DO you speak English or French?" Aku berdiri,
mendekati pramugari yang berjaga di kabin eksekutif.
Dia sedang bersiap menutup pintu masuk dekat
kokpit.
"Both." Gadis berambut pirang itu tersenyum menawan, gerakan tangannya terhenti.
Aku mengangguk. Jika begitu aku akan menggunakan bahasa Prancis.
"Kami harus turun," aku berkata dengan intonasi sesopan mungkin. "Saya dokter profesional yang bertugas menemani tuan ini berobat ke Frankfurt. Sayangnya, menurut penilaian saya beberapa menit lalu, beliau tidak cukup sehat untuk berangkat.
Daripada kalian terpaksa mendarat darurat, saya memilih menunda enam atau dua belas jam penerbangan berikutnya."
Gadis itu berpikir sejenak, senyumnya masih mengembang.
"Kau pastilah amat menyukai kota Marseilles." Aku balas tersenyum, mengalihkan perhatiannya. Setidaknya biar dia tidak sempat mengingat bagaimana prosedur baku jika ada kejadian
seperti ini.
"Eh, bagaimana Anda tahu?" Gadis itu tertarik.
"Bros yang kaukenakan. Kalau tidak salah, itu siluet timbul kastil yang indah. Menghadap langsung ke Laut Mediterania, bukan?
Kau pastilah pernah bermimpi suatu saat menghabiskan bulan madu, atau sekadar berwisata bersama seseorang yang spesial di sana."
Gadis itu tertawa renyah, malu-malu mengangguk.
"Tetapi kenapa kau hanya memasang bros seindah ini di ujung kerah? Sedikit tersembunyi?"
"Eh, sebenarnya kami dilarang mengenakan aksesori di luar seragam resmi. Itu pelanggaran."
Dia malu-malu mengaku.
Aku mengangguk, memasang wajah bersimpati, bagaimana mungkin hanya sekadar bros tidak boleh?
sambil bergumam dalam hati, gadis ini tipikal pemberontak peraturan. Urusan ini jadi lebih mudah lagi.
"Bagaimana mungkin bros seindah ini sebuah pelanggaran?"
Gadis itu memasang wajah setuju.
Aku tersenyum. "Maaf, apakah kami bisa turun?"
"Oh iya. Silakan. Saya pikir sepertinya tidak masalah kalian turun." Gadis itu memberikan jalan.
Aku mengangguk untuk kedua kalinya.
"Terima kasih banyak."
Om Liem patah-patah dengan tongkat melangkah melewati bingkai pintu pesawat.
"Maaf, saya lupa satu lagi." Dua langkah dari pintu pesawat, aku dengan perhitungan waktu yang terencana kembali menoleh.
"Eh?" Gadis itu menatapku, gerakan tangannya terhenti.
"Kau bisa menolongku sekali lagi?"
"Iya?"
"Istri Tuan ini amat pemarah dan selalu curiga," aku berbisik, pura-pura merendahkan suara, menunjuk dengan ujung siku ke arah Om Liem yang terus berjalan di lorong garbarata.
"Kalau saja istrinya tahu kami tertunda enam jam, apalagi dua belas jam, orang tua malang itu habis diomeli. Astaga, kau tidak bisa membayangkan bagaimana istrinya marah.
" Aku meniru ekspresi galak seorang wanita tua.
"Jadi, demi istrinya yang pemarah itu,
tolong catat di manifes penerbangan bahwa kami tetap berangkat."
Gadis di hadapanku tertawa.
"Kau bisa melakukannya?"
Dia mengangguk.
Aku ikut mengangguk takzim. Melambaikan tangan.
Pintu pesawat ditutup dari dalam. Beberapa petugas ground handling sibuk membantu persiapan take off.
Aku menjawab pendek saat salah satu dari mereka bertanya kenapa kami tiba-tiba turun. "Double seat. Sialan! Sistem buruk kalian membuat
kami malu."
Petugas itu bingung, sedikit gugup memeriksa daftar penumpang di tangannya.
***
Sebelum meninggalkan bandara, aku membeli belasan lembar tiket penerbangan ke luar negeri sepanjang siang nanti.
Sengaja kudaftarkan atas nama Om Liem. Jika ada polisi yang memeriksa seluruh maskapai,
mereka setidaknya akan menemukan sembilan
kemungkinan tujuan kami.
Pukul setengah empat pagi, setelah merobek seluruh tiket dan melemparkannya ke dalam tong sampah, aku menyuruh Om Liem kembali naik ke ambulans. Tidak, kabur ke luar negeri bukan pilihan terbaik. Lagi pula, aku harus berada di Jakarta
untuk menyelesaikan masalah ini. Aku harus menemui banyak orang.
Ambulans melesat meninggalkan bandara dengan kecepatan tinggi.
Aku tahu tempat terbaik menyembunyikan Om Liem.
***
Jalan tol ke luar kota lengang. Ambulans yang kukemudikan melesat dengan kecepatan 140 km/jam.
"Jika ini tidak penting, hanya salah satu leluconmu, besok lusa aku akan membalasnya, Thom.
" Maggie, stafku yang paling gesit, paling supel, dan paling setia melapor sudah siap di kantor.
Mungkin ini rekor paling pagi dia masuk kantor. Kalian pernah masuk kantor pukul setengah lima pagi?
"Kau segera telepon enam-tujuh wartawan surat kabar, majalah, televisi, berita online, yang sering memintaku menjadi narasumber, kolega pers kita." Aku mengabaikan keluhan Maggie,
mulai mendikte apa yang harus segera dia lakukan. "Kausertakan juga tiga-empat pengamat ekonomi, kawan dekat, yang sering sependapat dengan kita. Minta mereka berkumpul di salah satu
restoran hotel dekat kantor, beritahu mereka bahwa kita punya rilis paling rahasia, paling gres tentang kasus Bank Semesta.
"Jangan tanya detail siapa saja yang harus diundang, Maggie. Ayolah, kau tahu persis harus mengundang siapa. Aku membutuhkan kaki tangan untuk membentuk opini di media massa. meskipun mereka sama sekali tidak merasa telah di gunakan."
Terdengar suara coretan bolpoin di seberang sana.
"Aku tadi sudah menelepon Ram, salah satu stafnya akan mengantarkan setumpuk laporan paling baru tentang Bank Semesta.
Kaupastikan menyimpan dokumen itu. Aku akan mampir ke kantor. Aku juga butuh working paper audit Bank Semesta,
harus sudah ada di mejaku sebelum pukul dua belas siang."
"Mana aku tahu caranya?" keluh Maggie.
Aku sekali lagi mengabaikan keluhan Maggie. "Hubungi kantor auditor, cari partner, manajer atau auditornya, mereka pasti lembur hari Sabtu. Aku tahu itu dokumen confidential.
Astaga, kau ingin mengajariku soal itu? Nah, kalau tidak, pastikan seluruh working paper audit, terutama tentang debitor,rekening deposito, dan aset Bank Semesta tersedia.
Kau juga kumpulkan semua berita, artikel, komentar, bahkan jika ada berita sopir taksi bergumam tentang Bank Semesta selama enam
tahun terakhir, catat. Cari di internet, surat kabar, database media massa, gunakan seluruh resources yang ada, termasuk jika informasi itu harus dibeli."
Maggie mengeluh lagi, bilang dia tidak bisa melakukannya sendirian dan secepat itu.
"Kau bisa, Maggie. Inilah poin terpentingnya, kau tidak boleh bilang siapa pun. Kau paham?
"Nah, sekali urusan ini beres, aku berjanji akan memberimu dua lembar tiket berlibur. Terserah kau mau ke mana dan mengajak siapa."
Aku memutus pembicaraan, mengabaikan seruan riang Maggie, kembali konsentrasi pada kemudi.
Semburat merah muncul di balik gunung. Pemandangan indah dari balik jendela ambulans yang melesat cepat, tapi aku tidak memperhatikan. Kami sudah puluhan kilometer meninggalkan Jakarta.
"Orang tua ini benar-benar keliru selama ini."
Aku menoleh. Om Liem sedang menatapku datar. Aku pikir dia tertidur, hanya desis AC dan suaraku menelepon banyak orang sejak kami meninggalkan bandara tadi yang terdengar di kabin depan ambulans.
"Dua puluh tahun aku berpikir kau membenciku karena kejadian itu, Tommi. Ternyata aku keliru." Om Liem menghela napas perlahan, antara terdengar dan tidak. "Kau sesungguhnya membenci dirimu sendiri, bukan?"
Om Liem menatapku lamat-lamat.
"Itu benar sekali. Lihatlah kejadian sejak pukul dua dini hari tadi. Kau adalah pemikir sekaligus eksekutor yang hebat, Tommi. Pintar, berani, dan pandai memengaruhi orang.
Tidak pernah terbayangkan akan jadi apa grup bisnis keluarga kita jika kau yang menjalankannya. Grup ini akan menjadi raksasa mengerikan di tangan seseorang sepertimu. Karena itulah kau
membenci dirimu sendiri."
Om Liem menatap semburat merah yang semakin terang.
"Dua puluh tahun kau pergi dari rumah, berusaha menjauhi kami, tidak ingin terlibat, tapi nyatanya kau belajar di sekolah bisnis terbaik, belajar langsung dari muasal kemunafikan. Kau
membenci trik, rekayasa, tipu-tipu tingkat tinggi pemilik konglomerasi, eksekutif puncak perusahaan, nyatanya kau mempelajari itu semua,
bahkan menjadi penasihat terbaik mereka.
Kau berusaha menjadi anak muda yang idealis, dibasuh suci dengan kematian papa dan mamamu, nyatanya kau justru terlahir untuk menjadi seorang yang licin bagai belut, penari hebat dalam pertunjukan rekayasa keuangan modern.
Orang tua ini keliru, Tommi, kau tidak pernah membenciku. Kau selama ini sebenarnya membenci dirimu sendiri, berusaha mati-matian menjaga
jarak, mengendalikan diri agar tidak menjadi sepertiku.
Bukankah begitu, Nak?" Mata Om Liem menerawang jauh.
Aku tidak menjawab, melambaikan tangan.
"Sudah ceramahnya?"
Om Liem kembali menoleh padaku.
"Kalau sudah, kau seharusnya sekarang tidur, beristirahat."
Om Liem menggeleng.
"Orang tua ini tidak mengantuk, Tommi."
"Kalau begitu, lebih baik kau tutup mulut, diam. Aku sedang mengemudi."Om Liem tertawa pelan.
"Kau mirip sekali dengan papamu, Tommi. Selalu terus terang dan jujur meski itu kasar dan
menyakitkan. Baiklah, bangunkan aku jika sudah dekat di rumah peristirahatan opamu."
Aku tidak mengangguk, kembali menatap jalan tol yang lengang. Hanya segelintir orang yang tahu tujuan kami, itu tentu termasuk Om Liem
meski aku tidak memberitahukannya sejak
tadi.