"Anak iblis! Sana pergi! Jangan ikut kami main!"
"Pergi kau! Nanti kami kena kutukan iblis!"
"Aaaah! Nggak mau! Nggak mau kena kutukan ibliiis!"
Sekumpulan anak-anak berusia sekitar 5 tahun, mengusir seorang anak dari tempat bermain mereka. Mereka melemparinya dengan batu sambil berteriak memaki dan mengusirnya.
***
Quinta Alderin, seorang anak dengan darah campuran. Ibunya adalah seorang manusia biasa yang merupakan korban pemerkosaan ketika terjadi serangan oleh ras Demon di suatu daerah.
Sang ibu, pada awal mengetahui bahwa pemerkosaan yang terjadi kepadanya waktu itu telah berujung kepada kehamilan yang tak diinginkannya, sangat ingin menggugurkan kandungannya. Berbagai cara telah dilakukannya untuk menyakiti perutnya dengan harapan bahwa kandungannya akan gugur.
Tapi yang tersisa hanyalah nyeri yang dirasakannya. Semakin bertambahnya hari, semakin besar pula beban di perut yang harus ditanggungnya. Janin di dalam perutnya masih terus berkembang. Janin yang sangat tangguh.
Hingga akhirnya waktu kelahiran tiba dan penduduk sekitar mengetahui bahwa yang dikandungnya adalah bayi dengan benih dari Demon, kekacauan pun terjadi. Tentu saja. Semua orang memiliki dendam terhadap Demon. Dan ketika melihat bayi yang keluar dari perut wanita itu memiliki beberapa fitur Demon, semua orang murka.
Tetapi, seorang ibu tetaplah seorang ibu. Setelah melihat wajah polos dari bayi tak berdosa yang dilahirkannya, nalurinya sebagai seorang ibu pun timbul. Dengan segenap kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya setelah melahirkan, dia berusaha sekuat hati untuk melindungi bayinya. Dia tak peduli lagi bayi itu manusia atau bukan.
Sebelum kekacauan berkembang menjadi pembunuhan, seorang Petapa Tua yang semasa mudanya adalah seorang Petualang Plat Diamond papan atas datang ke gubuk tempat terjadinya proses kelahiran yang memicu kemarahan penduduk. Dia adalah orang yang sangat disegani di desa itu.
"Diam kalian semua!!!" Bentak Sang Petapa Tua kepada semua orang yang anarkis di gubuk itu.
Dengan satu tarikan nafas saja, semua orangpun diam. Hanya suara tangisan bayi nyaring yang terdengar kala itu. Tangisan seorang bayi bugar. Gerakan kaki dan tangannya terlihat kuat. Darah bercampur cairan ketuban masih melumuri seluruh tubuh bayi itu. Ekor kecil yang lancip pada ujungnya, keluar dari tulang sacrum bayi itu. Melambai-lambai dengan lincah.
Petapa Tua itu melangkah perlahan mendekati si ibu dan bayinya. Semua orang yang mengerumuni, perlahan membuka jalan bagi Sang Petapa Tua. Petapa Tua itu terus melangkah. Hingga langkahnya terhenti di hadapan wanita yang baru saja melahirkan bayi setengah Demon itu.
"Jangan... Aku mohon... Jangan bunuh anakku..." Rintih sang Ibu kepada Petapa Tua di hadapannya.
Petapa Tua tidak menanggapi rintihannya. Namun ia mengulurkan tangan kanannya mendekati bayi Half-Demon yang berada di pelukan sang Ibu. Melihat itu, sang Ibu semakin mengeratkan dekapannya terhadap bayinya yang masih menangis dengan lantang.
"J-jangan... Kumohon..." Rintih ibu itu lagi.
Sang ibu, semakin menguatkan dekapannya serapat mungkin, namun tetap menjaga agar tidak menyesakkan bagi bayinya. Semakin dekat raihan tangan Petapa Tua kepada bayinya, semakin besar pula ketakutan yang dirasakan sang Ibu.
Dia memicingkan matanya sekuat tenaga, tidak kuat melihat sang Petapa Tua yang akan membunuh bayinya. Bahunya gemetar hebat. Telapak tangan yang mendekao bayi itu terlihat pucat. Dia tidak akan sanggup jika bayi yang telah dikandungnya selama ini direnggut begitu saja darinya di hari kelahirannya. Meskipun pada awalnya dia sendiri telah berusaha untuk menggugurkannya.
Akan tetapi, tangan Petapa Tua yang telah menjangkau bayi itu, hanya diletakkan dengan lembut di kepala bayi Half-Demon tersebut. Lalu sang Petapa Tua mengelus kepala bayi itu dengan sangat perlahan. Dua kali, tiga kali.
"... Bayi yang cantik dan sehat." Ujar sang Petapa Tua.
Seketika, bahu si Ibu yang gemetar itu berhenti bergerak. Mata yang dipicingkannya, perlahan ia buka. Yang dilihatnya adalah, senyuman hangat sang Petapa Tua yang sedang mengelus kepala bayinya.
"T-Tuan Guryu?" Sang Ibu memanggil nama Petapa Tua itu dengan wajah yang kebingungan.
Menanggapi si Ibu, sang Petapa Tua tersenyum kepadanya dan berkata,
"Ayo, kalian berdua ikut aku. Aku akan membantumu merawat dan menjaga anak ini. Kalian yang lainnya, bubar!!!"
Mendengar itu, sontak mata sang Ibu menjadi terbelalak lebar. Tak selang lama, air mata mengalir dari kedua mata yang terbuka lebar tersebut.
Penduduk sekitar yang tadinya mengamuk, akhirnya bubar sambil menahan amarah mereka di dalam hati. Sebagian dari mereka menggerutu, tapi tetap pergi meninggalkan ibu dan anak yang menjadi penyebab amukan mereka barusan.
"Terima... Kasih... T-Tuan Guryu..." Ucap sang Ibu.
***
Kembali ke waktu kejadian di awal chapter.
"Quinta... Ayo pulang sama kakek. Kakek punya mainan baru untuk Quinta di rumah." Panggil Guryu kepada Quinta.
"... Um." Quinta mengangguk dan berlari menuju Guryu, meninggalkan sebayanya yang mengucilkan dirinya dari permainan mereka.
Quinta tumbuh bersama ibunya dan Guryu di rumah Guryu yang berada di puncak bukit dekat desa. Setelah Quinta berusia 5 tahun, Guryu mengajarinya ilmu bela diri yang dimilikinya, yaitu ilmu bela diri tangan kosong. Tujuannya adalah agar kelak ketika Quinta sudah cukup dewasa dan mulai menjalani hidupnya sendiri, dia dapat membela dirinya tanpa mengharapkan bantuan orang lain.
Tentu saja Guryu telah mendapat persetujuan dari sang Ibu. Ibunya mengerti, bahwa Quinta harus bisa melindungi dirinya sendiri suatu saat nanti. Itupun, mereka berdua tidak memaksa Quinta untuk mengikuti latihan dari Guryu. Namun Quinta sendiri yang bersedia untuk mengikuti pelatihan ilmu bela diri dari Guryu.
Quinta tidak punya teman. Tidak, lebih tepatnya, tidak ada anak-anak di desa yang mau berteman dengan Quinta. Orangtua mereka melarang anaknya untuk bermain dengan manusia setengah iblis seperti Quinta. Alhasil, teman bermain Quinta hanyalah ibunya sendiri dan Guryu. Karena itu, Quinta sangat senang ketika diajak berlatih ilmu bela diri oleh Guryu.
"Kakek Guryuuu! Mana mainannya?" Tanya Quinta yang sudah berumur 6 tahun, setelah sampai di rumah.
"Sini, ikut kakek ke belakang..."
Mereka berjalan ke belakang rumah. Di halaman belakang, sudah berdiri sebuah patung yang terbuat dari kayu. Patung itu sekilas terlihat seperti orang-orangan. Ada bagian yang menyerupai kepala, lengan, badan, dan tungkai.
"Waaaah... Itu apa, Kek?" Tanya Quinta.
"Ini, bisa kakek gerakin tangan dan kakinya. Nanti Quinta bisa latihan pake ini..."
"Waaaw kereeeen! Makasih, Kakeeek!"
***
Beberapa tahun kemudian, di saat Quinta telah berumur 15 tahun, Guryu mengatakan sesuatu kepadanya di akhir sesi latihan mereka. Latihan ilmu bela diri tangan kosong yang hampir setiap hari mereka lakukan.
"Quinta..."
"Iya, Kek?"
"Sekarang, kakek mau melihat kekuatan penuhmu. Gunakan jurus terkuat yang benar-benar kamu kuasai kepada boneka kayu untuk latihan itu." Perintah Guryu kepada Quinta sambil menunjuk patung boneka kayu yang digunakan Quinta untuk latihan selama ini.
"T-tapi, kalo nanti rusak, gimana, Kek?" Tanya Quinta, meragu.
"Haha... Kamu jangan pikirkan itu. Kakek bisa buatkan yang baru dalam sehari saja..."
"Baiklah kalo gitu. Aku mulai ya, Kek... Fuuu~ huuupp!"
Quinta berdiri menghadap dummy kayu dengan jarak 3 meter, kedua kakinya dilebarkan memasang kuda-kuda. Kedua tangan dikepalkan dan diletakkan di samping pinggangnya. Ekor lancip miliknya melengkung ke atas dan kaku. Quinta menarik nafas panjang, lalu mengeraskan perutnya.
Dia berkonsentrasi penuh. Lalu kaki kanan ditarik ke belakang, tubuhnya menghadap ke kanannya. Quinta memusatkan seluruh Chi di tubuhnya pada satu titik. Di kepalan tangan kanannya.
"Chi Burst!" Quinta berteriak sambil meninjukan kepalan tangannya lurus ke arah dummy.
*Brraaaassssssshh!*
Angin kencang berputar menjauh dari tubuhnya dan membentuk lingkaran debu di sekeliling Quinta. Seperti lengannya memanjang, Chi yang kuat keluar dari kepalan yang dipukulkannya dari jarak 3 meter ke arah dummy. Chi tersebut menghantam dan menembus bagian badan dari patung kayu.
Kemudian Quinta memperbaiki kuda-kudanya kembali, lalu berdiri tegak.
"Fyuuuuhhh..." Quinta menghela nafas panjang.
"Dengan ini, tidak ada lagi yang bisa Kakek ajarkan kepada Quinta."
"Ha? Maksud Kakek?" Quinta bingung mendengarnya.
"Ya, begitulah adanya. Semua ilmu bela diri dan pengendalian Chi yang kumiliki, telah kuajarkan kepadamu. Sekarang, Quinta adalah seorang petarung yang cukup kuat untuk bisa menghadapi dunia ini. Tinggal Quinta sendiri yang harus melatih dan memperdalamnya. Tapi ingat, kekuatanmu, hanya boleh kamu pergunakan untuk membantu sesama. Jangan sekali-sekali kamu pergunakan kekuatanmu untuk menindas yang lemah, apalagi untuk perbuatan kriminal."
"Terus, apa kita nggak akan latihan lagi?"
"Hahaha... Tentu saja kita tetap latihan. Kakek akan selalu menemani Quinta berlatih selama tubuh renta ini masih kuat."
"Okee! Kakek janji, yaa!"
"Hahaha... Oh, ya... Quinta, ini hadiah dari Kakek karena kamu udah lulus dari pelatihan Kakek dan sudah berhak untuk menjadi seorang Fighter."
Guryu mengeluarkan sesuatu yang dibungkus rapi dengan kain coklat. Diikat dengan tali berwarna merah.
"Apa itu, Kek?" Tanya Quinta saat menerima bungkusan itu.
"Bukalah. Nanti kamu tau sendiri."
Dengan sedikit terburu-buru karena rasa penasarannya, Quinta membuka ikatan dari bungkusan tersebut. Tidak sulit membukanya. Hanya tinggal menarik salah satu ujung pita saja, simpulnya sudah terbuka. Sisanya, tinggal melepas lilitan tali tersebut beberapa putaran.
"Wah! Knuckle! Dan... Ini bagus banget, Kek! Makasiiiiih Kakek Guryuuu!"
"Ahahaha... Kakek senang kalau kamu suka. Coba dipakai..."
"Um!"
Quinta langsung memakainya pada kedua tangannya. Ternyata, pas! Dengan sedikit ruang di bagian dalam knuckle yang dipersiapkan untuk nanti ketika Quinta tumbuh dan tangannya menjadi sedikit lebih besar lagi.
Knuckle ini, pada bagian dalamnya terbuat dari anyaman serat mithril. Berfungsi sebagai konduktor untuk menyalurkan Chi dan energi magic kepada pukulannya. Lalu di bagian luar, dipatri plat-plat crystalline yang cukup tebal, namun diposisikan sedemikian rupa sehingga tidak membuat kaku pergerakan jemarinya.
Knuckle ini sengaja dibuat menjadi sangat ringan namun juga keras dan kuat, serta mampu menyalurkan energi magic ke setiap pukulannya. Knuckle yang bisa dikatakan memiliki kualitas sangat tinggi.
"Knuckle itu, Byakko Fist, dulu selalu Kakek gunakan dalam setiap misi kakek ketika masih menjadi Petualang Plat Diamond. Sekarang, sudah kakek modifikasi agar pas di tanganmu. Knuckle itu sekarang menjadi punya Quinta."
"Heee!? Kakek Guryu dulunya Petualang Plat Diamond!? Kenapa baru bilang sekaraaang!?!?"
"Hahaha... Karena menurut kakek itu tidak penting. Lagipula, itu sudah lama sekali sebelum kakek memutuskan untuk gantung knuckle."
"Uwaaaaa! Kereeeen! Terima kasih Kakek Guryu! Quinta sayaaaang sama kakek!"
A/N : Kemudian muncul chapter hentai mereka...
LMAO! JK JK...
Di senja yang penuh kebahagiaan melankolis tersebut, mereka tidak menyangka bahwa senja itu akan berubah menjadi kegelapan malam yang bersimbah darah, setelah mereka mendengar teriakan dari kejauhan.
"Kyaaaaaaaaaaaaaaaa!!!"
***BERSAMBUNG***
______________________________________
Seperti biasa, maaf kalau banyak typo. Dan silahkan vote kalau suka cerita ini. Terima kasih!
Nama penting di chapter ini :
- Quinta Alderin. Half-Demon, Fighter Knuckle. Byakko Fist.
- Guryu. Fighter Knuckle.