Chereads / THOMAS SANG PETARUNG / Chapter 1 - Vol.1. DUNIA

THOMAS SANG PETARUNG

đŸ‡źđŸ‡©Ferguso_kageyama
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 120.2k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Vol.1. DUNIA

PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat

meninggalkan London. Penerbangan ini nonstop menuju

Singapura.

Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di

kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar.

"Silakan," kataku."Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah

berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda." Dia sedikit percaya diri tampaknya.

Senyumnya lebih baik.

Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah

berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah mingguan itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini amat penting, waktunya mendesak, pembaca setia mereka ingin

tahu bagaimana cara terbaik menyikapi turbulensi ekonomi dunia saat ini. Apa pun akan mereka lakukan untuk mendapatkan

materi wawancara, termasuk menyusulku ke London.

Baiklah, aku memberikan waktu satu jam selepas

konferensi.

Lagi-lagi wartawan mereka datang terlambat di gedung konferensi, dan aku sudah menumpang taksi bergegas menuju bandara.

Editor itu kembali terburu-buru menelepon, bilang mereka sudah berusaha mengirimkan wartawan terbaik mengejarku ke

Eropa, tetapi jadwalku terlalu padat untuk diikuti. Sambil tertawa, dia bergurau, "Kau tahu, Thom. Bahkan jadwalmu lebih

padat dibanding presiden."

Demi sopan santun aku ikut tertawa, lantas berkata pendek,"Kita lakukan saja sekarang di atas langit atau lupakan sama

se­kali."

"Seperti yang mungkin sudah disebutkan dalam e-mail, ini akan menjadi judul di halaman depan." Gadis dengan blus putih

dan rok hitam konservatif selutut itu masih melanjutkan dengan kalimat pembukanya. "Anda tahu, terus terang saya sedikit

gugup. Bukan untuk wawancaranya, tapi karena saya begitu antusias. Ya Tuhan, saya baru pertama kali menumpang pesawat

besar. Ini me­ngagumkan. Lebih besar dibandingkan foto-foto

rilis pertamanya. Berapa ukurannya? Paling besar di dunia? Tiga kali pesawat biasa. Dan saya menumpang di kelas eksekutif.

Teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu redaksi kami menghabiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket agar

saya satu pesawat dengan Anda."

Aku mengangguk, lebih asyik mengamati penampilan "wartawan terbaik" di sebelahku itu. Aku bergumam, semoga isi kepalanya secantik penampilannya. Gadis itu lebih cocok menjadi

pembawa acara di layar televisi dibandingkan kuli tinta, bergenit ria dengan dandanan dan kalimat, padahal kosong. Apa tadi

kualifikasinya? Lulusan terbaik sekolah bisnis? Ada ribuan orang yang memiliki predikat itu aku bahkan punya dua.

"Sejak kapan kau menjadi wartawan?"

Senyum riang gadis itu terlipat, meski ekspresi wajah ter­baiknya tetap menggantung.

"Saya?"

"Ya, sejak kapan kau menjadi wartawan?"

"Dua tahun," dia menjawab ragu-ragu.

"Berapa usiamu sekarang?"

"Usia? Eh, dua puluh lima."

"Ada berapa wartawan di kantormu?"

"Eh?"

"Ya, anggap saja aku yang sedang mewawancaraimu." Aku

menatapnya tipis, mengabaikan pramugari yang penuh sopan

santun berlalu-lalang menawarkan kaviar serta anggur terbaik."Hampir tiga puluh."

"Menarik." Aku menjentikkan telunjuk. "Dari tiga puluh wartawan di kantor review ekonomi mingguan yang mengklaim

terbesar di Asia Tenggara, pemimpin redaksi kalian ternyata memutuskan mengirimkan juniornya yang berusia dua puluh lima

dan baru bekerja dua tahun, melakukan wawancara yang katanya paling penting, topik paling aktual, yang judulnya akan diletakkan di halaman depan edisi breaking news. Amat menarik, bukan?"

Wajah gadis itu memerah. Sepertinya aku berhasil menyinggung harga dirinya. Dia terdiam sejenak, meremas jemari, napasnya tersengal. Boleh jadi, kalau tidak sedang di pesawat,

dia sudah bergegas meninggalkanku, melupakan wawancara sialan ini. Boleh jadi pula, kalau aku bukan narasumbernya, bukan

siapa-siapa, aku pasti sudah dilemparnya dengan iPad atau sepatu. Dia sepertinya belum pernah dipermalukan seperti ini.

Aku mengembangkan senyum, santai melambaikan tangan. "Tentu saja aku begurau. Kau pastilah yang terbaik. Lagi pula, aku hanya ingin membuktikan, apakah dugaanku saat bertemu

di atas pesawat ini benar, ternyata kau memang jauh lebih cantik

saat marah. Namamu Julia, bukan? Mari kita mulai wawancaranya."

*******

Aku tidak terlalu suka bicara di depan ratusan orang yang satupun tidak kukenal. Berada di tengah pakar, akademisi, penerima

hadiah nobel ekonomi, birokrat, atau apalah yang mentereng

menyebut latar belakang masing-masing, mulai dari kartu nama

hingga basa-basi moderator memperkenalkan, sebenarnya membuatku muak.

Ruangan dipenuhi praktisi keuangan dunia. Pialang, petinggi

sekuritas, direktur perusahaan raksasa, CFO, CEO, dan berbagai

strata manajerial kunci. Mereka sejatinya adalah serigala berbalut

jas, dasi mahal, sepatu mengilat tidak tersentuh debu, dan diantar dengan mobil mewah yang harganya ratusan kali gaji karyawan hierarki terendah mereka. Penuh semangat bicara tentang

regulasi, tata kelola yang baik, tetapi mereka sendiri tidak mau

diatur dan dikendalikan. Sepakat tentang penyelamatan danAku tidak terlalu suka bicara di depan ratusan orang—yang satu

pun tidak kukenal. Berada di tengah pakar, akademisi, penerima

hadiah nobel ekonomi, birokrat, atau apalah yang mentereng

menyebut latar belakang masing-masing, mulai dari kartu nama

hingga basa-basi moderator memperkenalkan, sebenarnya membuatku muak.

Ruangan dipenuhi praktisi keuangan dunia. Pialang, petinggi

sekuritas, direktur perusahaan raksasa, CFO, CEO, dan berbagai

strata manajerial kunci. Mereka sejatinya adalah serigala berbalut

jas, dasi mahal, sepatu mengilat tidak tersentuh debu, dan diantar dengan mobil mewah yang harganya ratusan kali gaji karyawan hierarki terendah mereka. Penuh semangat bicara tentang

regulasi, tata kelola yang baik, tetapi mereka sendiri tidak mau

diatur dan dikendalikan. Sepakat tentang penyelamatan dan

tahu, untuk orang-orang seperti kita, inilah teror sebenarnya.

Rasa cemas atas masa depan. Detak jantung mengeras setiap

kali melihat tukikan grafik harga, potensi kehilangan kekayaan,

tidak bisa tidur, bahkan satu-dua eksekutif puncak memilih

bunuh diri."

Peserta konferensi antarbangsa takzim mendengarkan. Aku

diam sebentar, meraih gelas air mineral, senang memperhatikan

wajah-wajah menunggu mereka.

"Sayangnya," aku meremas rambutku, menghela napas, "Om Teroris yang satu ini tidak bisa ditusuk dengan pisau. Presiden

kalian, maksud saya presiden di meja pojok sana, bisa dengan mudah mengirim ribuan tentara, pesawat tempur, tank, bahkan

kapal induk untuk memburu satu orang teroris. Khotbah tentang preventive strike memberikan rasa aman bagi segenap

rakyat, mencegah teror meluas. Sial, Om Teroris yang satu ini bahkan tidak bisa dipegang batang lehernya.

"Bukan karena dia tidak bisa dilihat, tentu saja muasal kekacauan pasar modal dan pasar uang kita amat terlihat, tidak

susah mengurai benang kusutnya. Kita tidak bisa menusuknya, karena kalau itu dilakukan, kita semua di sinilah yang pertama

kali tertikam. Kitalah yang terlalu serakah dan kreatif menciptakan pola transaksi keuangan, membiarkan bahkan membuat

nilai aset menggelembung tidak terkendali, mengabaikan risiko

se­besar Gunung Everest di depan hidung. Peduli setan?

Sepanjang bonus tahunan terus membubung dan semua fasilitas pesawat jet perusahaan, hotel terbaik, liburan berkelas tetap

ada. Temuan audit pun dibungkus sebaik mungkin. Peringatan awal dianggap angin lalu. Mulailah kita terbiasa mematut informasi, memabrikkan kemasan, melupakan bahwa itu semua adabatasnya. Ketika nilai surat berharga semakin lama semakin

menggelembung, harga selembar kertas bisa setara berkilo-kilo

emas, padahal sejatinya dia tetap selembar kertas."

Boom! Aku mengetuk mikrofon dengan jari membuat hadirin sedikit ter­sentak kaget. "Semua meledak, ekonomi dunia remuk, krisis ekonomi global pecah, dalam sekejap menjalar ke mana-mana. Bursa New York tumbang, memangkas kapitalisasi

dunia miliaran dolar, disusul London, Frankfurt, Amsterdam, Paris. Dan hanya butuh sedetik berita mengerikan itu tiba di

Bangkok, Singapura, Jakarta, Dubai, Sao Paolo, Sidney, bahkan Johannesburg. Semua orang panik, kontrak future harga minyak

dan komoditas turun, perdagangan dunia terkulai, perekonomian melambat, banyak negara menyatakan resesi. Bahkan ada yang

bergegas menyatakan bangkrut, meminta pertolongan. "Hari ini kita sibuk berdiskusi sana-sini, menganalisis,

berandai-andai: andai itu tidak dilakukan, andai ada regulasi yang mengatur; tetapi lebih banyak yang berandai-andai: andai

lebih dulu menjual lantas memasang transaksi short-selling, andai uang tunai di tangan siap sedia, andai dalam posisi transaksi

sebaliknya. Itu akan jadi berkah tidak terkira, berpesta pora di tengah kerugian massal."

"Tuan, maaf saya menyela." Seorang peserta konferensi berkata tidak sabaran, dengan bahasa Inggris sengau khas Asia

Timur, membuat seisi ruangan menoleh padanya.

"Sesi tanya-jawab tersedia di lima belas menit terakhir." Bergegas moderator, salah seorang profesor sekolah bisnis ternama, mengingatkan.

"Tidak mengapa. Silakan." Aku tidak keberatan, mengangguk.

"Eh?" Moderator itu menatapku.

"Terima kasih." Peserta itu berdeham, dasinya miring, rambutnya tidak rapi, pasti sedang pusing dengan banyak hal. "Saya

pikir, kami tidak akan menghabiskan waktu untuk mendengar lagi cerita seperti sesi akademis dan birokrat sehari penuh sebelumnya. Jauh-jauh kami datang hanya untuk mendengar teori teori. Kami lelah. Kami butuh keputusan cepat dan tepat. Tuan,

Anda dipuji banyak media sebagai salah satu penasihat keuangan terbaik. Begini sajalah, sejak krisis ini terjadi, frankly speaking,

perusahaan kami sudah limbung kiri-kanan, melaporkan kerugian yang menghabiskan saldo laba dua puluh tahun, posisi

kas negatif, dan klaim pembayaran nasabah hanya menunggu waktu. Apa yang harus kami lakukan? Atau tepatnya, apa yang

eksekutif puncak perusahaan bernasib sama seperti kami harus

lakukan? Menunggu vonis kematian?"

Gumaman setuju terdengar dari banyak meja.

Aku tertawa kecil, menyikut moderator di sebelah. "Nah,

akhir­nya bisa dimengerti kenapa aku dibayar mahal sekali untuk

menjadi pembicara dalam konferensi ini. Kalian ternyata

meminta nasihat keuangan secara gratis. John, jangan lupa kau

bantu kirimkan tagihan ke seluruh peserta."

Peserta konferensi antarbangsa tertawa.

Aku mengusap wajah, menunggu ruangan kembali hening,

lantas berkata perlahan, "Kunci solusinya hanya tiga kata: rekayasa, rekayasa, dan rekayasa. Itu saja. Sejak zaman Firaun, sejak

zaman Xerxes dari Persia, hanya itu solusi menghadapi krisis

ekonomi besar. Termasuk bagaimana menyelamatkan uang kalian

yang telanjur terbenam di perusahaan terancam bangkrut."