KETIKA Wiro Sableng siuman dari pingsannya dirasakannya kepalanya dipangku oleh satu paha yang panas sedang hidungnya mencium bau harum menyegarkan.
Dibukanya matanya dan pandangannya membentur sebuah wajah yang ditutupi kerudung kain biru.
Terkejutlah pemuda ini. Cepat-cepat dia bangun dan berdiri. Di balik kerudungnya, Dewi Kerudung Biru menjadi kemerah-merahan pipinya.
Wiro Sableng memandang berkeliling. Ruangan itu telah bersih dari mayat-mayat anggota Pepkumpulan IbIis Pencabut Sukma. Sultan sendiri tiada kelihatan.
"Kemana dia...?!" tanya Wiro.
"Dia siapa...?"
"Sultan!"
"Sudah pergi pagi tadi. Pergi ke Demak!" Pendekar 212 memandang lama-lama ke muka yang ditutup kerudung itu. Suara perempuan di hadapannya ini rasanya pernah didengar dan dikenalinya sebelumnya tapi lupa di mana!
Ketika ingat bahwa perempuan itulah yang telah menolongnya, maka Pendekar 212-pun segera menjura.
"Dewi Kerudung Biru, aku haturkan-terima kasih atas pertolonganmu. Di lain hari kelak aku akan balas budi baikmu itu."
"Aku tak mengharapkan balasan apa-apa…". Dan Dewi Kerudung Biru memandang ke jurusan lain ketika untuk kesekian kalinya mata Pendekar 212 memperhatikan sepasang matanya lakat-Iekat. Dadanya bergetar. Ditahannya gelora hatinya.
Melihat sikap sang Dewi, ingat bahwa dia pernah mengenali suara perempuan itu sebelumnya maka inginlah Wiro melihat paras di balik kerudung itu. Namun diajukannya dulu pertanyaan. "Dewi, mungkin kau bisa memberi petunjuk di mana Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda berada…?"
"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma. Keris Tumbal Wilayuda juga ada pada mereka. Kau harus cepat turun tangan Pendekar 212!"
"Tapi dunia begini luas, dimana aku akan cari mereka?"
"Komplotan itu bersarang di Lembah Batu Pualam...!"
"Terima kasih atas keteranganmu Dewi," Wiro merenung sejenak. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Dewi Kerudung Biru, sewaktu aku bertempur melawan anggota komplotan itu kau telah berseru menyebut namaku. Tahu dari manakah...?"
Tergetarlah hati sang Dewi mendengar pertanyaan ini. Dengan memandang kejurusan lain menjawablah dia . "Nama seorang pendekar tentu saja dikenal sampai ke mana-mana…" ,
"Aku bukan pendekar apa-apa..," kata Wiro merendah. "Dan terus terang saja aku rasa-rasa pernah bertemu dengan kau sebelumnya. Aku masih bisa ingat dan mengenali suaramu…"
Dewi Kerudung Biru tundukkan wajah. Matanya yang jeli dan bercahaya kini kelihatan redup dan diambangi air mata. Ditekannya perasaannya yang menggelora.
Dikerahkannya tenaga dalamnya agar tidak gemetar suaranya. "Tidak . . . kita tak pernah bertemu sebelumnya Pendekar 212. Dan di dunia ini mungkin saja ada beberapa manusia yang punya suara hampir bersamaan . . . ."
Wiro Sableng maju satu langkah.
"Dewi, kalau kau tak mau berterus terang, kasihlah tahu saja siapa namamu sebenarnya."
"Kau sudah tahu."
"Ah… Dewi Kerudung Biru itu hanya nama gelaran belaka…," jawab Wiro pula.
"Di lain hari mungkin aku baru bisa beri tahu nama. Sekarang harap kau suka tinggalkan tempat ini.
Tapi pemuda itu tetap berkeras. "Dengar Dewi, setiap orang yang pernah menolong aku, musti kuketahui siapa dia adanya. Kalau kau tak mau kasih tahu nama tak apa. Namun apakah kau juga tak sudi buka kerudung itu sebentar dan memperlihatkan paras…?"
Dewi Kerudung Biru menghela nafas. "Itu juga tak perlu. Kau akan menyesal…"
"Menyesal kenapa?"
"Kau akan terkejut karena mukaku sangat buruk dan mengerikan…".
"Muka yang buruk tapi hati yang polos dan berbudi seribu kali lebih baik dari wajah bagus dan hati busuk jahat."
"Permintaanmu tak dapat kukabulkan," kata Dewi Kerudung Biru dengan ketegasan yang dipaksakan.
Pendekar 212 maju lebih dekat. "Kalau begitu..," katanya, "harap maafkan karena aku terpaksa melakukan ini". Wiro ajukan tangan hendak membuka kerudung penutup wajah.
"Apakah seorang ksatria bersikap sekurang ajar dan tak tahu peradatan?!," bentak Dewi Kerudung Biru.
Tangan Wiro tertahan seketika. Tapi karena perempuan itu dilihatnya tiada menjauhkan kepalanya maka diteruskannya niatnya.
"Sret!"
Terbukalah kerudung biru itu!
Dan terbeliaklah mata Pendekar 212.
" Anggini !," serunya.
Ternyata paras di balik kerudung itu adalah paras seorang gadis jelita. Gadis jelita yang dulu pernah dikenal oleh Pendekar 212 sebagai murid Dewa Tuak! (Baca. "Maut Bernyanyi di Pajajaran").
Untuk beberapa lamanya kemudian Wiro Sableng hanya bisa berdiri terlongong-longong sedang Anggini sendiri tundukkan kepalanya coba menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca-kaca dan juga sembunyikan parasnya yang membayangkan perasaan serta gelora hatinya. Selama beberapa bulan dia telah berkelana untuk mencari Pendekar 212 dan baru hari itu mereka jumpa dalam satu suasana yang tak terduga!
"Apakah dia dapat memaklumi bagaimana perasaan hatiku terhadapnya?" membathin Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
"Ini adalah satu hal yang tak terduga. Anggi...ni…," desis Wiro.
Anggini anggukkan kepala. "Ya, suatu hal yang tak terduga..," suaranya yang rawan ditindihnya dengan tenaga dalam sehingga getaran hatinya tiada kentara oleh si pemuda.
"Tapi ini adalah juga merupakan hal yang menggembirakan," ujar Pendekar 212 pula.
"Ilmumu maju pesat sekali. Siapa yang menduga kalau Dewi Kerudung Biru itu nyatanya adalah engkau sendiri…?!"
Karena Anggini diam saja dan masih tundukkan kepala maka bertanyalah Wiro.
"Aku tak mengerti, mengapa tadi kau sengaja mengatakan parasmu buruk…"
"Ah..... Anggini tarik nafas dalam.
Pendekar 212 merenung sejenak. Terkenang dia pada satu malam beberapa bulan yang lewat ketika dia berada berdua-duaan dengan Anggini yaitu sehabis pertempuran di Gua Sanggreng.
"Selama waktu ini tentu kau telah menuntut ilmu pada seorang guru sakti. Bukankah demikian…?"
Anggini mengangguk.
"Rupanya kau kurang begitu senang dengan pertemuan ini, Anggini?" tanya Wiro Sableng.
"Jangan menduga yang bukan-bukan, Wiro..," jawab Anggini dan dalam hatinya dia menambahkan. "Kalau kau tahu perasaanku terhadapmu…"
Setelah termanggu sejurus maka berkatalah Wiro. "Malam menjelang pagi tempo hari itu menyesal aku terpaksa meninggalkan kau... Apakah kau sudah kembali dan bertemu dengan gurumu Dewa Tuak...?"
Dewi Kerudung Biru menggeleng.
"Kenapa . . .?"
"Mana mungkin aku kembali jika tidak memenuhi perintahnya tempo hari...?"
Habis mengucapkan kata-kata itu memerahlah kedua pipi Anggini karena jengah.
Wiro Sableng tertawa. "Ho-oh, jadi rupanya cerita itu masih belum juga selesai sampai sekarang... Wiro geleng-gelengkan kepala." (Sebagaimana diketahui-dalam buku "Maut Bernyanyi di Pajajaran," guru Anggini yaitu Dewa Tuak berniat keras untuk menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212. Tentu saja Pendekar 212 tidak mau. Setelah terjadi beberapa jurus pertempuran yang sengaja ditimbulkan oleh Dewa Tuak kemudian memerintahkan Anggini untuk mencari Pendekar 212 dan muridnya itu tidak diperkenankan kembali kepertapaan, kecuali dengan membawa Pendekar 212 sebagai calon suaminya !
"Semustinya kau kembali ke tempat gurumu, Anggini. Siapa tahu dia telah merubah niatnya yang kurang bisa diterima itu...!"
"Aku tahu sifat guruku, Wiro. Sekali dia kasih perintah tak bakal ditariknya kembali! Dan jika aku tak bisa melaksanakan perintahnya pulang ke pertapaan berarti hanya untuk terima hukuman.
"Dan karena itu kau tak kembali-kembali kesana . . . ?" .
"Ya," lalu tanpa diminta gadis itupun memberi penuturan. "Pagi sesudah kau pergi itu, aku terus mencarimu sampai berbulan-bulan hingga pada suatu hari aku bertemu dengan dua orang penunggang kuda berkerudung dan berjubah merah. Ternyata dia adalah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan seorang anak buahnya. Kau sudah lihat bagaimana keganasan komplotan mereka. Meskipun tak ada silang sengketa namun mereka dengan sengaja mencari gara-gara hendak meringkusku. Anak buah Iblis itu berhasil kubunuh tapi untuk menghadapi Ketua Iblis Pencabut Suma aku tiada mampu. Dalam keadaan ditotok kemudian diriku dilarikan ke sarang mereka di Lembah Batu Pualam, Aku dimasukkan ke sebuah kamar…"
Sampai di sini Anggini tak meneruskan kalimatnya. Ditelannya nafasnya beberapa kali.
Air mata yang sejak tadi mengambang ke pipinya yang kemerahan. Wiro sendiri merasa dadanya dan nafasnya seperti menyesak. Mungkin selama ini baru kali di saat itulah dia berada dalam suatu keadaan yang serius demikian rupa. Sifat dan sikapnya yang selama ini selalu lucu jenaka lenyap ditelan gelombang perasaan setelah mendengar penuturan Anggini, penuturan yang masih belum habis.
Dengan menguatkan hatinya maka Anggini kemudian meneruskan penuturan. "Ketua Iblis Pencabut Sukma laknat itu hendak meperkosaku. Kemudian diriku akan diteruskannya pada bawahan-bawahannya. Tapi Tuhan masih melindungiku. Sebelum Ketua Perkumpulan laknat itu berhasil melampiaskan maksud terkutuknya, seorang nenek-nenek sakti menerobos masuk ke dalam kamar dan melarikanku…"
Anggini menarik nafas dalam seketika lalu meneruskan. "Ternyata nenek-nenek sakti itu adalah Dewi Kencana Wungu. Aku dibawanya kepertapaannya dan diambilnya menjadi murid. Sekarang beliau sudah tiada. Sudah meninggal…"
Lama kesunyian menjelang.
"Apakah rencanamu untuk masa mendatang…?" bertanya Pendekar 212.
"Aku sendiri masih belum tahu. Tapi yang pasti ialah aku harus membuat perhitungan dengan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu…"
"Agaknya kita mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama menghancurkan komplotan terkutuk itu."
Lagi-lagi kesunyian menyeling.
"Anggini..," kata Wiro memecah kesunyian itu. "Sekali ini pertemuan kita tak bisa berjalan lama..."
''Kau memang selatu tidak menginginkan pertemuan lama-lama denganku..," kata Anggini atau Dewi Kerudung Biru.
Pendekar 212 letakkan tangan kirinya di bahu Kanan Anggini. Perawan itu merasakan ada hawa aneh yang nikmat dan menenangkan hati mengalir ditubuhnya.
"Aku sudah bilang tadi bahwa pertemuan ini sangat menggembirakan. Namun kita harus sama memaklumi bahwa aku harus menyelamatkan Andjarsari dan merebut kembali Keris Tumbal Wilayuda. Di lain hari kelak aku pasti akan menyambangimu di sini…"
Anggini terdiam. Dipermainkannya kain biru yang tadi merupakan kerudung wajahnya.
"Aku pergi sekarang, Anggini…"
"Wiro…," suara Anggini tersekat ditenggorokan.
Langkah Pendekar 212 tertahan. Dipandanginya paras jelita di hadapannya.
Kemudian dilihatnya bagaimana gadis itu menggerakkan tangannya, meremas jari-jari tangannya yang diletakkan di bahu. Sekelumit getaran menjalari darah muda Pendekar 212. Dia membungkuk dan mencium kening Anggini. Ketika kepalanya hendak ditariknya kembali tiba-tiba gadis itu merangkul lehernya erat sekali.
"Wiro... Wiro... jangan pergi dulu…" bisik Anggini. Nafas mereka saling menghembusi wajah masing-masing. Wiro membelai pipi yang halus lembut itu. Ketika Anggini memejamkan matanya, Pendekar 212 menempelkan bibirnya ke bibir Anggini.
Betapa hangatnya pertemuan sepasang bibir itu. Mula-mula bibir itu diam membeku seperti mati.
Kemudian rangsangan mulai membuat getaran-getaran pada permukaan kulit bibir masing-masing. Dan bila sudah demikian, maka sepasang bibir itupun mulai menari-nari, saling lumas melumas. Keduanya berpagutan erat-erat seperti tak hendak dilepaskan untuk selama-lamanya.
"Wiro… aku cinta padamu, Wiro. Aku cinta padamu..," bisik Anggini berulang kali.
"Hemm..," Pendekar 212 menggumam. Digigitnya bibir perawan itu.
"Kaupun cinta padaku bukan...?"
"Hemmm…," Wiro menggumam lagi.
"Jawab Wiro. Katakanlah…," Dan tanpa disadari saat itu tubuh keduanya sudah terbaring berpagutan di lantai.
"Wiro . . . ."
"Tiba-tiba di ruangan itu meledaklah suara tertawa yang dahsyat.
"Ha... ha... sungguh satu pemandangan yang asyik untuk dilihat! Teruskan… teruskanlah! Pendekar 212, kenapa tidak kau telanjangi saja tubuh gadis itu?!
Itu seribu kali lebih nikmat… Ha… ha... ha!"
Seorang lain kemudian menyambungi suara yang pertama itu.
"Pendekar 212 nyatanya hanya seorang Pendekar Cabul. Tapi tak apa! Sebelum dikirim ke liang kubur tak apa kalau diberi kesempatan dulu bercumbu rayu! Di liang kubur kau hanya akan bercumbu dan tidur dengan cacing!"
Baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini sama-sama terkejut. Keduanya melompat cepat. Anggini merapikan jubah birunya yang terbuka di bagian dada !