William memilih untuk menghabiskan waktu istirahatnya di ruangan OSIS yang hening ditemani segelas jus tomat yang sebelumnya sudah ia beli di kantin, dan juga ditemani Devian yang baru saja menyelesaikan makan siangnya, bekal yang diberikan oleh Sasa tadi siang. Melihat Devian yang dibawakan bekal oleh Sasa jadi mengingatkan nya kepada Teesha yang dulu selalu membuatkan pasta saus tomat jika ia minta.
Teesha.
Gadis pemilik nama lengkap Myria Lateesha Dipta itu tidak juga pergi dari pikiran William sejak beberapa waktu yang lalu. Entah kenapa suara berisiknya selalu dinantikan oleh William akhir-akhir ini. Pertemuan mereka kemarin di supermarket yang terjadi karena sebuah kebetulan itu ia harap bisa membuka sedikit harapan untuk memperbaiki hubungan mereka yang sempat merenggang.
William rasa, mereka berdua sudah tidak terlalu merasa canggung di pertemuan kemarin. William masih ingat bagaimana berisiknya Teesha yang terus mengomel di dalam mobilnya ketika ia antarkan gadis itu pulang semalam. Ah, William sangat senang bisa kembali melihat ekspresi Teesha yang kesal seperti itu. Dan sepertinya mereka memang bisa kembali lagi 'berteman baik' seperti dulu.
Tetapi bukan hanya Teesha yang mengganggu pikiran pangeran es kita. Kedekatan gadis berambut panjang itu dengan seorang pria ash brown juga masih menimbulkan perasaan yang aneh terhadapnya. Ia masih bertanya-tanya, apa sebenarnya hubungan antara Rey dan Teesha sekarang? Apa mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih, karena mereka terlihat selalu bersama di setiap jam istirahat dan jam pulang sekolah.
Apa sebaiknya ia cari tahu untuk menemukan jawabannya? Ah, tidak. Tidak usah. Untuk apa juga ia mencari tahu? Teesha mau dekat dengan siapa pun juga terserah dia saja, toh mereka berdua sudah tidak terikat perjanjian lagi.
CEKLEK
Pintu ruang OSIS yang terbuka mengalihkan perhatian Devian dan William yang sedari tadi sibuk dengan ponsel mereka. Sebenarnya hanya Devian yang benar-benar fokus pada ponselnya, kita semua tahu meskipun William sedang menatap lekat layar ponselnya, tetapi fokusnya tidak disana.
"Kalian berdua ngapain disini? Gak ke kantin?" Daniel yang baru saja datang langsung menghampiri meja rapat, tempat dimana William dan Devian duduk.
Devian kembali menatap ponselnya, "Aku udah makan duluan tadi. Sasa bawain bekal." Ia kembali fokus pada game online yang sempat ia abaikan selama beberapa detik tadi.
"Wah, informasi dari Teesha bener-bener akurat. Emang banyak makanan disini." Daniel melangkah dengan semangat menghampiri deretan kantung plastik di atas meja rapat. Hm, Daniel tidak tahu saja kalau yang membeli semua cemilan itu William dan Teesha.
Pria itu membuka satu-persatu kantung plastik itu dan memilih snack yang ia suka.
Daniel mengangkat satu bungkus makanan ringan di udara, "Wil, aku ambil snack yang ini ya."
"Hn." Sahut William tanpa menoleh ke arah Daniel. Pria itu tidak peduli Daniel mau ambil yang mana. Toh ia memang membeli semua itu untuk cemilan para anggota OSIS.
"Aku tanya yang lain juga deh. Mereka lagi di kantin. Siapa tau mau juga." Daniel dengan cepat merogoh saku celananya dan melakukan panggilan telpon dengan salah satu sahabat perempuannya.
"Halo, Drea. Mau titip sesuatu ga? Di ruang OSIS banyak makanan." Tanya Daniel kepada Adrea.
Pria itu mengangguk-anggukan kepala, berusaha mengingat apa saja yang dikatakan Adrea di sebrang sana. Anggota OSIS yang sedang bersama Adrea hanya ada empat orang, yaitu Adit, Alvin, Divinia, dan Teesha. Tidak banyak pesanan mereka, masing-masing hanya memesan satu buah cemilan saja jadi tidak terlalu merepotkan Daniel sebagai tukang delivery.
Daniel mengangguk-anggukan kepala, "Udah itu aja? Oke sebentar lagi aku meluncur."
Daniel kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana ketika ia menyudahi panggilan telponnya. Pria itu langsung membuka satu persatu kantung plastik berisi makanan itu dan mulai mencari pesanan dari teman-temannya.
"Ini buat Alvin, ini buat Adrea..." Daniel mengeluarkan beberapa snack, "Nah, ini cokelat pesenan dari yang lagi jatuh cinta."
William langsung melirik Daniel ketika ia mendengar perkataan dari salah satu alien bumi itu. Dahinya mengkerut, sepertinya ia penasaran dengan perkataan Daniel tadi dan Devian yang menyadari perubahan ekspresi William langsung menyeringai tipis.
"Siapa yang lagi jatuh cinta?" Tanya Devian. Jelas ia tahu pasti siapa yang Daniel maksud. Ia hanya ingin tahu respon seperti apa yang akan diberikan William kali ini.
"Si Teesha tuh, daritadi pagi senyum-senyum terus. Makin lengket aja lagi sama pangerannya." Daniel masih sibuk mencari snack yang Divinia pesan dan tersenyum ketika sudah menemukan semuanya.
Devian menahan senyumannya ketika ia melihat kerutan di dahi William yang semakin dalam. Sepertinya ini akan menarik.
"Kalian tetap mau disini atau mau ikut ke kantin?" Tanya Daniel sambil membawa beberapa makanan ringan di tangannya.
"Aku ikut. Aku pengen juga lihat yang lagi jatuh cinta." Devian berdiri dan menyambar kotak bekal makan siangnya kemudian berjalan cepat menghampiri Daniel.
"Wil, kamu mau ikut?" Tanya Devian basa-basi karena sudah pasti jawaban pria itu--
"Nggak." Benar kan!
Daniel menoleh ke arah Devian yang kini tengah mengulum senyumannya. Ia bertanya lewat tatapan mata kepada si pirang itu ketika menyadari mood William sedikit berbeda dari saat ia masuk ke dalam ruang OSIS tadi. Tetapi Devian hanya mengendikan bahu sebagai jawabannya dan mengajak Daniel pergi dari ruang OSIS.
Sepeninggalan dua alien bumi, William beranjak dari tempat duduknya dan melangkah naik menuju lantai dua. Ia meletakan jus tomat di atas meja dengan sedikit keras lalu berbaring di sofa panjang lantai dua sambil menatap langit-langit.
"Tch." William berdecak kesal. Ia bangkit dari posisi tidurnya, berdiri dari berjalan hendak turun ke lantai satu. Tetapi sebelum menginjak anak tangga, pria es itu kembali berbalik dan duduk diatas sofa. Berdiri lagi, duduk lagi, berjalan beberapa langkah dan berbalik kembali duduk di sofa.
Demi apapun, William. Apa yang kau lakukan?! Hentikan itu! Aku pusing melihatmu begitu!
.
.
William.
Sejak pulang dari supermarket kemarin, senyum manis tidak juga luntur dari bibir Teesha. Wajahnya lebih berseri dan terlihat sangat bahagia. Mungkin karena pertemuannya dengan William kemarin dan interaksi mereka berdua yang mulai mencair bisa membantu mereka untuk memulai semuanya kembali seperti awal.
Teesha kembali membayangkan bagaimana kehidupannya di sekolah setelah kembali berbaikan dengan William. Ia sebenarnya tidak terlalu mengharapkan akan seperti awal. Maksudnya mengharapkan bisa 'sedekat' dulu dengan pria itu. Sudah mulai berbicara dengan William saja Teesha bersyukur.
Teesha kadang tidak mengerti, diantara banyaknya pria di sekolah ataupun di seluruh muka bumi ini, kenapa ia tidak bisa menjauh dari si pria egois menyebalkan, tidak punya perasaan, dan selalu bersikap seenaknya itu? Padahal masih banyak siswa yang jauh lebih menyenangkan, lebih peka, lebih mengerti daripada William. Seperti Rey misalnya.
Ah, iya benar.
Rey.
Teesha kembali tersenyum ketika ia mengingat nama itu. Pria dengan senyuman hangat yang mengatakan jika ia menyukai Teesha dan meminta sebuah kesempatan untuk mendapatkan hatinya itu juga tidak luput dari pikirannya. Meskipun sampai sekarang Teesha masih tidak mengerti bagaimana perasaannya terhadap pria ash brown itu, tetapi Teesha tidak bisa melarang Rey untuk menyukainya karena setiap orang berhak untuk menyimpan perasaan kepada orang lain kan?
"Teesha, kamu baik-baik aja?" Tanya Divinia. Sebenarnya ia sedikit khawatir dengan keadaan sahabatnya. Sedikit-sedikit Teesha termenung, lalu tiba-tiba ia tersenyum. Ia jadi curiga ada sesuatu yang salah pada Teesha.
Teesha memandang Divinia heran, "Aku baik-baik aja. Emang aku kenapa?"
"Aku khawatir sama kamu. Daritadi senyum-senyum sendiri terus. Kenapa sih?"
Teesha memutar mata, "Aku senyum salah, aku cemberut juga salah. Jadi aku harus gimana?" Tanya Teesha kesal, ditambah Adrea yang terus menerus menendang kakinya dari bawah meja.
"Rey tuh." Kata Adrea sambil menujuk arah belakang Teesha menggunakan dagunya.
"Dia kesini?"
Adrea mengangguk, "Guys, kita harus pergi kayaknya ya?" Ia mengedarkan pandangan pada ke-empat orang lainnya.
"Jangan." Teesha buru-buru menggenggam tangan Adrea, "Please, kalian disini aja. Jangan tinggalin aku berdua sama dia."
"Kenapa?"
Teesha melirik sekitarnya, "Aku ga mau murid disini salah paham. Aku ga mau ada gosip yang nggak-nggak tentang aku sama Rey nantinya. Aku gak mau buat dia repot."
Dan setelah berusaha meyakinkan mereka, akhirnya mereka setuju untuk tidak meninggalkan Teesha. Sebenarnya Alvin dan Adit tidak begitu peduli, mereka hanya mengikuti instruksi dari Divinia dan Adrea saja.
"Hai, Teesha." Seperti biasa, Rey menyapa Teesha dengan lembut.
Teesha menoleh dan sedikit mendongak, "Hai, Rey." Ia tersenyum membalas senyuman pria yang berdiri di samping kanannya.
"Kamu ada waktu? Aku mau minta tolong sesuatu sama kamu."
Teesha mengangguk, "Ada. Minta tolong apa, Rey?"
Ke-empat temannya yang lain tengah sibuk dengan ponselnya. Tetapi telinga Divinia dan Adrea masih cukup tajam untuk mendengarkan percakapan dua sejoli di depan mereka ini. Ya, tetap. 'Kepo' is number one, guys.
"Aku cuma mau minta bantuan buat cari buku di perpustakaan."
Teesha mengangguk lagi, "Boleh."
Rey kembali tersenyum dan mengusap puncak kepala Teesha pelan, kegiatan yang selalu ia lakukan jika bertemu dengan Teesha.
Teesha berniat untuk beranjak dari tempat duduknya sebelum getaran ponsel membuatnya kembali duduk.
"Sebentar ya, Rey." Teesha memeriksa layar ponselnya dan terdapat panggilan telpon dari William.
Huh, William?
"Ya?"
"Dimana?" Tanya William dari sebrang sana.
"Aku di kantin."
Divinia dan Adrea semakin menajamkan pendengaran mereka.
"Ngapain?" Tanya Teesha ketika William menyuruhnya untuk datang ke ruangan OSIS.
Terdengar William menghela nafas, "Gak usah banyak tanya."
"Maaf, Wil. Aku udah janji duluan sama Rey." Bukan hanya Teesha yang melirik Rey, Adrea dan Divinia juga ikut melirik pria itu.
William kembali bangkit dari sofa ketika ia mendengar jika Teesha menolak permintaannya karena sudah ada janji dengan Rey.
"Ngapain?" Kali ini William yang bertanya.
William berdecak ketika Teesha mengatakan akan pergi ke perpustakaan untuk membantu Rey mencari buku. Tch, alasan klasik.
"Dia bisa cari sendiri. Urusanku lebih penting, Myria. Aku ga bisa kerjain ini sendirian."
Teesha menghela nafas, "Aku bantu kamu setelah aku bantu Rey ya, Wil."
"Aku tunggu di ruang OSIS." Adalah perkataan terakhir William sebelum pria itu mematikan sambungan telpon nya secara sepihak, seperti biasanya. See? William selalu se-enaknya.
Teesha membawa alat komunikasi itu menjauh dari indra pendengarannya, kemudian menatap heran layar ponselnya. Kenapa ia tidak meminta bantuan orang lain selain dirinya? Sebenarnya urusan apa sih yang tidak bisa dikerjakan oleh William sampai dia memaksa seperti itu?
"Rey..." Teesha jadi tidak enak pada Rey. Padahal tadi ia sudah mengatakan akan membantunya, tetapi beberapa menit kemudian ia malah membatalkannya.
"Ga apa-apa, Teesha. Kamu bantu dia dulu aja. Aku juga gak buru-buru kok." Pria itu tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Teesha. Ah, bukankah sangat disayangkan jika Teesha mengabaikan pria baik seperti Rey ini?
Dan William, aku akan mengutukmu jika urusan yang kau maksud itu tidak penting. Kau merusak moment kebersamaan pasangan favorite ku, tahu!
.
.
To be continued