Chereads / Stars Elite / Chapter 21 - Misi Pertama

Chapter 21 - Misi Pertama

"Panglima Rathauni, apa mengurangi jumlah divisi akan berakibat buruk?" tanya salah seorang komisaris yang kepalanya memiliki tanduk.

"Tidak. Justru itu akan lebih efektif," jawab Panglima Rathauni.

Semuanya kembali bergumam.

"Kami semua sepakat untuk mengurangi divisi. Tapi kami butuh penjelasan lebih dalam," kata komisaris yang lain yang taringnya sangat tajam.

"Baiklah. Pertama, kita sudah tahu bahwa lima aliansi terkuat sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Hampir semua planet yang ada di galaksi ini sudah kita jajah semuanya. Jadi, maksud dari pengurangan divisi ialah dari sepuluh divisi, kita buat jadi dua divisi saja. Divisi satu sampai lima, kita gabung jadi divisi satu. Sisanya divisi enam sampai sepuluh, kita gabung jadi divisi dua."

Semua komisaris terlihat saling berbisik satu sama lain.

"Itu berarti namanya penggabungan divisi?" ucap komisaris yang kepalanya bertanduk.

"Sepertinya pengurangan bukan kata yang tepat. Baiklah. Kita sebut saja ini penggabungan," Panglima Rathauni tersenyum dan seisi ruangan ramai oleh para komisaris yang berbincang dengan komisaris yang lain.

Panglima Rathauni mengangkat tangan dengan tujuan supaya semua komisaris bisa tenang.

"Harap semuanya tenang. Saya juga punya satu informasi lain."

Semua komisaris tenang.

"Saya dengar kalau Aliansi Merah menemukan sebuah planet yang isinya berlian dan sedang membuat sebuah senjata besar yang akan menghancurkan planet tersebut sehingga sumber daya bisa mudah diambil. Sebab planet tersebut sangat berbahaya jika kita mendarat di sana."

Keadaan ruangan menjadi panas. Para komisaris saling menatap dan melontarkan banyak pertanyaan kepada Panglima Rathauni.

Panglima kembali mencoba menenangkan.

"Tapi informasinya masih simpang siur."

"Walaupun simpang siur, tetap saja ini ancaman berat. Kita harus buat senjata yang lebih kuat lagi," kata komisaris yang bertaring.

"Kita sudah ratusan tahun mencoba menjadi aliansi terkuat. Tetapi selama itu pula tidak ada predikat mana yang benar-benar kuat di antara kelimanya," kata komisaris yang bertanduk.

"Kita harus menentukan siapa yang terkuat di antar lima aliansi," sahut komisaris yang bertaring.

Panglima Rathauni kembali menenangkan.

"Untuk menentukan siapa yang terkuat, kita sudah tidak bisa lagi saling membandingkan kekuatan militer. Cara terbaik hanyalah dengan satu cara," kata Panglima Rathauni.

"Apa itu?" tanya komisaris bertanduk.

"Dengan berperang satu sama lain. Jika kekuatan militer hanya dijadikan hiasan, itu tidak ada gunanya. Tetapi jika kekuatan militer kita saling digunakan, maka kita akan tahu siapa yang terkuat."

Keadaan ruangan semakin ramai. Mereka bersemangat. Ada yang tertawa terbahak-bahak.

"Kami setuju. Tetapi, jika kita ingin mengobarkan api, kita harus membuat percikan api dulu," kata komisaris yang bertaring.

"Kita harus menyulut api peperangan." Panglima Rathauni tersenyum jahat.

***

Beberapa hari setelah diserang oleh Kapten Marlon, keadaan planet Basta sangat menyedihkan. Semua senjata militer mereka hancur. Panglima mereka pun juga sudah gugur. Semua planet dirundung duka. Kegiatan ekonomi terhenti. Penduduknya lebih memilih berdiam diri di rumah. Mereka merasa kalau planet mereka sudah tidak ada harapan lagi. Seorang prajurit yang terluka diselamatkan oleh seorang warga. Penduduk Basta badannya lonjong gempal, wajah seperti capung, tangan kurus ada enam, dan dua kaki panjang yang juga kurus. Kulit mereka keras seperti serangga dan berwarna kuning keemasan. Walaupun memiliki sayap, tetapi mereka tidak bisa terbang.

Prajurit tersebut kehilangan tangan kiri yang paling bawah. Setelah terbangun dari koma dan dia tahu berita pusat militernya hancur, dia hanya menangis. Seorang warga yang berjenis kelamin perempuan yang menyelamatkannya mencoba menghibur. Walaupun dalam hatinya dia juga sedih.

"Kau wanita yang baik," kata prajurit itu.

"Kau juga prajurit yang tangguh. Siapa namamu?" tanya warga perempuan itu.

"Surlaya," jawab Surlaya sambil memegang tangan kanan bawahnya yang diperban.

"Aku Sarami. Ketika aku di kebun, aku melihat pesawat militer jatuh ke tengah ladang. Aku berlari dan menemukanmu dalam kondisi sekarat dengan tangan bawahmu putus. Tak lama setelah itu, dari atas langit terpancar sebuah sinar dan terjadilah sebuah gemuruh ledakan yang sangat besar. Hampir saja gendang telingaku pecah. Aku membawamu ke rumahku dan nenek langsung mengobati lukamu. Maaf tanganmu tidak bisa disambung lagi. Setelah itu, aku mendengar kabar lewat radio kalau pusat militer Basta diserang," Sarami menjelaskan dengan menahan tangisannya.

Surlaya menunduk. Air matanya kembali mengalir.

"Panglima Damani sudah gugur," kata Surlaya sambil menangis.

Sarami juga diam. Dia menundukkan kepala dan mereka berdua larut dalam kesedihan yang sangat mendalam.

Kemudian, Surlaya mengusap air matanya dan berdiri.

"Kau mau mana?" tanya Sarami.

"Aku ingin membalaskan dendam kita kepada Kapten Divisi Sepuluh Aliansi Merah."

"Bagaimana caranya?"

"Aku akan meminta bantuan Aliansi Kebebasan."

"Berita penyerangan ini pasti juga sudah menyebar. Kita tunggu saja kedatangan mereka. Mungkin mereka akan datang memberikan bantuan."

"Apa prajurit mereka kembali datang?"

"Setelah kejadian itu, mereka tidak kelihatan lagi."

"Bagus. Mungkin Aliansi Kebebasan akan datang kemari. Sebab yang aku tahu, tidak semua planet mereka bantu."

Sarami lalu meminta Surlaya untuk beristirahat lagi.

***

Kapten Erdo dikejutkan dengan kedatangan Wardan yang memberitahunya bahwa planet Basta yang ada di daerah bintang Qufta diserang oleh Divisi Sepuluh Aliansi Merah.

"Kita harus kirim anggota atau prajurit kita ke sana," kata Kapten Erdo.

"Siapa yang akan kau pilih?" tanya Wardan.

"Sepertinya tim baru kita akan cocok. Mereka akan aku berikan misi ke Basta. Kebetulan planet ini berbatasan langsung dengan daerah bintang Qufta. Mereka akan cepat sampai di sana."

Tak ambil banyak waktu, Kapten Erdo memanggil Darma, Yora, dan Ramna ke ruangannya. Mereka diberi misi untuk memeriksa keadaan planet Basta. Juga sebagai perjalanan awal untuk mengantar Darma ke Ratu Ermana.

"Kalian aku tugaskan untuk memeriksa planet Basta. Setelah itu, Yora dan Ramna akan mengantar Darma ke markas pusat Aliansi Kebebasan yang ada di daerah bintang Garda."

"Mendadak sekali," Darma merasa tugas ini terlalu terburu-buru bagi dirinya yang pemula.

"Karena Wardan memberi informasinya juga mendadak. Dalam informasi tersebut planet Basta mengalami kerusakan sekitar dua puluh persen. Jadi harus segera diperiksa. Dan juga, aku sudah menghubungi Kapten Ozaf bahwa Darma akan datang diantar oleh dua prajurit."

"Tapi, bukannya kita menunggu misi dari pusat?" Darma masih bingung.

"Misi dari pusat itu misi yang ditujukan hanya kepada kapten divisi. Sementara misi macam begini, setiap kapten divisi punya wewenang kepada anak buahnya."

Darma mengangguk. Dia juga merasa gugup. Dalam hati kecilnya dia takut. Ini sama seperti masuk ke medan perang. Bisa saja nyawanya hilang dan dai tidak bisa kembali bertemu ibunya.

Setelah beberapa persiapan seperti perbekalan, dan pengisian penuh bahan bakar, mereka semua siap menjalankan misi. Kapten Erdo juga menyuruh Darma untuk membawa tongkat buatan bangsa Zalf.

"Tapi aku belum mempelajari cara menggunakan tongkat itu," Darma merasa tidak pantas.

"Gunakan saja sebisamu. Mungkin ketika bertemu Ratu, kau akan lebih tahu lagi kegunaan tongkat itu," Kapten Erdo meyakinkan Darma.

Yora menghidupkan mesin pesawat. Keluar secara perlahan dari hanggar kemudian dia melesat dan menembus kelar atmosfer. Ramna mengatur agar pesawat tujuannya ke arah palet Basta. Darma duduk di bangku belakang melihat Yora dan Ramna bekerja sambil dia sedikit memperhatikan.

Pesawat lalu melakukan lompatan kecepatan cahaya dan berjalan stabil di empat kali akselerasi.

Bersambung...