Pelita mengeratkan rengkuhannya kala motor besar abu-abu itu melaju kian kencang, ia sama sekali tak ingin protes kepada si pengemudi karena tahu pikirannya sedang kacau setelah pertengkarannya dengan Valerie di kampus tadi. Untuk pertama kalinya, Pelita naik motor dengan Karang. Ia menyandarkan kepalanya pada punggung laki-laki yang terus fokus pada jalanan lurus di depannya.
Pelita merasa waktu berputar begitu cepat, baru kemarin ia berpacaran dengan Karang dalam mode yang kurang nyaman dan hari ini ia benar-benar serius untuk mencintainya, ingin berjuang bersamanya dalam hal yang menjurus pada kesatuan.
Ia yang sudah merelakan apa pun untuk laki-laki itu entah hati ataupun raganya, Pelita siap menerima Karang dengan segala kekurangannya. Lagipula sebuah kesempurnaan tercipta saat sepasang kekasih sanggup menerima kekurangan masing-masing bukan? Tak ada yang sempurna di mata Tuhan.
Motor abu-abu itu ternyata menepi di halaman panti rehabilitasi cancer, tempat di mana Karang sering datang ke sana meski akhir-akhir ini memang jarang sekali berkunjung, terakhir saat ia bersama Pelita hari itu.
Gadis yang mengenakan ripped jeans serta kemeja putih polos dengan lengan yang terlipat pun turun, begitu juga dengan Karang sembari melepas helmnya. Ia menoleh pada Pelita lalu merapikan rambut lembut gadis itu.
"Makasih," ucap Pelita.
Karang melukis senyum tipis, ia menautkan jemari Pelita dengan miliknya. Menarik gadis itu melewati gerbang tinggi yang terbuka lebar, melewati halaman panti dengan suasana begitu asri. Banyak ditumbuhi pepohonan serta beberapa jenis anggrek yang menempel pada tembok di sisi gerbang, ketenangan sudah terlihat jelas kala kaki mereka terus menapak hingga selasar koridor di mana sebelah kiri lorong itu adalah kamar-kamar bagi penderita cancer.
Genggaman Karang kian mengerat pada ruas jemari gadis itu, tak ingin melepasnya untuk waktu yang lebih lama, atau mungkin selamanya.
"Kenapa sepi?" tanya Pelita sembari mengedar pandang ke sekitar, ayunan besi dan area bermain di sana juga terlihat begitu sepi. Sepanjang koridor yang mereka lewati, semua kamar-kamar itu tertutup rapat.
"Nggak tahu juga."
Mereka berpapasan dengan salah satu pengurus di tempat itu, seorang wanita paruh baya yang kebetulan melangkah berlawanan arah dengan mereka.
"Bu Ndari," sapa Karang melempar senyumnya usai menghadang langkah wanita itu.
"Karang? Lama kamu nggak ke sini." Wanita berambut cepak sedikit keputihan itu tersenyum tipis, mata sipitnya hampir tertutup kala senyumnya terukir.
"Banyak kegiatan."
"Ini siapa?" Bu Ndari menatap Pelita sekilas.
"Ini Pelita, pacar saya."
Pelita melepaskan genggaman tangan Karang, bersalaman dengan wanita itu. Saat mereka ke tempat itu dulu, Pelita belum pernah bertemu dengannya.
"Ah iya, maaf ya, tapi ibu buru-buru. Ada yang harus diurus."
"Memangnya ada apa?" tanya Karang ikut bingung.
Bu Ndari menghela napas, kerutan di wajahnya cukup kentara.
"Salah satu anak di sini baru aja meninggal, padahal dua hari yang lalu dia jalani operasi terakhir, tapi ternyata kehendak nggak semudah itu."
Karang dan Pelita saling tatap, jadi keadaan sepi di sana karena orang-orang tengah merasakan duka.
"Karang ke gedung belakang aja ya, ibu perlu urus beberapa hal."
"Ya udah nggak apa-apa."
Bu Ndari mengulas senyum, lalu melenggang pergi meninggalkan mereka.
"Mau ikut ke belakang?" tawar Karang.
"Mau kok, kenapa enggak."
Karang meraih tangan lembut itu lagi, mengajaknya melangkah bersama menyusuri lorong hingga berbelok ke arah lain.
Terdengar jelas isak tangis anak-anak dari salah satu ruang di gedung bagian belakang panti itu, Pelita dan Karang masuk. Lantas Karang melepas genggaman itu dan menghampiri sebuah peti tanpa penutup, beberapa anak berkeliling di sisi peti itu sembari tersedu-sedu, pemandangan yang sangat menyayat hati ketika kerabat, teman, atau pun keluarga meninggal karena melawan penyakit. Segala bentuk kematian memang menyisakan kepedihan yang teramat dalam.
Terlihat Karang berjongkok di sisi salah satu gadis kecil berkepala botak, ia mengusap air mata pada wajah gadis itu lalu menggendongnya.
"Kak Maya nggak ada, Kak Maya udah meninggal ...," rengek gadis kecil itu sembilu.
"Udah, jangan nangis terus. Kakak di sini."
Pelita hanya mematung, ia tak kuasa melihat semuanya hingga air mata itu akhirnya jatuh. Aura kesedihan memang sangat kerasa ketika memasuki panti itu, di mana isinya adalah mereka yang harus berjuang demi desah napas mereka dengan cara yang cukup berat, siksaan pada tubuh bertubi-tubi. Lalu akhirnya kalah dan memilih pergi.
Karang menatap sosok gadis berusia sekitar sepuluh tahun sudah terbujur kaku di dalam peti, gadis itu sudah didandani secantik mungkin tanpa celah kepedihan yang terpancar, sebuah kain transparan tipis menutupinya pada bagian atas peti.
Karang merasakan getir hingga ulu hatinya, menjadi mereka-mereka yang berjuang melawan penyakit tidaklah mudah, ia ingin hidup hingga menua dan melihat anak cucunya bermain di sekitar ketika ia duduk di beranda dengan Pelita, itu saja.
Karang menoleh—mendapati Pelita yang masih mematung pada ambang pintu dengan raut yang tak bisa diartikan.
"Pelita, sini," pinta Karang.
Gadis itu bergerak menghampiri Karang perlahan, menatap anak kecil di sekitarnya benar-benar bersedih, semuanya menangis menanggapi kematian teman mereka. Tak ada yang mudah memang ketika teman seperjuangan sudah kalah dalam peperangan.
Karang menarik pinggang gadis itu, membuatnya lebih dekat agar ia bisa melihat apa yang dilihatnya, sosok gadis kaku di dalam peti mati.
"Itu siapa?" tanya Pelita.
"Namanya Maya, dia kena kanker otak sekitar tiga tahun terakhir. Mungkin Tuhan nggak mau dia terus-terusan ngerasain sakit jadi dikasih jalan yang lebih mudah," ujar Karang bijak.
Pelita mengangguk, tak ada yang suka jika merasakan sakit setiap hari, mereka berjuang antara terus hidup tapi beban kian berat atau memilih menyudahinya dengan ketenangan dalam damai.
***
Setelah upacara pemakaman Maya selesai, mereka meninggalkan panti itu, menyisakan kepedihan yang cukup dalam. Senyum saja sulit sekali terukir seolah hanya sedih dan sedih yang wajib dirasakan, Pelita terus merengkuh tubuh Karang tanpa ingin melepasnya. Ia rasa mulai damai dan tak ingin kehilangan.
Tangan kiri Karang menyentuh tangan Pelita yang memeluk perutnya, mengusapnya dengan lembut sembari fokus mengemudikan motornya di jalanan lenggang sore ini.
Ternyata Karang membawanya ke pantai, motor abu-abu itu berhenti di depan sebuah kedai kelapa muda. Keduanya turun lantas melepas helm.
"Aku tahu kamu lagi sedih, tapi aku nggak mau kamu sedih kalau lagi sama aku, Ta," ujar Karang.
Gadis itu mengulas senyumnya, jadi itu tujuan Karang membawanya ke pantai, hanya agar ia tak sedih terus-menerus.
Setelah menitipkan motornya pada pemilik kedai, Karang menarik gadis itu menghampiri bibir pantai, ia ingin mereka melihat swastamita bersama sore ini.
Senja itu oranye, senja adalah bahagia dan senja adalah sesuatu yang selalu ditunggu kala redup mulai tiba. Setidaknya sebelum redup benar-benar menghampiri dan mengusir mentari untuk sembunyi.
Debur ombak saling berkejaran, angin sore itu juga menerbangkan asa keduanya usai melewati hari-hari penuh luka, tentang liku dan pilu yang harus dirasa agar masing-masing saling menguatkan dan menjadikan mereka lebih dewasa untuk menyikapi setiap masalah. Itulah tujuan Tuhan menciptakan problematika, Ia ingin makhluk-Nya mengerti setiap pesan yang terselip pada setiap tragedi. Tentang rasa peduli, saling memahami, juga kembali agar menjadi lebih baik lagi.
Keduanya menatap langit yang mulai dihiasi warna oranye, jingga yang elok. Karang memeluk perut gadis itu dari belakang, menyandarkan dagunya pada bahu kanan Pelita, menempelkan pipi mereka.
"Kematian pasti menghampiri, Ta. Dunia cuma tempat persinggahan, bukan menetap lebih lama karena nggak ada yang kekal. Kalau aku harus kehilangan kamu karena sebuah kematian, aku coba ikhlas karena Tuhan bilang kamu harus pulang."
"Katanya nggak boleh sedih, kenapa masih bilang yang sedih-sedih," cibir Pelita.
"Cuma ngingetin aja, biar kamu nggak mikirin terus."
Pelita manggut-manggut, Karang mencium pipi gadis itu dengan lembut, membuat wajah Pelita meremang karena sentuhan itu.
"Aku sayang kamu," ucap Karang.
"Udah tahu."
"Percaya nggak, itu yang di langit Pelita Sunny?"
"Itu?" Tangan kiri Pelita terangkat, menunjuk ke arah langit. Tangan kiri Karang mengikutinya lalu menggenggam milik gadisnya.
"Jangan dilepas ya, Ta. Sampai kapan pun, jangan lepasin aku buat siapa pun karena yang aku mau cuma kamu," pinta Karang segenap hati.
Pelita menggeleng, kini tangan kanan gadis itu yang terangkat menunjuk langit. Dia menuliskan sesuatu dengan telunjuknya seolah menggambar di langit.
"Pelita Sunny love Karang, kayaknya ini tempat yang cocok deh buat kita tinggal. Di mana banyak saudara kamu tinggal, sama aku juga."
Kening Karang mengernyit, "Maksud kamu?"
"Batu karang, banyak banget kan di sini. Sama cahaya matahari juga."
Setelah mendengar ledekan gadisnya, Karang yang gemas menggelitik kedua pinggang gadis itu hingga Pelita benar-benar kegelian. Membuatnya melarikan diri meninggalkan Karang ke arah debur ombak yang melaju pada bibir pantai.
"Kejar aku kalau bisa!" ledek Pelita sembari menjulurkan lidahnya.
"Tantangan diterima!" balas Karang, ia berlari mengejar Pelita yang kian menjauh hingga benar-benar basah karena seluruh air laut menciprat ke bajunya akibat tekanan kaki terus-menerus.
Nyatanya Karang sanggup menggapai gadis itu, memeluk pinggangnya dari belakang lalu mengangkat dan berputar dengan senang hati.
Tawa keduanya mengiringi redup swastamita sore ini, setelah Karang menurunkan gadis itu mereka saling tatap, merasakan kebahagiaan dalam diri masing-masing.
Ketika tangan Karang mengusap lembut wajah gadis itu, Pelita tersenyum sembari menunduk. Ada kehangatan menjalar ke sekujur tubuhnya, dia suka.
"Look at me," perintah Karang.
Gadis itu menengadah, menemukan wajah Karang yang kian mendekat lalu menyatukan bibir mereka bersamaan debur ombak yang terus menerjang.
Setidaknya meskipun senja telah redup, biarkan kisah mereka terus berlanjut hingga hari-hari selanjutnya, hingga mereka tak tahu bagaimana cara untuk mengakhiri, hingga mereka lupa menyebutkan nama anak cucu mereka yang terlampau banyak karena usai yang senja.