukota. Semua sudah dipersiapkan untuk Anvi. Jadi sekarang tinggal gimana Anvi-nya saja. Apakah Anvi mau bersekolah di Knight Academy Arvena?"
Apa? Aku tidak salah dengar? Mereka sudah mempersiapkan ini selama 10 tahun tanpa sepengetahuanku? Kalau mereka sudah mengatakan seperti itu, bagaimana aku bisa tega untuk mengatakan tidak?
Aaa kehidupanku yang santai dan mengalir damai di sini akan segera berakhir! Tapi kalau kupikir-pikir lagi, memang aku harus mengecap pendidikan formal akademi supaya aku bisa lebih mahir dalam menggunakan magic.
Seperti yang dikatakan Papa tadi, kemampuanku ini sangat langka. Jika aku bisa memanfaatkannya dengan baik dan memiliki posisi tinggi di Kerajaan Balvara karena kemampuanku, aku bisa kaya.
Ya, kaya. Di saat aku sudah menjadi kaya, aku akan bisa menikmati hidup santai lagi. Di samping itu, aku akan bisa membeli semua yang aku inginkan. Ditambah lagi, Papa dan Mama akan dapat menikmati hari tuanya tanpa perlu bersimbah keringat di ladang dan mempertaruhkan nyawa untuk berburu di hutan.
Aku tidak sadar, kalau aku sudah diam termenung cukup lama. Tenggelam dalam lamunanku yang panjang. Dan ketika aku sadar, yang kulihat adalah wajah tegang dari Papa dan Mama menanti jawabanku. Bukan, bukan menanti. Ekspresi mereka menunjukkan bahwa mereka berharap agar aku menjawab YA.
"Anvi?" Mama memanggilku dengan suara harap-harap cemas.
"Kalau kamu butuh waktu untuk berpikir, silahkan berpikir dulu matang-matang. Kami tidak akan memaksa Anvi..."
Tidak, Papa. Tidak begitu. Kalian pasti sangat mengharapkan aku untuk bersekolah di akademi itu, bukan? Aku harus memutuskan ini dengan cepat. Aku harus menunjukkan kalau aku sangat menginginkan ini.
"Pa, Ma, kalau gitu, aku akan membebani kalian dengan biaya bersekolah di Knight Academy Arvena!" Ucapku dengan tatapan lurus ke mata Papa dan Mama.
"Hm. Buatlah agar kami bangga kepadamu, anakku!" Balas Papa.
"Kalau gitu, nanti Papa yang akan nemenin Anvi untuk mendaftar di akademinya. Lusa kalian berangkat. Anvi bawa semua barang-barang yang menurut Anvi berharga. Kemaslah semua pakaianmu. Bawa yang bagus-bagus aja, ya..."
"Mama tenang aja! Papa udah nyiapin uang biar Anvi pangsung belanja pakaian setelah sampai di sana!" Papa menanggapi Mama dengan sangat bersemangat.
Setelah itu, obrolan kami kembali santai. Bahasa Mama dan Papa juga tidak tegang dan serius lagi. Yaa, obrolan kami hanya seputar persiapan keberangkatanku sekarang.
Papa mengatakan, sebenarnya harus mengikuti tes seleksi masuk dulu untuk bisa bersekolah di akademi tersebut. Tapi kata Papa tidak masalah. Karena mereka tidak akan bisa menolak seorang Healer yang mendaftar.
***
Hari keberangkatanku menuju KAA pun tiba. Mama melepasku dengan pelukan dan ciuman. Aku tahu Mama sedang berusaha keras menahan air matanya. Aku tidak akan menyia-nyiakan usaha Mama dalam menahan air matanya, dengan cara menahan air mataku juga. Mau usia 15 tahun atau 32 tahun, tetap saja perpisahan seperti ini membuatku sedih.
"Anvily Seleza, apa semuanya udah siap, prajurit?"
"Iiih apa sih Papa ini... Kayak aku mau ke medan perang aja... Udah, Pa. Semua yang penting udah Anvi bawa."
"Hahaha... Kalau begitu kita... Berangkaaaat!"
"Dadah, Maaa~" Kataku, sambil naik ke kereta kuda yang disewa Papa, dan melambaikan tanganku ke arah Mama.
"Hati-hati di jalan, sayaaang! Papa jagain Anvi, yaaa!"
"Serahkan padaku! Hahaha!"
Hari-hariku di asrama Knight Academy Arvena pun akan dimulai dalam 6 hari ke depan.
***BERSAMBUNG***