"Cassie sialan!"
Rachel keluar dari bar dengan emosi yang sudah sampai pada puncaknya. Bibir manisnya tidak berhenti mengucapkan makian dan sumpah serapah untuk rekan kerjanya yang satu itu. Rachel kesal bukan main ketika ia tidak menemukan Cassie dimanapun di dalam sana. Bahkan di sudut terdalam pun tidak ada. Apakah rekan kerjanya yang satu itu benar-benar meninggalkannya sendirian disini? Rachel sudah tidak peduli lagi. Ia merasa sangat lelah dan ingin segera pulang kerumah.
BUGH!
"Mati!"
Langkah Rachel terhenti ketika ia mendengar teriakan seseorang di gang kecil samping bar. Karena penasaran, gadis itu berjalan menghampiri sumber suara dan ia menyesalinya ketika melihat seseorang sedang dipukul habis-habisan oleh tiga orang pria berbadan lebih besar darinya.
Rachel berbalik dan bersembunyi di balik tembok, menutup mulutnya sambil berpikir. Apa yang harus ia lakukan? Lari dari sini dan membiarkan pria itu mati mengenaskan atau menolongnya? Menolong bagaimana? Jika ia pergi kesana juga, ia bisa pastikan jika dirinya juga akan ikut mati.
Sedangkan Arka, sang korban kini hanya bisa terduduk tak berdaya dengan berbagai luka di tubuh juga wajahnya. Sebenarnya ia bisa saja membalas setiap pukulan yang diberikan padanya, hanya saja kondisinya yang sedikit mabuk membuat tenaganya hilang entah kemana.
"Berhenti!"
Teriakan seseorang menghentikan gerakan sebuah tangan yang akan mendarat di wajah Arka. Dengan lemah, Arka menengok ke arah samping dan menemukan seorang gadis asing yang ia temui di bar tadi sedang berdiri di ujung gang dengan wajah yang terlihat sangat berani. Arka terkekeh geli, gadis itu benar-benar cari mati.
"Siapa?" Tanya salah seorang yang memukul Arka tadi.
"Pergi dari sini! Atau aku telpon polisi sekarang juga." Rachel menunjukan layar ponselnya yang sudah tertulis nomor darurat 911.
"Mau jadi pahlawan?" Tanya mereka meremehkan.
Demi apapun, mereka bertiga lebih seram dari semua atasan Rachel di kantor!
"Aku ga bercanda, tuan-tuan. Pergi sekarang atau aku telpon polisi sekarang juga? Kalian tahu kan jarak kantor polisi gak jauh darisini?" Rachel masih berdiri tegak dan berusaha mempertahankan ekspresi beraninya di depan mereka.
Ketiga orang itu masih terdiam di tempatnya, sampai Rachel menekan tombol dialing pada layar ponselnya dan membawa alat komunikasi itu ke telinganya, barulah ketiga pria berbadan besar itu pergi meninggalkan Rachel dan Arka.
Rachel menghela nafas panjang dan segera berlari menuju Arka yang terduduk lemah di tengah gang sana.
Rachel memekik ketika melihat keadaan pria yang terkulai lemah di hadapannya. Pelipisnya dan sudut bibirnya berdarah. Tulang pipinya lebam, dan astaga ia tidak mampu lagi mendeskripsikan bagaimana kacaunya keadaan pria itu.
BRAK!
Rachel mendudukan Arka kasar di kursi depan mobil milik sang gadis setelah susah payah membawa pria itu ke parkiran. Rachel kemudian memutar dan masuk ke dalam kursi kemudi.
Gadis itu terdiam, ia bingung dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Apa yang ia lakukan? Kenapa ia membawa pria aneh yang sama sekali bukan urusannya ini bersamanya?
Rachel berniat turun dari mobilnya dan mendorong pria ini keluar dari mobil dan meninggalkannya begitu saja di tempat parkir. Tapi bagaimana jika pria ini kehabisan darah dan tewas seketika? Rachel mendengus kasar sambil mengacak rambutnya frustasi. Apa pedulinya? Lebih baik seperti itu kan daripada berakhir gila menghadapi pria ini sendirian. Lihat, kini pria itu memejamkan mata nya sambil terkekeh geli.
"Kita ke rumah sakit." Rachel memasang sabuk pengaman di tubuhnya dan menyalakan mesin mobil, bersiap untuk berangkat.
"Jangan." Arka membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Rachel, "Bawa aku pulang aja. Jangan ke rumah sakit."
Rachel mendengus, "Jangan tambah merepotkan orang seenaknya, tuan. Kita ke rumah sakit atau kamu mau aku tinggal dan mati disini?"
"Kamu antar aku pulang ke rumah atau aku laporin kamu ke polisi dengan tuduhan penganiayaan?"
Rachel menatap pria di sampingnya dengan pandangan tak percaya, "Dasar gak tahu terima kasih!"
Arka kembali terkekeh ketika Rachel menjalankan mobilnya.
.
.
Satu jam. Sudah satu jam Rachel mendengar ocehan tidak jelas dari pria yang entah siapa namanya pun ia tidak tahu. Pria itu mabuk dan terlibat perkelahian entah dengan siapa dan hampir tewas dengan luka pukulan di sekujur tubuhnya. Kepala Rachel mulai pusing karena ocehan pria itu. Sedikit-sedikit ia tertawa, kemudian tanpa alasan jelas ia marah-marah.
Disini lah Rachel kini. Berputar-putar di jalanan kota di dalam mobil sang pria yang kini sedang tertidur, atau pingsan, atau mungkin sudah tewas?
"Kamu masih hidup?" Tidak adanya jawaban dari sang pria membuat Rachel semakin khawatir.
"Hey, kamu masih hidup kan?" Rachel kembali bertanya.
Arka membuka mata, "Masih." Pria itu meringis ketika merasakan kepala dan sekujur tubuhnya terasa sakit.
"Dari sini lewat mana?" Rachel masih berkonsentrasi memperhatikan jalanan. Waktu yang sudah menunjukan pukul satu malam membuat ia mulai mengantuk.
"Di depan belok kanan. Ketemu perempatan kamu belok kanan lagi. Rumah kedua sebelah kiri setelah pos satpam." Instruksi Arka.
Rachel kembali mengulang intruksi yang diberikan Arka, sebelum pria itu kembali memejamkan mata dan Rachel lupa harus kemana.
Arka menghela nafas panjang, memandang lurus ke depan sambil memikirkan sesuatu. Pria itu masih terlihat kacau seperti saat ia datang ke bar beberapa jam yang lalu. Bagaimana tidak, gadis yang selama ini ia cintai malah bermain di belakangnya. Kekasih— ah lebih tepatnya mantan kekasihnya bilang jika Arka tidak bisa memberikan apa yang gadis itu mau, jadi ia lebih memilih pergi dengan pria kaya raya itu dibanding dirinya.
Ditambah lagi perkataan gadis yang baru saja ia temui, yang kini tengah mengantarnya pulang terus terngiang di kepalanya. Apa yang dibilang gadis itu tadi? Ia kurang kaya katanya?
Arka terkekeh pelan, entah menertawakan perkataan gadis yang tidak tahu siapa dirinya sebenarnya atau menertawakan kondisinya saat ini yang terlihat lebih kacau karena lebam di sekujur tubuhnya.
"Hey." Arka memecah keheningan diantara mereka, "Siapa nama kamu?"
Rachel mendengus, "Kamu gak perlu tahu."
Rachel berusaha mengingat intruksi yang sebelumnya diberikan. Bukankah setelah ini ia harus belok kanan lagi?
"Kamu kelihatan berantakan. Kayaknya masalah kamu cukup berat ya." Arka kembali membuka suara, "Apa perempuan memang se emosi ini kalau di putusin pacarnya?"
Rachel tahu pria itu sedang bicara padanya, ia mendelik tak suka, "Coba lihat diri kamu sendiri. Kamu kelihatan lebih berantakan. And for your information, aku yang mutusin dia."
Rachel terdiam ketika ia menyadari apa yang diucapkannya. Kenapa ia malah mengatakan hal itu pada pria menyebalkan yang baru saja ia temui?
Arka terkekeh, "Jadi, kamu putusin gara-gara dia selingkuh?"
"Jangan sok tahu." Jawab Rachel dingin.
Arka mengendikkan bahunya, "Aku ga sok tahu. Kamu yang sempet bilang tadi di bar."
"..."
"Jadi, dia ninggalin kamu buat yang lebih cantik? Menurut aku kamu kelihatan menarik."
Rachel berdecak kesal, "Tolong urus masalah kamu sendiri, okay? Aku ga butuh komentar dari orang yang baru aja di tinggalin pacarnya selingkuh."
"Hahaha..." Arka tertawa cukup keras membuat Rachel menoleh sekilas dan mengerutkan dahinya heran. Sepertinya pengaruh satu gelas grappa tadi masih bekerja. Arka masih mabuk.
"Kamu harus banyak belajar dari aku. See? Aku ga segalau kamu kan."
Rachel memutar mata, "Iya, kamu ga segalau itu kok buat ngatain semua cewek brengsek gara-gara ditinggal selingkuh."
Arka menghentikan tawanya, "Aku ga ambil pusing, nona. Kamu tahu, aku gampang dapetin perempuan pengganti dia. Tampang aku itu menjual. Semua perempuan pasti mau sama aku, termasuk kamu juga."
"Dalam mimpi mu!"
Rachel tidak mengerti kenapa ia harus terlibat dalam pembicaraan absurd dengan pria itu. Dia memang tampan, postur tubuhnya yang atletis juga menjadi nilai tambah untuk pria itu.
Tapi, what the f— kenapa pria itu memiliki tingkat percaya diri yang sangat tinggi? Ingin rasanya Rachel cepat sampai agar tidak usah berhadapan dengan pria aneh ini lagi.
Ah, kita tidak tahu apa yang menantimu di depan sana, Rachel. Kita lihat saja nanti.
.
.
To be continued