*DHUUAAAAAAAARRRRRRR*
"Uhuk uhuk! Uhuhuhuk!"
"Androooaaaaa! Apa lagi yang kamu perbuat, nak!?"
"Ehehe... Uhuk uhuk... Maaf, Ibu. Aku sedang membuat bom untuk meledakkan batu yang menyumbat terowongan menuju ruang tambang emas, tapi jariku terpeleset sedikit."
"Terpeleset... SEDIKIT!?"
"Iya, sedikit..." Jawab Androa sambil mendekatkan ujung jari telunjuk dan jempol.
"Tapi... Tapi lihat kamarmu! Sekarang kamarmu sudah menjadi satu dengan dapur dan toilet karena kamu menghancurkan dindingnya!"
"Ehehe... Tidak sengaja, Ibu... Ya sudah, nanti kalau ada yang mandi atau berak, aku tutup mata, Bu! Aku tidak akan mengintip! Janji!"
"Sebaiknya kamu segera kembali ke akademimu, nak. Di sana kamu bisa bebas bereksperimen." Kata Ibunya Androa dengan nada putus asa.
"Ta-tapi, Bu! Kan liburan masih 2 minggu lagi!?"
"Androa anakku, patuhi kata-kata ibu kalau kamu tidak mau bapakmu menghajarmu mengeluarkan semua isi perutmu dan membuat kepalamu tidak bulat lagi. Hari ini juga kamu harus berangkat, karena besok bapakmu akan pulang dari proyek menambang adamantium. Kamu tidak menginginkan yang seperti dulu itu kan?" Tatapan mata Ibunya Androa berubah menjadi sadis.
"Hi--hiiiii! T-ti-tidak, Ibu! Aku tidak mauuuu! Baik, aku akan kembali ke akademi hari ini jugaaaa!"
***
Begitulah. Aku terpaksa kembali ke Kota Arvena, dan masuk asrama siswa di KAA lagi. Padahal, yang lain masih belum kembali. Hanya segelintir siswa tingkat 2 yang masih berada di kawasan akademi ini. Itupun karena rumah mereka sangat jauh.
Sedangkan aku, rumahku hanya berjarak 3 hari perjalanan darat saja dari Kota Arvena. Di Hutan Zurg, tepatnya di sebuah bukit batu yang ada di dalamnya. Karena kami ras Dwarf sangat menyukai hidup di dalam tanah dengan membuat ekosistem yang berupa kehidupan di dalam gua dan terowongan yang kami buat sendiri di bukit batu itu.
Banyak juga Dwarf yang sudah membaur dengan manusia dan tinggal di perkotaan. Tapi keluargaku lebih menyukai kehidupan di habitat kami. Aku pun demikian.
Sudah setahun aku menjadi siswa di KAA. Di sana, aku dapat melakukan penelitian untuk penciptaan bom baru. Orang-orang banyak yang merasa janggal. Dwarf tapi Alchemist? Hahaha...
Aku memang ras Dwarf tulen. Tapi sejak lahir, aku mendapatkan Blessing yang bernama Chemistry Genius. Blessing ini membuatku otomatis mengetahui fungsi ataupun segala reaksi yang dapat terjadi kepada sebuah zat yang kupegang.
Aku baru menyadari ini ketika aku ikut Bapak menambang di kedalaman terowongan. Waktu itu aku mengambil sebuah batu hitam, lalu aku langsung mengerti apa saja kegunaan batu itu dan bagaimana cara menciptakan sebuah ledakan dengan menggunakan batu itu.
Semenjak itu aku mulai jatuh cinta dengan ledakan. Semakin besar dan indah ledakannya, aku semakin suka! Setiap hari aku bereksperimen untuk membuat ledakan. Berawal dari percikan bintang-bintang kecil yang sepi, sampai kembang api beruntun yang meriah dan mampu membuat sebuah bukit menjadi kawah.
Saat ini, aku sedang meneliti tentang campuran bahan-bahan peledak yang dapat kugunakan untuk instakill monster kelas D dengan material sesedikit mungkin. Kalau perlu, 1 vial kecil bom saja sudah dapat menghancurkan tubuh seekor monster kelas D.
Dan tadi, aku hampir saja berhasil. Hanya butuh sebuah material penstabil lagi agar bom yang kubuat tidak auto meledak seperti tadi karena terjadi reaksi antar material di dalam vial.
Selain Alchemist, aku juga memiliki skill di bidang Blacksmith. Dwarf harus pandai menempa dan merakit, bukan? Itu sudah ada di dalam darahku sejak aku dilahirkan. Lagipula, Alchemist dan Blacksmith ini pada prakteknya akan dapat berjalan dengan sinergis.
Selain menciptakan peledak, aku juga sedang dalam proses merakit pelontar untuk melemparkan peledakku dari jarak jauh. Semakin jauh dan akurat, akan semakin bebas aku membuat peledakku. Aku tidak perlu mengkhawatirkan diriku akan terkena efek ledakan jika aku bisa melontarkannya sangat jauh dariku.
Selagi mencari cara untuk menstabilkan beberapa material peledak di dalam 1 vial, sepertinya aku fokus kepada perakitan pelontarnya dulu. Karena saat ini aku sudah memiliki banyak vial dengan beraneka ragam fungsi, efek, dan kekuatan yang sangat berguna dalam pertempuran.
Aku tidak sabar!
Di perjalanan menuju Kota Arvena, aku tidak merasakan waktu telah berjalan begitu saja. Sepanjang jalan aku hanya memikirkan bagaimana cara merakit pelontar yang efektif dan efisien serta memiliki mobilitas tinggi. Kalau bisa, mampu menyimpan beberapa vial sekaligus di dalamnya yang siap ditembakkan.
Dan akhirnya...
"Arvena sudah dekat. Tidak apalah aku disuruh cepat kembali. Biar aku lebih bebas bereksperimen. Tapi..." Gumamku ketika melihat Kota Arvena dari kejauhan.
Tapi aku tidak menyukai manusia. Mereka sering memandang rendah diriku! Bukan karena tubuhku pendek. Tapi tatapan mata mereka itu memang tatapan yang merendahkanku. Pasti karena aku tidak memiliki magic. Manusia memang suka merendahkan individu yang memiliki kekurangan dibanding mereka.
Bah! Mereka tidak tahu. Bahwa aku memiliki kemampuan Alchemy yang sangat tinggi! Aku bisa membuat sesuatu yang lebih kuat dari magic mereka itu! Tanpa memerlukan magic sedikitpun!
Baiklah. Sudah kuputuskan! Aku akan langsung membuat prototipe pelontar vial. Berarti, aku akan mencari bahan logam untuk membuat bagian-bagian pelontarnya terlebih dahulu.
Aku sudah membawa toolkit lengkap untuk merakitnya. Setelah berburu bahan mentah di pusat perdagangan, aku akan langsung ke ruang bengkel di akademi.
***
"Baiklah. Semua sudah siap. Aku akan membuat alat pelontar pertamaku! Androazer Mark I."
*Zhuussssshh*
*Teng teng teng*
*Cekrak cekrak*
*Diinggg diiinggg*
*Sreeek sreeekk*
*Krek krek krek*
Lima jam berlalu tanpa kusadari. Ketika kulihat jendela, kedua cahaya mentari sudah memerah. Cahayanya jatuh miring hampir horizontal ke dalam ruang bengkel akademi ini. Menunjukkan bahwa hari sudah mendekati senja.
Di tanganku, sebuah alat yang menyerupai tabung berpenampang kecil seukuran vial-vialku, dengan panjang 1 meter, dan bergagang sesuai dengan ukuran genggaman telapak tanganku. Bekerja dengan prinsip pegas yang mampu melontarkan vial berisi bahan kimia hasil Alchemy sejauh 100 meter maksimal. Begitu teori yang telah kuperhitungkan.
Tapi, mari kita coba menguji kemampuannya di lapangan. dengan semangat menggebu, kubawa Prototipe Androazer ke lapangan. Agar tidak membahayakan, aku akan menggunakan vial kosong dulu sebagai amunisinya.
Aku menarik pegasnya sampai mentok, lalu mengaitkan ke trigger. Setelah itu, vial kosong kumasukkan ke dalam tabung pelontarnya. Kuarahkan ke atas, lalu kutekan trigger-nya.
*Taarrrr*
Yang keluar dari tabung pelontar adalah... Serpihan vial yang sudah pecah. Vialnya pecah tepat setelah kutekan pelatuknya. Kalau seperti ini, kemungkinan vialnya terlalu rapuh untuk menahan benturan yang diakibatkan oleh pegas. Atau benturan dari pegasnya terlalu kuat bagi vialnya.
Antara dua itu. Tapi, semua stok vial yang kumiliki ya seperti vial yang kugunakan barusan. Dan lagi, jika aku menggunakan vial yang lebih keras, takutnya malah tidak pecah ketika kontak dengan target serangan.
"Berarti aku harus membuatkan bantalan pada ujung pegas pelontarnya. Huh... Tapi sudah senja. Mungkin aku lanjutkan besok saja. Malam ini, aku akan merancang desain bantalannya supaya empuk, tahan lama, dan tetap mampu melontarkan vial dengan kuat." Aku berbicara kepada diri sendiri sambil berjalan ke kamarku di asrama, membawa Prototip Androazer di punggungku.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku sudah siap untuk ke pusat perdagangan untuk mencari bahan yang akan kugunakan sebagai bantalan pegas pada Androazer. Dari hasil racikan teoriku tadi malam, aku akan menggunakan bahan yang terbuat dari karet dan kapas.
Skip skip. Akhirnya aku berhasil merakit ulang Prototipe Androazer yang sudah mengalami sedikit perubahan pada sistem pelatuknya agar lebih minim getaran dan lebih ringan. Lalu bagian gagang juga aku ubah sedikit supaya lebih nyaman dipegang menggunakan satu tangan maupun dua tangan.
Pengujian kedua. Lagi-lagi aku mengujinya di lapangan akademi dengan menggunakan vial kosong.
*Shpang!*
Kali ini, vial kosong yang utuh meluncur keluar dengan cepat dari barel Androazer. Berarti, bantalan pegas yang kupasang sudah berhasil meredam benturan yang menyebabkan vial pecah di uji coba sebelumnya.
Ya, bantalan pegasnya sukses. Tapi, masih ada tapinya...
Jarak tembak dari pelontar ini tidak memenuhi ekspektasiku. Padahal, saat kuuji kekuatan lontaran dari pegasnya saja sebelum merakitnya menjadi pelontar, bisa melontarkan vial kosong sekitar sejauh 100 meter. Dan jarak lemparan vial barusan, tidak lebih dari 50 meter saja.
"Hmm... Kalau kekuatan murni dari pegasnya bisa sampai 100 meter, berarti ada kesalahan di bagian lain..." Aku kembali berujar kepada diri sendiri.
Yang terpikir olehku untuk saat ini adalah antara akibat dari pemberian bantalan, atau gaya gesekan dari dinding dalam barelnya. Ah! Aku kurang memperhatikan bagian dalam barelnya! Aku hanya mengamplas bagian luarnya saja. Bodohnya aku!
Setelah kuperiksa, ternyata bagian dalam barel Androazer sangat kasar. Permukaan yang kasar akan memberikan gaya gesek yang dapat mengurangi kecepatan dari lontaran vial. Selain itu, turbulensi udara yang diakibatkan juga dapat semakin mengurangi kecepatan vialnya. Begitulah teori yang terpikirkan olehku.
Kemudian, aku amplas bagian dalam barel tersebut sampai semulus mungkin. Lalu, tidak cukup hanya dengan mengamplasnya, aku juga melumuri minyak pelumas di seluruh dinding bagian dalam dari barel Androazer. Kupastikan seluruh permukaan dinding bagian dalamnya telah terlumuri secara sempurna sebelum menyudahinya.
Kemudian, setelah puas dengan hal tersebut, aku memikirkan lagi tentang bantalan pegas. Bantalan yang kubuat dari komposit antara karet dan kapas itu, sepertinya sudah yang paling baik yang dapat kubuat saat ini. Pengurangan sedikit jarak tembak demi keutuhan vial yang ditembakkan, sepertinya bukan pertukaran yang perlu dipermasalahkan.
"Selesai. Semoga dengan ini jarak tembaknya bisa mendekati 100 meter."
Eksperimen pelontar vial Androazer ketiga, dimulai.
*Shpaang!*
"..."
Kuperhatikan dengan seksama. Vial yang meluncur keluar dari barel itu... Memang tidak mencapai 100 meter.
Tapi berhasil melewati angka 80 meter! Lebih tepatnya... 86,347239 meter!
"Yeaaahhh!!! Sukseeessss!!!" Teriakku, sendirian di tengah lapangan akademi.
Berikutnya, kucoba dengan vial berisi serbuk kembang api warna-warni yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Dan...
*Shpaang!*
*Dhuaaarr wiii wiii daaarrr daaarr wiiii blaaarrr*
Vial kembang api memang kudesain untuk meledak dalam 3 detik setelah pembakaran terpicu.
Sukses. Aku berhasil menciptakan pelontar vial alchemy. Aku adalah Alchemist jenius!
"Hoi Androa Dwarf lemah! Ayo ikut aku berburu monster! Sekalian latihan biar badan nggak karatan!"
Belum puas aku menikmati keberhasilan ini, terdengar suara Halea dari kejauhan. Dia adalah satu dari segelintir manusia yang aku tak terlalu mempermasalahkan jika ia memandang rendah diriku. Karena dia memang selalu memandang rendah semua orang.
Dia adalah seorang Princess dari sebuah kerajaan terbesar dan terkuat di Benua Zegga. Jadi menurutku, adalah hal yang wajar jika dia memandang rendah semua manusia lainnya. Termasuk Dwarf sepertiku.
"Ok! Aku juga mau mencoba senjata baruku!"
***BERSAMBUNG***
_______________________________________
Nama penting di chapter ini :
- Androa, Dwarf Alchemist Bomber, Androazer.
- Halea, Dragoon Princess.