Chereads / Kisah Helena / Chapter 10 - Kabar Duka

Chapter 10 - Kabar Duka

Dua minggu berlalu semenjak kunjungan Helena menemui Ratu Revania, semenjak saat itu juga dia tak mendapatkan kabar apapun. Helena sendiri masih terus belajar mengenai tata krama dan aturan lainnya, yang berkaitan dengan seluk beluk Istana Aarez.

Setelah makan siang, bersama dengan Harika. Helena baru saja akan memulai pelajarannya di sebuah taman bunga milik kerajaan.

"Bagaimana Permaisuri Helena? Apa anda sudah mulai paham dengan susunan para pejabat yang ada di Istana Aarez?" Tanya Harika.

"Ya aku paham, tidak terlalu sulit. Tapi kenapa peran wanita di Istana Aarez sangat kurang? Hampir semua posisi diduduki oleh para pria? Bukankah Negara Aarez banyak memiliki wanita pintar? Bahkan kita belum memiliki menteri pemberdayaan wanita? bahkan di negara berkembang sudah ada. Kenapa diambil alih oleh penasihat menteri?" Helena banyak mengeluarkan pertanyaan, yang justru membuat Harika mengerutkan keningnya.

"Mmm... ternyata anda terlalu pintar, permaisuri." Entah pujian atau sindiran yang diberikan oleh Harika. Yang jelas Helena masih serius untuk menunggu jawaban, yang akan diberikan oleh Harika.

"Aarez memang tidak melarang peran wanita dalam kepemerintahan. Ada beberapa menteri wanita, tapi sayangnya tidak semua wanita Aarez ingin menjabat posisi penting. Perlu anda ketahui kembali, kalau Aarez adalah negara dengan sistem kerajaan." Jelas Harika, dan melihat Helena yang tampak berpikir.

Sampai akhirnya lamunan Helena pecah, ketima seorang pengawal istana masuk ke taman bunga dengan langkah tergesa-gesa. Membuat Helena dan Harika teralihkan dengan pembicaraan mereka barusan.

***

Helena dan Harika tidak akan menyangka sebuah kabar mengenai kondisi dari Ratu Revania yang semakin kritis. Raja Louis memerintahkan semua anggota istana, menteri, dan pejabat penting lainnya, untuk berkumpul di aula utama Istana Kerajaan.

Saat Helena dan Harika tiba sudah banyak orang-orang penting berkumpul, termasuk dengan Dilara dan Emira. Dua permaisuri itu sudah duduk pada sebuah kursi yang disediakan khusus untuk para permaisuri raja.

"Permaisuri Helena, anda harus duduk disana. Jika anda butuh bantuan, saya akan tetap disini." Ucap Harika, dan menunjuk pada satu kursi kosong yang masih tersedia.

Saat Helena duduk, dua pasang mata langsung saja memandanginya dengan sinis. "Hhh..." Dengus Dilara terdengar jelas, ia duduk bersampingan dengan Helena.

"Dimana Raja Louis, kenapa dia belum muncul juga ya?" Tanya Emira, dan melihat kursi singasana yang masih kosong.

Bisik-bisik dibelakang mereka juga semakin terdengar jelas, para pejabat istana juga bertanya-tanya kenapa Raja Louis belum juga tiba? Alhasil ruangan tersebut, semakin terdengar hiruk pikuk.

"Membosankan." Keluh Dilara dan menopangkan tangannya pada lengan kursi.

Tak lama seorang pria berbadan tegap, dengan rambut hitam muncul dan berada ditengah podium. Tempat dimana kursi Raja Louis berada, pria itu memandangi keseluruh ruangan yang penuh dengan orang-orang.

"Mohon perhatian anda semuanya!" Ucapnya lantang, dan seketika semua mata berpusat padanya.

"Saya Adrian, pengawal pribadi Yang Mulia Raja Louis, dengan ini menyampaikan kabar terbaru mengenai kondisi keadaan Ratu Revania." Ucap Adrian, sejenak ia terhenti dari ucapannya.

Emira menatap lurus para pria yang bernama Adrian, seperti terpukau dengan pria berbadan tegap dan memiliki Paras yang manis. "Emira, kalau kau terus menatap pria itu! Akan banyak gosip yang bermunculan! Cepat kau tundukkan pandanganmu!" Ucap Dilara pelan, memperingati adiknya

"Ah... maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk seperti itu." Segera saja Emira mengalihkan pandangannya.

"Apa yang terjadi dengan Ratu Revania?" Tanya Helena dengan lantang, hingga kedua wanita yang ada disampingnya lagi-lagi melempar pandangan sinis padanya.

"Cih... sok peduli sekali dia." Cibir Dilara yang tak suka.

Adrian memandang kearah Helena, raut wajahnya terlihat sedih dan ia menarik napasnya dengan dalam. "Ratu Revania..." Ucap Adrian, dan pandangannya semakin menunduk.

"Dengan ini saya menyampaikan bahwa Ratu Revania... Beliau tidak berhasil melewati masa kritisnya." Ucapan Adrian segera membuat seisi ruang aula menjadi semakin hiruk pikuk.

"Ratu Revania! Apa!? Tidak mungkin Ratu Revania..." Helena bahkan mendekap mulutnya sendiri, tidak percaya dengan berita meninggalnya Revania.

"Jadi maksudmu Ratu Revania telah meninggal?" Emira memperjelas pernyataan Adrian barusan.

"Ya, Ratu Revania telah meninggal dunia. Saat ini Raja Louis memerintahkan hari berduka selama dua minggu." Jawab Adrian.

"Ah..." Seringai kecil dan licik milik Dilara, timbul pada wajahnya. "Kakak... ini berarti kau memiliki kesempatan besar untuk..." Emira menoleh pada kakaknya.

"Ssttt... kecilkan suaramu adik." Ucap Dilara dan beranjak dari duduknya. "Hhh... sekarang saatnya aku mengganti pakaian, kita harus kembali keruang berdoa. Belum lagi acara ritual pemakaman yang akan... sangat melelahkan." Ucap Dilara, dengan angkuh dan menyibak gaunnya yang panjang.

"Kalian berdua memang benar-benar kelewatan! Setidaknya tunjukkan rasa bersedih, mengapa kalian justru terlihat sangat senang." Ucap Helena lantang, dia sudah tidak bisa menahan kekesalannya.

Kalau bukan seorang permaisuri, Helena sudah pasti ingin sekali menarik kuat rambut Dilara. Alhasil ia hanya bisa mengepal erat kedua tangannya.

"Hei... Jaga bicaramu, walaupun sekarang posisi kita adalah sama, sebagai seorang permaisuri raja. Bukan berarti kau bisa membentakku seperti tadi!" Dilara mendekati Helena, dan menunjuk kearahnya. Adiknya Emira, mengekorinya dari arah belakang.

"Ratu Revania sudah tidak ada, dan kau hanyalah wanita yang tidak akan dianggap oleh Raja Louis. Ketika aku sudah resmi menjadi Ratu Aarez, maka kau harus bersiap-siap untuk kembali menjadi rakyat jelata." Ucap Dilara dengan sikapnya yang sangat congkak.

"Kau..!" Helena sudah kesal menahan emosinya sedari tadi, tangannya sudah ingin memberikan pelajaran bagi mulut Dilara yang terasa pedas. Sampai akhirnya tangan Harika memegangi lengan Helena, dan memberikan tatapan cemas seraya ia menggelengkan kepalanya perlahan.

"Permaisuri Helena, jangan ku mohon. Banyak orang mulai melihat kearah Permaisuri, lebih baik sekarang kita kembali dan bersiap-siap untuk upacara doa." Ucap Harika.

"Benar apa kata pelayanmu, lebih baik kau menurut dan mendengarkannya. Hah... bodoh sekali." Dilara membalikkan badannya dengan cepat, kemudian berjalan menjauh meninggalkan Helena yang masih kesal. Begitu juga dengan Emira, yang hanya diam dan terus mengekori kakaknya.

"Permaisuri Helena." Panggil Harika, karena melihat Helena yang masih menatap kearah punggung Dilara yang sudah mulai menjauh dan menghilang.

Sesampainya didalam kamar Helena masih duduk dengan perasaan yang gelisah, tak terasa air matanya jatuh begitu saja. "Ratu Revania... Hk.. Hk.. mengapa kau pergi secepat ini." Ucap Helena, berkali-kali ia menyeka air matanya.

"Permaisuri, anda harus tenang." Harika sendiri sebenarnya bingung, bagaimana cara agar ia bisa menenangkan Helena. Alhasil ia hanya berdiri diam, disamping Helena.

"Ini sangat tidak adil, dia yang memintaku, dia yang membawaku, tapi pada akhirnya dia juga yang meninggalkanku. Lalu...? Sekarang aku harus bagaimana?" Tanya Helena masih dengan Isak tangis.

"Permaisuri Helena, saya sendiri pun tidak akan tahu jawabannya. Tapi saya yakin, pasti ada alasan tertentu Ratu Revania memilih anda. Dan saya yakin, anda juga pasti tahu jawaban." Ucap Harika, ia sedikit membungkuk untuk bisa melihat wajah Helena yang tenggelam, karena tertutup oleh kedua tangannya.

"Entahlah Harika, aku sendiri tidak tahu apakah aku akan sanggup atau tidak untuk menjadi permaisuri. Seandainya saja aku bisa memilih, aku ingin kembali menjadi diriku yang dulu. Seorang rakyat jelata, dan hidup bahagia bersama dengan nenek." Ucap Helena jujur, dan mendongakkan wajahnya.