Pernikahan itu dibatalakan, mutlak. Apalagi Valerie mengandung bayi yang bukan darah daging Karang, melainkan bayi Axel yang notabene mantan kekasih Valerie sendiri. Belum lagi Sofi menentang keras terjadinya pernikahan itu, ia menyayangi Pelita sejak Ardo mengenalkan gadis itu padanya, hingga hari ini pun semuanya masih sama. Setelah mendengar Karang berani menyentuh gadis itu jelas Sofi angkat bicara, ia ingin Karang terus bersama Pelita meski Ardo harus patah hati. Semua perbuatan buruk harus dipertanggungjawabkan, bukan?
Karang, Ardo, Sofi serta Gibran berada dalam satu ruangan yang sama yakni apartemen Karang. Mereka telah bernegosiasi soal Karang yang ternyata disembunyikan oleh ayahnya sendiri, banyak fakta mencengangkan terungkap saat ini, Sofi dan Gibran tengah berdebat cukup alot.
"Nggak seharusnya kamu berbuat hal itu sama saya, Karell juga anak saya meski harus saya tinggalkan apalagi hak asuh jatuh ke kamu. Bukan berati kamu bisa menjauhkan saya dari anak saya, Mas," keluh Sofi sembari mengusap air matanya.
"Saya cuma takut Karang kamu ambil dari saya," kilah Gibran yang berdiri di belakang wanita itu.
Sofi memutar tubuhnya, menatap wajah pria yang dulu pernah singgah di hatinya. "Saya ambil Karell dari kamu? Bagaimana bisa, Mas? Dia anak kita berdua, dia sudah dewasa dan berhak ingin menuju pada siapa. Karell boleh datang ke rumah saya kapan pun dia mau, pintu rumah selalu terbuka lebar buat dia apalagi suami saya menunggu kehadiran Karell," jelas Sofi.
"Maaf." Hanya satu kata yang terlontar dari bibir Gibran.
"Maaf? Semua orang bisa bilang seperti itu, saya pun bisa. Kamu nggak tahu betapa tersiksanya saya selama ini, kamu putar balikan fakta seolah saya adalah ibu paling jahat yang nggak pernah cari anaknya—padahal saya berusaha keras, Mas. Saya cuma bisa nangis setiap hari saat kamu bilang Karell tinggal di London dan kuliah di sana."
"London?" Karang angkat bicara, dia beranjak dari duduknya di balik meja ruang tamu, menghampiri keduanya untuk meminta kejelasan. Sandiwara apa yang orang tuanya lakukan selama ini, siapa yang paling salah atas rasa sakit selama belasan tahun yang Karang terima itu?
"Kamu nggak tahu, Nak?" Sofi mengusap lembut wajah Karang, lalu berganti menatap Gibran. "Jangan-jangan papa kamu memang bohong atas segala hal sama anaknya sendiri."
"Bohong? Bohong apa ini, Pa?" Karang mengeryit dahi menatap wajah sendu Gibran, pria itu hanya sanggup menggeleng mengutuki kesalahannya.
"Mama selama ini selalu cari kamu, Karell. Sepertinya papa kamu nggak pernah jujur soal itu, saat pertama mama datang ke Jakarta, mama jadi korban tabrak lari lalu lumpuh selama enam tahun. Mama ketemu ayahnya Ardo, dia mau menikahi mama dengan segala kekurangan yang mama punya, selama dua tahun mama terus ikut therapy sampai bisa jalan lagi. Papanya Ardo juga yang menyarankan mama buat cari kamu di Bandung, mama datang ke rumah lama tapi kata tetangga kalian sudah pindah. Mereka baik hati kasih alamat baru kamu, setelah mama datang ke rumah baru dan bertemu sama papa kamu, dia bilang kamu tinggal di London dan kuliah di sana. Dia nggak bilang kamu ada di Jakarta, di situ mama benar-benar putus asa. Mama merasa kehilangan harapan buat ketemu kamu, akhirnya mama memilih diam, kehadiran Ardo jadi obat penyembuh rasa rindu mama ke kamu. Jadi, kalau orang lain bilang mama nggak peduli sama kamu tolong jangan percaya, Karell. Mama selalu sayang sama kamu ...." Tangisan Sofi kian mengurai, dia memeluk Karang dengan erat, meluapkan rasa rindu yang sejak lama ia simpan.
"Kalau semua itu emang benar, jadi Papa yang salah di sini. Kenapa Papa nggak biarin aku ketemu sama Mama?" Karang mengusap lembut punggung Sofi.
"Papa yang salah, papa begitu egois. Papa cuma takut Mama kamu ambil kamu dari papa, papa ...," bela Gibran.
Sofi melepaskan pelukannya dari Karang, ia mengusap air matanya. "Terus, kenapa Karell nggak pernah datang ke rumah mama padahal kamu tahu mama juga di Jakarta, Nak?"
"Saat itu aku percaya sama semua omongan papa yang bilang kalau Mama nggak pernah cariin aku, aku pikir mungkin Mama emang bahagia sama keluarga baru Mama dan benar-benar lupa sama aku. Apalagi ada Ardo yang hadir di tengah-tengah kalian," ujar Karang.
"Mama nggak kayak gitu kok," sela Ardo, ia buka suara dan beranjak menghampiri Karang. Ardo menepuk bahu saudara tirinya. "Please, jangan mikir kalau Mama itu manusia paling jahat di dunia. Dia selalu kangen sama lo, cuma gue nggak ngerti kalau Karell yang mama maksud adalah nama lain lo, Karang. Ternyata kita saudara." Ardo memeluk Karang, ruangan itu diselimuti rasa bersalah juga haru.
"Mas, sekarang saya sudah bertemu sama anak saya. Tolong biarkan dia bisa bersama saya, terserah dia mau di Bandung atau Jakarta. Saya cuma mau bisa sering-sering berkunjung menemui Karell," pinta Sofi.
Gibran mengangguk, "Silakan, saya nggak akan melarang lagi. Maafkan semua kesalahan saya, Sofi."
Tok-tok-tok!
Semua orang menatap ke arah pintu apartemen, Ardo melepaskan pelukannya pada Karang.
"Itu siapa?" tanya Ardo.
"Rangga mungkin." Karang bergerak menghampiri pintu, ia membukanya dan menemukan kekasihnya berdiri di balik pintu dengan seulas senyum menawan, dia Pelita Sunny.
"Hai," sapa gadis itu.
Seketika Karang menariknya ke dalam dekapan, dekapan yang begitu hangat dan nyaman. Karang pikir ia akan kehilangan gadis itu untuk selamanya jika saja rencana mereka gagal, nyatanya lebih dari berhasil karena Valerie juga tak mungkin bisa mendekatinya lagi, gadis itu harus segera menikah dengan Axel yang mau bertanggungjawab atas bayi yang dikandung Valerie. Karang benar-benar bahagia, ia bisa bersama Pelita untuk hari ini, esok dan seterusnya ditambah kehadiran sang ibu serta segala penjelasan itu membuatnya merasa dunia dipenuhi dengan cinta, kasih sayang yang sempat menghilang darinya selama belasan tahun kini hadir lagi. Dunia benar-benar mengerti apa yang ia inginkan untuk hari ini dan selamanya.
Karang mengecup puncak kepala Pelita, "Kamu dari mana aja, Ta?"
"Aku nggak ke mana-mana kok, aku di sini." Gadis itu kembali tersenyum, Karang menariknya masuk ke dalam hingga Pelita bisa melihat jelas siapa saja yang berada di dalam apartemen Karang.
"Pelita? Kamu di sini?" Sofi terkejut melihat kehadiran gadis itu, ia menghampiri Pelita lalu memeluknya.
"Makasih untuk semuanya, Tante," ucap Pelita begitu senang.
Sofi melepaskan pelukan itu, "Iya, tante pernah begitu berharap kamu bisa kembali sama Ardo. Ternyata kamu milik Karell, tante tetap akan dukung semua yang terbaik buat kalian."
"Pelita," panggil Ardo.
Gadis itu menoleh pada Ardo.
"Gue nggak pernah nyangka hari ini bakal banyak kejutan, tentang mama yang ketemu sama anak kandungnya, dan ternyata Karang saudara tiri gue. Perasaan gue ke lo dari dulu nggak akan pernah berubah, Ta. Gue tetap sayang sama lo, tapi kali ini gue mau belajar ikhlas buat segalanya ... gue ikhlas lo sama Karang, gue pasti dukung hubungan kalian berdua."
"Makasih banyak, Ar. Gue berdoa semoga lo ketemu gadis yang benar-benar sayang sama lo."
"Makasih karena udah ikhlasin Pelita." Karang menarik pinggang gadis itu, lalu menyampirkan tangannya pada bahu Pelita, mereka saling tatap dan melempar senyum.
"Papa, ini Pelita. Pacar Karang."
Gibran menghampiri keduanya, menyatukan tangan Pelita serta tangan Karang.
"Papa minta maaf kalau selama ini egois dan ngungkung kamu, Karang. Sekarang papa mau segala hal yang terbaik buat kamu, papa dukung hubungan kalian berdua," ucap Gibran.
Kebahagiaan hari benar-benar berlipat ganda, Karang mendapatkan segala yang ia mau. Dimulai dari batalnya pernikahan dengan Valerie, kehadiran Sofi lagi dalam hidupnya, memiliki Pelita untuk selamanya, juga restu dari Ardo serta Gibran.
Alasan apa lagi untuk bersedih? Tak ada, badai telah berlalu, luka-luka lama juga mulai terobati, awan kelabu tak lagi menyelimuti mereka. Dunia sudah disinari oleh pelangi serta awan cerah, karena setiap kebahagiaan juga harus diselingi kepedihan lebih dulu. Bagaimana orang akan tahu apa itu bahagia jika kesakitan saja tak pernah mereka rasa, kehidupan terus berputar seperti roda pedati, bisa di atas atau di bawah dan kehidupan Karang tengah berputar ke atas. Semoga saja akan terus begitu.
END.