Chereads / Secret In Love / Chapter 17 - Obrolan

Chapter 17 - Obrolan

Ini sudah siang dan aku bingung ingin melakukan apa, untuk hari ini saja aku tak dibebankan pekerjaan oleh Ramelson. aku hanya mengecek beberapa sosial media dan menutupnya, jadi serba salah jadi aku. saat banyak kerjaan aku mengeluh, tidak diberi pekerjaan aku juga mengeluh.

Sudah jam makan siang tapi Ramel belum menghampiriku, yah sudah menjadi kebiasaan kami selama seminggu ini makan siang bersama. walaupun memang kami hanya benar-benar makan siang tanpa obrolan yang panjang.

Untuk beberapa saat aku sibuk dengan handphone hanya untuk melihat-lihat aktifitas teman-temanku yang sangat bahagia, sepertinya liburan sangat menyenangkan, apalagi aku dan Ramel belum melakukan Honeymoon.

Pergi ke pantai pribadi yang sepi pasti terasa sangat nyaman, hanya aku dan Ramel. ah tidak tidak. aku, Ramel, dan Renadra. pasti sangat bahagia.

Tapi mana mungkin Ramel mau pergi berlibur bersama kami, pekerjaannya sangat banyak. jadwalnya di luar pekerjaan saja aku kadang tidak tau. dia suka pergi sesuka hati.

aku jadi penasaran dia akan pergi kemana lusa, apa bertemu beberapa teman perempuannya? tapi mungkin saja dia pergi bersama teman dan tak mau aku mengetahuinya.

lagipula siapa aku? istri yang tak dianggap oke.

aku mengeluh pasrah saat memikirkan hal-hal yang tidak baik, Ramel sangat tampan dan mempunyai uang yang banyak. pasti perempuan cantik lebih dari aku akan sangat banyak mendekatinya.

Aku hanya perempuan yang sedikit beruntung, mungkin. mendapatkan suami tampan dan kaya raya. menikmati setiap hasil jerih payah seorang Ramelson. aku seperti nyonya besar di dalam rumahnya, tidak melakukan apa-apa dan selalu dilayani.

bahkan aku diberikan kartu kredit tanpa batas, tapi apa yang akan kubeli, saat semua yang aku butuhkan selalu terpenuhi.

"Reista". panggilan Ramel membuyarkan lamunanku.

"yeahh". kataku singkat, ia sudah ada di depan pintu ruangan. aku menghampirinya untuk pergi makan siang bersama.

"bagaimana harimu?". kami masuk kedalam lift untuk turun ke lantai dasar.

"biasa saja, kau sengaja tak memberikanku pekerjaan terlalu banyak?".

"yah, aku diberitahu oleh Mommy untuk tidak membebanimu". lift berdenting dan kami keluar dari lift, berjalan ke arah loby dan masuk kedalam mobil Ramel yang sudah siap.

"aku tidak terlalu terbebani, tapi mungkin tidak sebanyak pekerjaan yang kau berikan kemarin".

"yah, akan kukurangi pekerjaanmu. lagipula aku sudah mendapatkan orang-orang yang menempati kursi para petinggi. dan untuk memantau pekerjaan mereka, biarkan susi yang mengerjakannya". aku hanya mengangguk mengerti, seterah Ramel saja ingin melakukan apa.

"terimakasih, kamu hanya perlu mengurangi oke. tapi jangan sampai kau tidak memberikan pekerjaan sama sekali, aku akan mati bosan". Mobil Ramel sudah melaju membelah jalanan ibukota, entah akan makan siang dimana lagi kami hari ini.

"ya, akan kulakukan kemauanmu". aku berdeham mengiyakan, perkataan Ramel memang selalu singkat seperti itu. ia memejamkan matanya sebentar, sepertinya ia sangat kelelahan hari ini.

Tapi dia kan tidak bekerja sendiri, ada sekertaris pribadinya yang selalu ada disamping Ramel. dan mungkin sekarang sekertarisnya itu sedang terbebani pekerjaan di dalam ruangan Ramel.

"apa kau ingin dirumah saja?". kini pertanyaan Ramel membuatku mengernyit heran.

"aku tidak suka saat tak melakukan apa-apa, aku hanya minta dikurangi pekerjaan yang memang bukan tugasku. dan lagipula aku hanya ingin bisa mempunyai banyak waktu untuk Renand setiap pulang bekerja".

"Mommy bilang, bagaimana jika kau mengurus butik bersamannya".

"aku sudah pikirkan itu, tapi mungkin nanti saat aku sudah hamil atau melahirkan". aku berucap sedikit kesal, apa Ramel tidak menyukai aku berada disekitarnya, terlalu halus caranya untuk menyingkirkanku.

"kau ingin hamil?". ucapan Ramel menyentak jalan pikiranku, bibirku terkatup rapat. Reista bodoh, bagaimana bisa mulutmu dengan lancar mengatakan kau ingin hamil.

"ahh semua perempuan memang ingin hamil". aku berkata pelan dan berusaha setenang mungkin. walaupun memang jantungku sudah tidak tenang sedari tadi, semoga saja Ramel tak sampai mendengar detak jantungku ini.

"yah, kau pasti hamil Reista". ucapan Ramel dengan nada seraknya membuatku cukup terkejut, aku tak berani menatapnya saat ini. ini terlalu berbahaya, aku seperti wanita yang tak sengaja menggoda suamiku sendiri dan memaksanya untuk menghamiliku.

"ah maksudku bukan kau harus menghamiliku Ramel". jawabku gugup.

"jadi kau tak ingin aku menghamilimu? lalu kau ingin hamil dengan siapa". telak sudah, pertanyaan Ramel membuatku tak berkutik.

"ahh itu, maksudku bukan begitu".

"begitu juga tak apa Reista". suara Ramel semakin serak kurasa, ia memegang tanganku dengan gerak yang entahlah aku dibuat bergidik ngeri olehnya.

"Ramel aku tak bermaksud mengatakan hal yang tidak-tidak, tapi aku tidak mungkin mau hamil oleh orang lain, kau suamiku dan aku harus menjaga harga diriku untuk suamiku". aku mengucapkan hal itu dengan satu tarikan nafas. semoga saja Ramel tak berfikir aku ingin selingkuh darinya, bagaimana aku selingkuh? jika aku saja tak bisa berpaling dari wajah tampan suamiku sendiri.

"jadi katakan padaku, apa kau ingin aku hamili?".

"ahh itu, ahh yah aku pasti mau. tapi bukankah semua istri pasti mau mempunyai anak dari suaminya?, aku tidak bermaksud membuatmu berpikir buruk. tapi yah semua pikiran perempuan yang sudah menikah pasti seperti itu". aku berucap gugup, aku bingung ingin mengatakan apa kepada Ramel. serba salah.

"jangan terlalu serius Reista, kau hanya perlu menjawab ya atau tidak. dan masalah selesai". ucapan Ramelson dengan santai, ia sedikit tertawa melihatku yang salah tingkah di sampingnya.

"ya tentu saja". aku berucap pelan, dia hanya mengelus puncak kepalaku dengan lembut. aku tertunduk malu, bagaimana bisa aku meminta hal itu langsung didepan Ramel, mau ditaruh dimana mukaku?. Reista bodoh.

"tentu aku akan mengabulkannya, tapi mungkin bukan untuk saat ini". aku hanya mengangguk lemah, apa ini seperti penolakan? berarti benar bukan Ramel tidak menyukai tubuhku, atau mungkin aku yang tak berpengalaman dan membuatnya tak ingin menyentuhku sama sekali.

Mungkin aku yang terlalu terburu-buru, tapi bukankah ini hal yang normal yang dilakukan oleh pasangan suami istri?

mantan istri Ramelson terlalu cantik dan pasti berhasil memuaskan Ramel di atas ranjang, tidak sepertiku yang tidak mengetahui apa-apa.

Terkutuklah saat aku tidak pernah menggubris obrolan temanku saat kuliah dulu, mereka sering berbicara tentang hal-hal mesum dan aku selalu menolak untuk mendengarkan.

padahal itu suatu pembelajaran langka, aku baru sadar memuaskan seorang suami adalah suatu kewajiban, dari gerak-gerikku saja Ramel pasti tau aku tak pandai dalam hubungan seperti itu.

"tidak usah dipikirkan Reista".

"aku tak memikirkan apa-apa".

"benarkah? dari wajahmu kau seperti memikirkan hal ini sangat serius". tawa Ramel tak berhenti saat melihatku, aku hanya mendengus tertahan.

"tidak usah meledekku, aku tau aku tak pandai dalam urusan itu". aku sedikit kesal dengan tawanya, dia seperti meremehkan aku.

"tidak usah kesal, belum waktunya saja. aku pasti akan menyanjungmu nanti".

"ah yah, tidak usah juga tak apa".

"kau marah padaku?". tanya Ramel serius.

"tidak, untuk apa aku marah?".

"kau seperti marah".

"tidak". jawabku seadanya.

"yasudah kalau begitu". kami diam lagi sepanjang jalan, entah dibawa kemana aku siang ini. moodku benar-benar buruk. Ramel tidak mengerti perasaan perempuan sama sekali.