Sebenarnya Teesha sedikit kesal karena Devian tidak jadi mengantarnya pulang dan malah Rey yang mengantarnya. Bukan karena ia tidak senang diantar Rey, hanya saja Teesha tidak mau selalu merepotkan si pria dengan hati malaikat itu. Dan lagipula, mendengar alasan Devian yang bilang akan menemani William dan melihat mood si pangeran es itu akhir-akhir ini membuat Teesha mengalah.
Teesha yang niatnya langsung pulang malah mengubah haluannya dan meminta Rey menemaninya ke sebuah mall untuk membeli jaket. Teesha berencana membelikan baju hangat untuk sang kakak karena musim hujam sudah mulai datang. Tidak dalam rangka apa-apa sih, Teesha hanya khawatir jika kakaknya yang gila kerja itu sakit nantinya karena seperti yang kita ketahui Gavin tidak akan punya waktu banyak untuk sekedar mampir ke sebuah mall membeli sebuah jaket.
Aku akui, Rey orang yang cukup-- ah tidak, sangat sabar menemani seorang gadis berbelanja. Seperti yang kita semua ketahui, perempuan mempunyai rute belanja yang sangat rumit. Masuk ke toko A, kemudian ke toko B, berlanjut ke toko C sampai Z tetapi ujung-ujungnya kembali lagi ke toko A dan akhirnya malah membeli di toko C. Apa semua perempuan memang seperti itu? Hm aku yakin jawabannya iya.
Tolong kalian para pria jangan salah sangka. Sekali lagi kami tegaskan, kami para perempuan sangat selektif dalam berbagai hal.
Satu jam berputar-putar di lingkungan mall, akhirnya Teesha menemukan apa yang ia cari. Sebuah jaket yang cukup tebal berwarna hitam dengan aksen garis merah di kedua lengannya sangat cocok untuk kakaknya si workaholic itu. Mereka berencana untuk segera pulang, tetapi Teesha tertarik oleh salah satu poster film bertemakan horror yang sedang banyak orang bicarakan akhir-akhir ini. Akhirnya ia mengajak Rey untuk menonton film itu dan tentu saja dengan senang hati Rey menyetujuinya.
Baiklah, mari tinggalkan pasangan ini dan beralih ke lingkungan sekolah dimana Devian dan William yang masih berada disana.
.
.
Duk! Duk! Duk!
Suara benturan bola basket dengan lapangan kian terdengar seiring dengan semakin sepinya lingkungan sekolah. Kedua siswa Adyatama itu masih bertanding dengan sengit di lapangan samping sekolah. Willliam masih terlihat santai saat melawan Devian karena ia memimpin pertandingan dadakannya dengan Devian kali ini. Dan Devian pun begitu. Pria pirang itu juga masih terlihat santai meskipun ia tertinggal beberapa angka dari William.
Sebenarnya Devian tidak terlalu ambil pusing. Devian sangat yakin bisa memenangkan pertandingan kali ini. Lihat saja meskipun William yang memimpin, tetapi gerakan pria itu terlihat berantakan, terlihat terlalu gegabah dalam mengambil langkah dan sangat terlihat jika William masih kehilangan fokusnya. Sangat tidak William sekali kan.
"Ada yang salah, Wil? Apa yang lagi kamu pikirin?" Tanya Devian mulai memancing William.
Pria itu hanya mendelik dan terus mencoba melewati Devian yang sedari tadi mencoba memblok pergerakannya. Karena perkataan Devian tadi William kembali memikirkan soal Teesha. Memikirkan bagaimana pertemuan pertama mereka, bagaimana awal kedekatan mereka yang terjadi karena sebuah perjanjian yang kini sudah berakhir gara-gara pertengkaran hebat yang sampai sekarang masih ia pikirkan karena masalah apa.
Astaga William, kau masih belum paham juga permasalahan kalian itu berawal darimana?! Duh, benar-benar ya kau ini!
William sedikit terkejut ketika secara tiba-tiba Devian berhasil memblok pergerakannya dan dengan cepat merebut bola basket dari tangannya. Pria pirang itu kemudian berlari dan melempar bola basketnya ke dalam ring dan berhasil mencetak angka.
"Kita seri." Devian mencoba mengatur nafas, "Fokus, Wil. Masih ada tiga menit lagi." Pria itu sempat melirik jam tangannya sebelum melemparkan bola basket pada William.
William dengan sigap menangkap benda bulat itu dan memandang Devian dengan wajahnya yang datar. Seringai Devian semakin melebar ketika ia melihat keseriusan yang terpancar dari sepasang mata tajam milik William. Devian tahu William mulai kehilangan fokusnya dan ia akan memanfaatkan hal itu.
"Gimana, Wil?" Tanya Devian dengan senyumnya yang menyebalkan.
Dan entah kenapa senyum Devian malah mengingatkan William dengan seorang pria ash brown yang selalu tersenyum di saat apapun. Dan kini entah kenapa sosok Teesha yang semakin dekat dengan Rey sangat mengganggu pikirannya. Rasa keingintahuan yang selama ini tertutup dengan rasa ketidakpedulian meningkat pesat. William sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
"Coba kamu pikirin dan cari tahu apa yang selama ini ganggu kamu, Wil." Kata Devian yang membuat William kembali memikirkan soal pertengkarannya dengan Teesha.
Selama ini William mengira jika Teesha marah karena ia pernah meninggalkan gadis itu di pinggir jalan untuk kemudian menemui Nayara. Apa karena hal itu Teesha benar-benar marah sampai sebegitunya?
'Kenapa aku harus marah sama kamu?'
Perkataan Teesha saat hari dimana William masuk ke dalam kamarnya secara diam-diam kembali terlintas di kepala pria es itu.
'Oke, sekarang aku marah. Terus apa?'
'Iya. Aku marah gara-gara kamu ninggalin aku di tengah jalan! Terus gimana? Apa kamu ga merasa bersalah udah nurunin aku di tengah jalan? Kamu tahu gimana susahnya aku cari jalan pulang saat itu? Apa kamu ga mikir gimana cara aku pulang? Dasar manusia ga punya hati!'
William kembali mengingat bagaimana emosinya Teesha saat itu.
'Aku tahu urusan kamu sama dia lebih penting dari apapun. Terus kenapa sekarang kamu kesini? Urusannya udah selesai jadi kamu cari aku? Kenapa? Nayara ga bisa kamu suruh-suruh kayak aku ya?'
William mengernyitkan dahi ketika ia mengingat perkataan Teesha yang itu. Nayara?
'Kenapa aku harus marah? Mau kamu deket sama siapapun juga bukan urusan aku. Mau sama Nayara kek, mau sama anak sekolah lain kek, mau sama siapapun terserah kamu!'
Kerutan di dahi William semakin dalam ketika ia mengingat bagaimana kesalnya Teesha saat menyebutkan kalimat itu.
'Tapi setidaknya tolong hargai aku, Wil. Kamu selalu seenaknya, kamu ga pernah mikirin gimana perasaan aku, kamu—'
William sedikit kehilangan fokusnya ketika ia kembali mengingat Teesha yang memalingkan wajahnya dengan suara yang bergetar.
'Kalau kamu memang ga punya perasaan apapun sama aku, tolong jangan buat aku berharap, Wil.'
DUK!
William terdiam dan membiarkan bola basket terlepas begitu saja dari tangannya. Hal tersebut langsung dimanfaatkan oleh Devian yang langsung berlari dengan cepat mengambil bolanya. Pria pirang itu berlari dan melempar bola basket itu ke dalam ring.
"Aku menang!" Seru Devian yang kembali berhasil mencetak angka.
Mereka berdua terduduk di tengah lapangan basket, mencoba untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Pertandingan singkat ini ternyata cukup membuat energi mereka terkuras banyak.
"Gimana, Wil? Udah dapet jawabannya?" Tanya Devian kembali memastikan.
William masih terdiam. 'Tolong jangan buat aku berharap' adalah kalimat yang kini memenuhi pikirannya.
Apa ia sudah membuat Teesha berharap? Apa memang benar Teesha menyimpan perasaan padanya? Apa selama ini Teesha marah karena ia dekat dengan Nayara dan mengabaikan gadis itu? Dan yang paling penting, apa ia juga merasakan perasaan yang sama dengan Teesha? Ada terlalu banyak pertanyaan di dalam kepala William dan pria itu butuh jawabannya segera.
"Yang aku tahu, seorang William gak pernah mau kalau atau mengalah. Sekarang kamu mau diem aja sampai kamu bener-bener jauh dari dia?" Tanya Devian.
William tersenyum tipis. Devian benar, tidak ada sejarahnya seorang Jaya menyerah begitu saja. Apa yang seharusnya menjadi milik William, sudah pasti tidak boleh dimiliki oleh orang lain. Dan pangeran es kita sudah bertekad untuk memulai kembali semuanya dari awal.
Devian berdiri dari tempatnya, pria pirang itu beranjak menuju sisi lapangan dan menyambar tas sekolahnya, "Kamu tahu harus ngapain kan?"
Devian terkekeh pelan ketika melihat ekspresi William yang mulai melunak. Sepertinya pria itu memang sudah menemukan jawabannya, yang berarti tugas Devian sudah selesai sampai disini.
"Aku pulang duluan, Wil." Pamit Devian.
"Hn." Balas William singkat. Ia juga berencana untuk segera pulang dan mengistirahatkan tubuhnya.
"Eh, Wil!" Devian berhenti melangkah dan berbalik memandang William yang sedang berjalan menuju sisi lapangan, "Jangan lupa hadiahnya ya. Yang menang harus ngikutin perintah dari yang kalah loh hahaha..."
Tawa keras si alien bumi membuat William kembali memasang wajahnya yang datar.
.
.
To be continued