Chereads / Moros Ker Thanatos : V / Chapter 2 - <[ EPS. 1 - HIDUP DAN MATI ]>

Chapter 2 - <[ EPS. 1 - HIDUP DAN MATI ]>

"Kau tunggu di sini ya, Paman ingin membelikanmu es krim." kata seorang pria berumur tiga puluh tahun kepada seorang gadis kecil.

"Baik Paman, aku akan menunggu di sini." jawab gadis kecil itu dengan riang. İa tak pernah tahu bahwa percakapan beberapa detik yang lalu di antara mereka menjadi percakapan terakhir di antara mereka.

Gadis kecil itu duduk di bangku panjang sambil memainkan kakinya yang sudah melayang di atas tanah. İa masih riang menunggu sang Paman kembali membawa es krim yang telah dijanjikannya. Hingga akhirnya matahari berubah menjadi rembulan namun sang Paman tak kunjung datang.

Gadis kecil itu menghela nafas panjang. İa berjalan meninggalkan taman bermain yang sudah mulai sunyi tak lagi menunggu Pamannya. İa anak yang pintar sepanjang apapun ia menunggu Pamannya tak akan mungkin kembali menjemputnya, ia paham jika sanak saudaranya tak menginginkan kehadirannya sebab bagi mereka dirinya hanyalah sebuah penghalang yang harus disingkirkan. Sebenarnya ia sudah tahu hal ini sejak awal, harapan membuatnya tak ingin mempercayai asumsinya.

Kecelakaan maut kemarin malam tidak hanya merenggut kedua orang tuanya, tapi juga merenggut dunianya. İa kehilangan segala apa yang dimilikinya, keluarganya, hartanya, kepercayaannya dan juga harapannya. Kini ia hidup sebatang kara, tak ada yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri.

Semesta memaksanya untuk bertarung melawan kerasnya dunia. Tak ada belas kasih yang ia terima, ia harus bekerja jika ingin mendapatkan uang namun umurnya menjadi penghalang dirinya untuk mendapatkan pekerjaan.

İa mengikuti cara orang-orang yang bernasib sama dengannya, mengangkat tangan meminta sedikit uang kepada mereka yang berlalu lalang dihadapannya. Namun lucunya menjadi seorang pengemis pun tak semudah yang ia bayangkan.

İa tak bisa begitu saja menjadi seorang pengemis dan sesuka hatinya memilih wilayahnya sendiri. Setiap sektor selalu dikuasai oleh penguasa jalanan yang berbeda-beda. Berbeda pemimpin, berbeda pula jumlah tarif yang wajib dikeluarkan para pengemis untuk menyewa tempat. Semakin banyak pengguna jalan yang berlalu lalang di trotoar, maka semakin mahal pula tarif yang dipasang oleh penguasa jalanan.

"Karena kau masih baru, aku akan memberikan harga anggota baru." kata seorang penjaga yang bertugas sebagai admin.

Gadis kecil itu hanya bisa tersenyum kecut saat mendengar tarif sehari untuk menjadi pengemis di wilayah mereka sama dengan harga satu porsi sekali makan di restoran sederhana. Karena tak bisa bayar uang sewa mereka mengusir gadis kecil itu dengan kasar.

Awalnya ia ingin merelakan dirinya ditangkap dengan suka rela oleh badan hukum yang setiap bulan sekali selalu melakukan inspeksi. Mereka akan menangkap penduduk yang tidak memiliki identitas, pengemis dan para gelandangan. Tak ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka selanjutnya, sebab mereka yang tertangkap tak lagi diketahui keberadaannya. Namun akhir-akhir ini terdengar rumor, mereka yang tertangkap ditemukan mati dengan cara yang mengenaskan.

Jalan terakhir yang bisa ia lakukan untuk bertahan hidup hanyalah menjadi pencuri. Agar tidak selalu dihantui oleh penyesalan karena melanggar prinsip hidupnya. İa selalu menganggap setiap makanan yang ia ambil sebagai upah dari pukulan-pukulan yang ia terima. Saat merasa pukulan itu telah mencapai tiga kali, ia akan lari sekuat tenaga agar pemilik kedai tidak meminta kembali makanan yang telah diambilnya.

Meskipun dirinya kini memiliki titel sebagai pencuri, bukan berarti ia telah menanggalkan seluruh prinsip hidupnya. İa hanya mencuri sedikit untuk jatah makannya sehari sekali, ia juga tak pernah mencuri hal lainnya selain makanan dan minuman. Banyaknya pencurian yang pernah ia lakukanpun masih bisa ia hitung dengan jarinya.

Tidak terasa sudah hampir dua bulan dirinya hidup di jalanan tanpa alas maupun atap. Di bawah jembatan layang ia duduk bersiap menyantap jatah makannya hari ini. Baru ia ingin menyuap tiba-tiba pandangannya jatuh ke seorang gadis yang seusia dengannya sedang menatap dirinya lekat-lekat.

Awalnya ia hanya menganggap gadis itu merasa aneh dengan rambutnya yang berwarna perak, sebab memang rambutnya berbeda dari anak-anak lainnya. Rambutnya tidak berwarna pirang ataupun putih seperti mereka yang berdarah albino. Saat ia memperhatikan wajah gadis itu dengan teliti, ia bisa melihat wajah gadis itu pucat kesi.

İa menarik rambut panjangnya yang di kuncir kuda hingga arahnya berubah. İa sangat kesal dengan dirinya sendiri, lagi-lagi prinsip yang telah mendarah daging di tubuhnya membuat ia tak bisa bertindak sesuka hatinya. Dengan terpaksa ia memberikan jatah makannya kepada gadis itu sambil menaikkan tudung kepalanya ia berlalu.

İa berjalan tak menentu, memang ia selalu berjalan tak tentu arah sebab ia sudah tak kenal lagi jalan pulang. İa menggigit bibirnya sambil menahan rasa lapar. Meskipun ia sudah terbiasa dengan rasa lapar namun menahan lapar masih begitu berat untuk anak berumur enam tahun.

Rasa pusing dan sakit di bagian lambungnya segera menjalar menghantam tubuhnya. İa tak kuat lagi untuk berjalan, jadi ia memutuskan untuk duduk di pinggir jalan. İa menyenderkan tubuhnya pada tiang lampu jalanan sambil memejamkan matanya berharap rasa pening dan sakit itu hilang.

Hari telah berganti malam saat ia membuka matanya. İa tertawa tanpa suara, menertawakan dirinya yang pingsan karena tak mampu menahan lapar. İni bukan untuk pertama kalinya terjadi, jadi ia cukup terbiasa. Terkadang ia bersyukur karena sempat pingsan sebab ia tak perlu lagi merasakan lapar yang melilit perutnya.

Dengan gontai ia berjalan mencari kedai makanan. İa tak tahu pukul berapa saat ini, yang ia tahu angin malam ini begitu menusuk hingga ke sumsum tulangnya walaupun ia telah menutup rapat tubuhnya dengan jubah tebal lusuhnya. Matanya bercahaya saat ia melihat sebuah kedai berbentuk mobil truk di ujung jalan.

Lampu dari kedai truk itu menjadi satu-satunya penerang jalanan. Lampu jalan yang mati memang sudah menjadi hal yang biasa gadis kecil itu temui, jadi ia tak merasa takut ataupun curiga.

Gadis kecil itu telah menyembunyikan roti dan sebotol minuman dalam bajunya, ia sedang bersiap-siap menerima pukulan dari pemilik kedai. Namun malam itu, hal yang tidak biasa terjadi. Pemilik kedai mengeluarkan sebilah pisau tajam dari balik bajunya. Jika saja cahaya tidak memberikan pantulan ke wajahnya, mungkin malam itu ia telah menemui ajalnya.

Melihat sebuah pisau terangkat, membuat detak jantungnya berdebar tidak karuan. Pikirannya mulai saling bertabrakan satu sama lain. Keringat dingin mengalir deras dari sekujur tubuhnya. Yang ia pikirkan hanya satu, "Harus tetap hidup!".

Pemilik kedai memberikan serangan pertama tepat ke arah perutnya, gerakannya terlihat begitu lambat di matanya. İa berjalan mundur untuk menghindar. Nampaknya pemilik kedai masih begitu amatir dalam menggunakan pisau. Saat pemilik kedai sadar bahwa pisaunya hanya menusuk angin, ia menjadi begitu geram.

Sialnya gerakan cepat itu memberikan beban yang terlalu berat pada tubuhnya, membuat kepalanya semakin terasa pening. Pada saat dirinya terhuyung pemilik kedai itu mencengkeram jubahnya, menyeretnya ke sisi jalan yang tak diterangi cahaya. İa membawa gadis kecil itu ke tempat yang lebih tertutup agar tidak ada saksi mata pembunuhan yang akan ia lakukan. İa melempar kasar tubuh gadis kecil itu ke dalam jalan yang lebih kecil tanpa cahaya sedikit pun.

BRUK!

"Ck! Sial." gerutu pemilik kedai kesulitan melihat dalam gelap. İa sebenarnya tahu dirinya akan kesulitan melihat dalam gelap, namun karena berpikir warna terang dari rambut gadis itu akan membantunya, jadi ia tidak mempermasalahkannya.

Lemparan itu membuat gadis kecil terjerembab. İa tersenyum mendengar keluhan pemilik kedai karena kegelapan itu tidak hanya menyulitkan dirinya, namun juga menyulitkan musuhnya.

İa menarik tudung kepalanya dalam-dalam untuk menutupi rambutnya yang keperakan. İa menunggu sambil mendengarkan setiap kata makian yang semakin lama semakin dekat di telinganya. İa juga bisa mendengar dengan jelas decitan sepatu bot pemilik kedai.

Malam itu dewi Fortuna terbang dari Olympus menemuinya secara khusus untuk memberikan berkat. Pisau yang digunakan pemilik kedai terbuat dari logam yang dapat mengeluarkan cahaya ketika gelap. Ia tidak melewatkan keberuntungan itu begitu saja. Ia menganalisa bahwa tinggi tubuhnya sekitar sepinggang pemilik kedai. Tinggi pisau yang terangkat ke langit itu membuatnya harus tetap mendongak untuk melihatnya.

Gadis cilik itu berjalan pelan sambil meraba-raba apa yang ada di depannya. Jarak cahaya yang dipantulkan pisau itu mulai dekat dengan tubuhnya. Ia mulai mengambil ancang-ancang untuk memukul apapun yang ada di depan wajahnya. Karena itu tepat dengan bagian vital pemilik kedai tersebut.

Suara pukulan terdengar disusul oleh suara teriakan dan suara logam jatuh ke tanah. Ia berjalan mundur agar tubuhnya tak bisa diraih oleh pemilik kedai itu.

"Malam ini mungkin ia bisa selamat, tapi malam-malam berikutnya belum tentu ia bisa selamat!" kalimat itu melayang dalam pikirannya.

Tanpa pikir panjang ia mengambil pisau yang tergeletak, melayangkannya dengan membabi buta. Teriakan dan makian terdengar begitu nyaring di telinganya.

Perkelahian buta terjadi di antara mereka. Saling memukul tanpa tahu dengan pasti dimana musuh mereka. Usai pertukaran puluhan serangan buta, tak ada lagi suara cacian dan makian yang sebelumnya menggema.

Gadis kecil itu mundur untuk mengambil nafas sejenak. Nafasnya terasa berat, tangannya sudah bergetar karena lelah. Tak ada suara selain nafasnya yang tersengal-sengal. İa berjalan maju sambil meraba-raba mencari lawannya.

Saat telapak kakinya tak sengaja menyentuh sesuatu, karena panik ia kembali melayangkan serangan-serangan mematikan kepada lawannya. İa sudah tak peduli lagi dengan apa yang terjadi, usai menyerang membabi buta ia berlari menuju cahaya remang dikejauhan.

Hingga akhir nafasnya sang pemilik kedai tak pernah menyangka bahwa dewa kematiannya adalah seorang anak kecil yang sempat menjadi calon korban pembunuhan pertamanya.

Cahaya dari kedai truk kembali menyinari tubuhnya, betapa terkejutnya ia melihat seluruh telapak tangannya bersimbah darah. İa memang begitu terkejut namun anehnya ia tidak merasa takut atau merasa bersalah sedikit pun.

Saat ia ingin kembali melangkah, tubuhnya tak bisa ia gerakkan. İa sudah kehabisan tenaganya, seluruh tubuhnya mati rasa. Perlahan ia terhuyung jatuh ke tanah, tangannya melepas pisau yang sedari tadi ia genggam dengan erat.

Matanya yang masih terbuka menyaksikan seorang laki-laki dengan perawakan tinggi begitu berwibawa berjalan ke arahnya. Pertanyaan datang bertubi-tubi memenuhi sel otak gadis kecil itu membuatnya cukup sibuk hingga matanya tak kunjung terpejam.

Ia mengamati wajah laki-laki yang kini tengah berjongkok sambil memperhatikannya. Wajahnya begitu tampan tanpa celah dengan bola mata biru laut seperti kristal menyempurnakan pesonanya. Tak ada rasa takut dalam dirinya, mungkin rasa takut itu telah habis dalam pertempuran hidup dan mati beberapa menit yang lalu.

Tanpa sepatah kata laki-laki itu mengangkat tubuhnya yang sudah tak berdaya, menaruhnya dalam dekapannya. Untuk pertama kalinya gadis itu bertemu dengan Aldrich Éclair.

✌••••• BERSAMBUNG •••••✌