Setiap pukul tujuh lebih empat puluh lima menit para pegawai selalu mengadakan do'a bersama setiap harinya. Kali ini Mario mendapatkan giliran memimpin do'a. Biasanya setelah berdo'a para atasan selalu memeriksa kelengkapan atribut setiap staff nya sesuai dengan SOP yang berlaku, seperti memakai pakaian yang rapi, sepatu pantofel, dan ID card yang tertempel di blazer ataupun kemeja mereka.
ID card?
Jantung Rachel tiba-tiba berdetak kencang ketika mengingat kartu identitas itu. Ia meraba saku nya dan tidak merasakan ada sesuatu yang tertempel disana disana. Ia juga memeriksa saku blazer tempat biasa ia simpan tanda pengenal itu, tetapi nihil. Ia tidak menemukan apapun selain ponselnya.
Wajah Rachel menegang, ia panik ketika sang manager yang sering dipanggil bunda hara itu memandangnya penuh selidik. Gadis itu mundur satu langkah ke belakang, ia sedikit bergeser menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Cassie sambil menundukan kepalanya berharap managernya tidak menyadari gelagat anehnya.
Rachel juga berdo'a dalam hati berharap mood sang manager hari ini sedang baik-baik saja, mengingat manager nya selalu mempermasalahkan hal sekecil apapun ketika mood nya sedang buruk.
"Rachel!" Tubuh Rachel menegang ketika namanya dipanggil dengan lantang,
"Mana ID card kamu?" Suara menggelegar dari sang manager tersayang membuat jantung Rachel melompat dari tempatnya. Kini semua pandangan para staff tertuju padanya, termasuk Cassie yang memandangnya dengan pandangan bertanya.
Rachel terdiam sejenak ketika menyadari mood managernya. Ia ragu untuk menjawab, "Maaf bu. Sepertinya ketinggalan di rumah."
Manager yang bernama Sarah itu menggelengkan kepalanya, "Apa saya harus mendengar alasan seperti itu? Kamu itu sudah menginjak dunia kerja, bukan anak sekolah dasar lagi." Wanita itu mendelik dan Rachel hanya bisa terdiam.
"Hari ini kita kedatangan pimpinan dan kamu tidak memakai atribut yang lengkap?" Nada bicara wanita itu semakin tinggi.
"Kemarin saya sudah peringatkan supervisor kamu agar hari ini seluruh staff memakai atribut yang lengkap." Ditambah dengan tatapan tajam nya membuat Rachel semakin menciut.
"Saya ga mau tahu ya, jangan sampai ini terlihat oleh pimpinan!" Bu Sarah berbalik dan melangkah menuju ruangan nya dan meninggalkan para staff nya.
Para staff menahan nafas mereka ketika mendengar suara bantingan pintu ruangan sang manager.
Lihatkan? Hal seperti ini saja bisa membuat sang bunda hara tidak segan-segan memarahi salah seorang staff di depan yang lain nya, tidak peduli jika yang ia lakukan itu bisa menyakiti hati mereka.
Ternyata benar saja, moodnya sedang tidak baik. Hal seperti ini saja Rachel terkena marah besar sang bunda hara. Rachel hanya bisa tertunduk sambil mengutuk dirinya sendiri.
Gara-gara memikirkan 'Kejutan' pagi tadi, ia bisa dengan bodohnya meninggalkan ID card yang sepertinya masih berada di blazer yang kemarin dia pakai.
Rachel kembali ke meja nya dengan langkah gontai. Jika terus memikirkan hal ini, pekerjaan nya yang menumpuk tidak akan selesai. Ia menyalakan komputernya, berniat untuk memeriksa e-mail yang masuk tetapi sesuatu di layar komputernya membuat Rachel semakin frustasi.
"Cass, komputer kamu kayak gini, ga?" Lambang segitiga yang muncul di layar komputernya membuat Rachel gemas. Komputernya tidak dapat tersambung ke internet dan itu menghambat pekerjaan Rachel.
Cassie keluar dari tempat duduknya menghampiri Rachel. Gadis itu menggelengkan kepalanya saat memeriksa layar komputer Rachel.
Rachel semakin kesal ketika ia bertanya kepada Mario dan para staff lainnya dan tidak ada yang mengalami hal serupa.
Setelah bangun disamping pria tidak dikenal dengan posisi berpelukan, kemudian dimarahi oleh sang manager tersayang, dan sekarang ia tidak bisa memeriksa pekerjaan nya karena jaringan di komputernya tidak terdeteksi, ditambah dengan tumpukan invoice di meja kerja nya yang sudah melambai-lambai minta diselesaikan. Tidak kah ada yang lebih buruk dari ini?!
Rachel berjalan cepat menuju meja telpon di ujung ruangan dan langsung menekan line telpon divisi IT dengan penuh tekanan.
"IT selamat pagi." Sapa seseorang di sebrang sana.
"Pagi. Saya Rachel dari Finance. Komputer saya error nih, Pak. Bisa tolong ada yang kesini ga ya?" Tanya Rachel tanpa basa-basi lagi.
"Bisa dijelaskan keluhan nya kenapa?"
Rachel mengetuk-ngetuk sepatunya, "Komputernya ga connect ke internet. Kayaknya jaringan LAN nya yang error."
"Baik. Ditunggu aja ya, nanti ada tim kami yang kesana tapi mungkin agak siang."
Rachel berdecak kesal, "Ga bisa sekarang ya, Pak? Ini urgent soalnya."
"IT supportnya masuk siang. Kami usahakan secepat mungkin ya."
TUT! TUT! TUT!
Rachel membawa telpon itu menjauh dari telinganya ketika orang di divisi IT sana memutus sambungan telponnya begitu saja. Ingin rasanya Rachel memaki saat itu juga.
BRUK!
Cassie yang sedang sibuk dengan ponselnya melirik setumpukan invoice yang disimpan Rachel di atas meja kerjanya. Rachel berniat untuk pindah sementara di meja Cassie sambil menunggu staff IT datang membetulkan komputernya.
"Meja kamu rusak juga, Chel?" Tanya Cassie heran.
Rachel menggeleng pelan, "Meja aku baik-baik aja. Aku ga mau tiba-tiba disuruh pindah pas lagi meriksa kerjaan."
Cassie mengendikan bahunya acuh dan kembali pada kesibukannya sendiri.
.
.
Bukan hal mudah untuk Rachel menyelesaikan pekerjaan nya di meja Cassie. Gadis itu tidak hentinya mengganggu fokus Rachel. Terkadang ia mengajak Rachel mengobrol hal yang tidak penting, bersenandung dengan suara yang sedikit keras, dan kini Cassie menyikut lengan nya ketika ia sedang sibuk menghitung.
Rachel semakin terganggu ketika Cassie terlihat histeris sendiri sambil menghentakan kakinya gemas ketika seorang pria datang dari pintu masuk dan melangkah menghampiri Mario.
"Chel, lihat tuh. Si Arka makin hari makin ganteng aja." Rachel mendengus dan tidak mempedulikan Cassie. Ia sama sekali tidak tertarik dengan hal yang tidak penting seperti membicarakan pria tambun yang menjadi idaman seluruh staff wanita di kantor ini?
Kuperingatkan jangan ganggu Rachel yang sedang serius, Cassie. Kau tahu kan dia sedang dalam mood yang kurang bagus.
Cassie kembali memeriksa penampilannya lewat cermin kecil yang selalu ia bawa kemanapun. Perhatian gadis itu teralih ketika tiba-tiba Arka berjalan menghampiri mejanya setelah Mario menunjuk ke arahnya.
"Chel, dia kesini." Cassie kembali menyikut Rachel yang langsung dihadiahi delikan tajam dari gadis itu.
"Terus kenapa?" Rachel kembali memfokuskan perhatian pada invoice di hadapan nya, "Mau dia kesini atau kemana pun dia mau juga bukan urusan aku."
Cassie menegakan posisi duduknya saat Arka kini berdiri di hadapan nya. Sejenak mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu sempurna itu. Lihat saja paras tampan itu, mata onyx tajam miliknya, dan juga senyuman ramah Arka. Siapa yang bisa menolak pesona pria itu sih?!
"Maaf, yang tadi telpon kebagian IT siapa ya?" Tanya Arka mempertahankan senyum ramahnya. Cassie ikut tersenyum sambil menunjuk rekan kerja di sebelahnya.
Arka mengalihkan perhatiannya pada seseorang di sebelah Cassie. Pria itu sedikit memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas wajah gadis itu karena ia merasa tidak asing.
"Aku." Jawab Rachel masih memfokuskan pandangan pada tumpukan kertas di atas meja, "Komputer aku--" Perkataan nya terhenti ketika ia mengalihkan pandangan.
Baik Rachel ataupun Arka, keduanya sama-sama membeku. Mereka membelalakan mata tak percaya ketika melihat siapa yang berada di hadapannya sekarang.
Ingin rasanya Rachel berteriak kencang saat ini. Bukankah itu pria yang menghabiskan waktu dengan nya semalam? Kenapa pria itu bisa ada disini? Astaga kesialan macam apalagi ini?!
"Ko-komputernya sebelah sana." Rachel menunjuk mejanya sekilas dan mengalihkan perhatian nya pada invoice, berusaha mengacuhkan Arka yang masih mematung. Pria itu juga sama terkejutnya seperti Rachel.
Arka berdeham kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan meja Cassie dengan seringai tipis yang terukir di bibirnya.
Sedangkan Rachel kini tengah mengatur degup jantungnya yang tidak beraturan.
.
.
To be continued