Senin, 9 Februari 2032
Setiap kali mengayuh sepeda ke sekolah, aku selalu bersyukur. Aku sangat beruntung terlahir dan tumbuh besar di daerah yang sekarang menjadi salah satu kota terindah di Asia Tenggara. Padahal katanya kota ini baru didirikan tujuh tahun yang lalu. Inilah kota Kuala Baru.
Cakupan wilayah kota ini terbilang besar, namun dengan hanya 600.000 penduduk menjadikan kota ini begitu teratur dalam urusan tata letak dan lahan. Buktinya, di samping kanan dan kiriku terbentang sawah hijau yang luas. Sedangkan jalan yang kulalui ini adalah jalur khusus sepeda. Jalur seperti ini tersebar di seluruh penjuru kota ini. Melalui jalan ini, kurasa lebih bebas dan lebih cepat sampai di sekolah. Hanya butuh waktu 15 menit untuk perjalanan ke sekolah.
Dari awal banyak orang mengatakan bahwa aku pintar. Guru sekaligus kepala sekolah SMP-ku itu sampai membuatkan surat rekomendasi sehingga aku dapat mengikuti tes masuk sekolah elit National Highschool of Kuala Baru.
Sudah tiga minggu sejak hari penerimaan siswa baru. Aku duduk di kelas 1-E tanpa satupun kenalan dari SMP. Mereka yang berada di sini terlihat pintar, sehat, sosialita, dan kece. Pada awalnya, aku kesulitan mencari teman karena minder. Tetapi sekarang itu bukanlah masalah.
Di National Highschool of Kuala Baru (Untuk seterusnya aku hanya akan menyebutnya NHKB), Kelas A sampai E diperuntukkan untuk jurusan sosial, sedangkan F sampai J khusus untuk sains.
Di sekolah ini, banyak sekali festival yang rutin digelar setiap tahunnya. Bahkan terkadang beberapa sekolah bekerjasama menggelar festival besar. Ada juga kegiatan besar yang langsung diselenggarakan oleh pemerintah kota Kuala Baru, yaitu Olimpiade.
Kegiatan yang kumaksud antara lain festival olahraga, festival halloween, festival kelulusan kelas tiga, dan acara perayaan natal. Semuanya digelar dalam waktu yang berbeda di semester dua nanti dan tanggalnya tidak pasti. Sementara itu, Olimpiade akan digelar bulan Desember, yakni saat libur akhir semester.
Dengan banyaknya nikmat yang menanti di depan sana, aku sangat berharap kehidupan SMA-ku akan berjalan mulus dan menyenangkan!
Tetapi, kita tidak bisa meramal masa depan. Ada kalanya, sesuatu yang luput dari prediksi dan ekspektasi kita malah secara ajaib muncul begitu saja. Ini hal biasa dalam hidup. Ah, apapun itu, aku harus tetap optimis!
"Hamza! Woi, Hamza!"
Terdengar bisikan dari arah belakang. Suara itu milik Yohan, teman pertamaku sejak bersekolah di sini.
Aku pun menengok dan mendapati smartphone miliknya yang diarahkan padaku. Di sana terpampang layar berita dengan judul mencolok. 'Tim Sepakbola NHKB Akan Menantang Sentani.'
Berita itu sangat membuatku terkejut sampai aku merebut ponsel pintar Yohan. Setelah membaca isi berita lengkapnya, aku langsung mengembalikan ponsel itu.
"Ini sekolah adekmu, 'kan?"
"Iya."
"Boleh juga. Adekmu nanti nonton nggak ya?"
"Eh, kenapa?"
"Kenalkan la!"
Aku pernah bercerita kepada Yohan tentang adik tiriku yang setahun lebih muda, tapi berada di tingkat sekolah sebaya denganku. Dia bersekolah di Sentani Kuala Baru Highshool atau lebih sering disebut Sentani saja.
"Ssssht! Berisik, Hamza!"
Dina yang duduk di samping kananku menatap tajam kami. Jari telunjuknya ditempelkan pada bibir mungilnya yang membentuk gestur lucu.
Sialan, kenapa cuma namaku yang disebut?
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit. Guru matematika itu sebentar lagi akan selesai mengajar. Lalu mata pelajaran akan berganti dengan pelajaran lain sampai waktu istirahat jam sepuluh.
Matematika itu mudah. Tapi, ceritanya lain semenjak x dan y menyerang. Itu yang dikatakan orang-orang. Menurutku, matematika masih tetap mudah, asal mengerti konsepnya.
Meskipun aku menikmati kelas matematika, namun tetap saja ada perasaan lega setelah mata pelajaran ini berakhir.
"Hamza, Hamza! Ajarin aku bagian ini la!"
Keadaan yang tidak asing lagi setiap mata pelajaran ini selesai. Yohannes Filbert Tien, cowok dengan tinggi 171 cm ini-satu senti lebih tinggi dariku-akan meminta bantuan.
Yohan sangat pandai dalam bahasa, baik Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Tapi dalam matematika, ia level satu.
"Ah, aku juga dong!"
Dina Ayuningtyas menambahkan. Gadis cantik berambut panjang dengan gaya rambut ponytail itu sebenarnya cukup pandai. Selain itu, dia jago bulu tangkis. Tapi dalam matematika, di kelas ini akulah rajanya.
"Aku juga!"
Lalu yang terakhir, ada cowok tampan berkacamata. Rambutnya tertata sangat rapi. Jujur, penampilannya seperti murid yang cerdas. Siapa lagi kalau bukan Fauzan Ali.
Cowok yang lima senti lebih pendek dariku ini memang cerdas. Meskipun hanya dalam catur. Ia pernah juara di kejuaraan catur SMP Kuala Baru tiga tahun berturut-turut.
Mereka bisa masuk NHKB meskipun nggak pandai matematika. Padahal di tes masuk cukup banyak soal matematikanya. Aneh? Tidak. Kudengar sekolah ini menerima siswa berdasarkan keahlian masing-masing. Jika kamu cukup kompeten dalam suatu bidang, maka kamu bisa masuk sekolah elit ini. Mungkin saja mereka masuk lewat jalur prestasi. Dina kan pandai bulutangkis, Fauzan pandai catur, dan Yohan mungkin punya sertifikat juara lomba bahasa.
Waktu kecil ada temanku yang pernah bilang kalau orang yang pandai catur juga pandai dalam matematika. Bodohya, aku percaya itu sampai aku bertemu Fauzan. Mungkin teman kecilku berkata begitu karena aku juga punya sedikit kemampuan dalam catur. Faktanya aku paling hebat main catur waktu SD.
"Nanti aja lah, pas istirahat. Habis ini pelajaran ilmu komputer kan? Sebentar lagi gurunya datang."
Saat waktu istirahat tiba, aku tak keberatan mengajari mereka matematika. Seharusnya aku membantu tiga orang, tetapi teman-teman Ayu juga ikut mengerubungiku.
Sialan, apakah penjelasan guru tidak cukup jelas?
Oh tidak. Aku tidak boleh protes. Ajari mereka secepat mungkin, lalu pergi ke kantin. Kalau mereka masih tidak paham, itu bukan salahku, bukan?
"Terima kasih, Hamza."
Dina diiringi teman-temannya akhirnya pergi.
Sekarang, di kelas cuma ada aku, Yohan, dan Fauzan.
"Habis pulang sekolah nanti main yuk!"
Ajakan Yohan ini terdengar asyik. Tetapi...
"Aku ada kegiatan klub."
Dua temanku itu terlihat terkejut setelah mendengar jawaban singkatku.
"Kamu gabung klub apa?"
Fauzan bertanya sambil menaikkan gagang kacamatanya. Itu adalah sebuah adegan, bukan, maksudku sebuah gerakan sok elit dan sok pintar.
"Klub Voli."
"Ha? Kapan?"
"Hari Kamis kemarin seleksinya. Semalam aku dapat pesan kalau aku diterima. Oh ya, ngapain kita di sini. Aku tadi berencana mau ke kantin. Cabut yuk!"
"Oke, yuk!"
Kami melanjutkan obrolan sambil berjalan.
"Wah, kalau gitu Hamza dah mulai sibuk ya."
"Nggak juga. Cuma berangkat hari Senin, Selasa, sama Kamis. Sebab, lapangannya harus gantian sama klub basket. Tapi kalau mau ada turnamen, katanya harus berangkat terus."
"Kalau gitu, buat ngisi waktu luang, kamu masuk klub caturku aja! Buka tiap hari kok. Masuk pas lagi mood aja pun boleh."
Tawaran Fauzan ini boleh juga. Mungkin di sana, aku bisa mengembangkan kehebatan caturku. Meskipun mustahil bakal seahli Fauzan.
"Kalau aku kayaknya mau gabung klub literasi aja."
"Cocok buatmu, Yohan."
Sangat cocok malah, kupikir.
"Kalau kamu mau masuk klub literasi pasti tujuannya nyari crush cewek cantik."
"Nyinyir kali kau, murni passion la."
"Enggak mengaku pula."
"Ha ha ha, it's my second reason."
Aku dan Fauzan tertawa. Tanpa sadar, kami sudah sampai di kantin. Meja makan sudah penuh semua. Setelah membeli makanan, kami berdebat menentukan tempat makan.
Yohan mengajak makan di atap. Tapi itu segera kutolak mengingat tempat itu dikuasai kakak kelas.
Fauzan bersikeras untuk makan di halaman belakang sekolah. Ide itu tidak disetujui Yohan karena tempatnya jauh.
Pada akhirnya, kami kembali ke kelas dan melahap makanan kami di sana. Ternyata kelas sudah kembali ramai.
Baru saja kami menghabiskan makanan ketika seseorang yang tidak kukenal memasuki ruang kelas. Ia terlihat mencari seseorang, lalu matanya berhenti setelah tatapan kami bertemu.
Seorang gadis berambut lurus panjang dengan bando biru melekat. Tubuhnya langsing dan atletis, tapi untuk seorang perempuan Melayu, ia sangat jangkung. Mungkin 177 cm.
"Siapa? Kakak kelas?"
Fauzan pun tidak tahu siapa dia.
Dengan langkah mantap dan sopan, gadis itu mendekat ke arahku. Tentu saja itu menarik perhatian anak sekelas. Ada apa sebenarnya?
"Kamu Ahmad Alhamza kan? Ini bukti formulir penerimaan klub voli. Nanti serahin sama Mr. Leon sebelum latihan."
Dengan sedikit gugup, aku menerima selembar kertas itu.
"Iya. Aku Hamza. Kamu dari klub voli juga?"
Sialan, kenapa dia malah memandangku dengan tajam begitu? Aku jadi gugup.
"Namaku Elice dari kelas 2-J, dari klub voli juga, sekaligus merangkap sebagai manajer sementara klub voli untuk tim putra dan putri. Kalau gitu sampai nanti, Hamza."
Setelah berkata seperti itu, ia langsung pergi.
"Ah, terima kasih kak!"
Ia sedikit menengok, tetapi tidak menjawab.
Cara gadis itu berbicara dengan lancar, tatapannya yang penuh percaya diri, serta caranya berjalan yang mantap membuatku terkesima. Ini pertama kalinya aku berinteraksi dengan kakak kelas perempuan di sekolah ini.
"Nggak adil betul, ada gadis secantik dia di klub ekskulmu, Hamza."
Jangan protes ke aku, Yohan.
"Tapi gila tinggi banget ya, Kak Elice. Cowok-cowok kayak aku langsung minder dah."
"Iya tinggi banget."
Tinggi Fauzan sekitar 165, jika perkiraanku benar artinya Kak Elice 12 cm lebih tinggi darinya. Masuk akal kalau dia langsung minder.
"Kalian pada nggak tahu ya, dia itu jago banget lho main volinya."
Dina begitu saja masuk ke obrolan kami. Nada bicaranya sedikit mengandung kekaguman.
"Ayu kenal dia?"
"Dulu pas di SMP dia sangat populer. Enggak ada yang nggak kenal sama kak Elice. Sekarang pun pasti gitu. Bentar lagi dia juga akan dikenal anak-anak kelas satu. Jadi, Hamza nggak ada kesempatan buat deketin dia."
Caramu menjawab pertanyaanku memang informatif, Dina. Tetapi, kurasa kalimat terakhir itu tidak perlu.
Hari ini aku berharap waktu berlangsung lebih cepat daripada biasanya. Sebab ini hari pertama masuk klub.
Setelah bel pulang berbunyi, aku pun bersiap untuk menemui Mr. Leon.
"Aku duluan ya!"
"Aku juga mau ke klub catur. Bye-bye Hamza, Dina."
Dina yang masih berdiri di samping mejanya melambaikan tangan sama Fauzan dan Yohan. Setelah selesai mengikat tali sepatu, aku pun beranjak.
"Ayu sengaja nungguin aku?"
Aku bertanya begitu karena kelas sudah kosong.
"Iya. Habis ini Hamza langsung ke klub voli 'kan? Aku juga mau ke klub Badminton."
"Iya nih."
Dina memulai percakapan sambil berjalan. Aku mengiringi di sampingnya. Memang, kami akrab semenjak masuk NHKB.
"Filbert sama Ali kadang mampir ke klub Badminton lho. Hamza juga sesekali mampir la, nanti aku juga mampir ke ekskul voli."
"Aku cuma masuk klub tiga hari sih, tapi kayaknya nanti masa dekat turnamen masuk tiap hari buat latihan. Karena dipakai klub basket juga bangunannya, tim voli bisa latihan di luar."
"Oh, jadi senggang hari apa?"
"Rabu, Jumat, Sabtu. Nanti aku usahakan dah."
"Okay."
"Tapi kenapa minta kunjungan? Badminton sepi penonton kah? Kalau klub voli lagi latih tanding sih selalu ramai. Lebih ramai dibanding basket atau sepakbola."
"Ngejek? Jangan sombong dulu! Kadang-kadang Badminton juga ramai tau! By the way, Hamza masuk NHKB karena klub Voli?"
"Enggak sih. Bisa diterima klub voli aja dah pencapaian besar. Peraih emas olimpiade lima kali berturut-turut, jelas kebanggaan sekolah. Siapa yang nggak mau masuk klub voli?"
"Yang nggak mau masuk yang nggak bisa dan nggak minat voli lah."
Benar juga kata Dina. Di SMP, timku kesulitan mencari anggota karena sedikit yang minat voli.
"Aku juga berharap bisa main di olimpiade nanti, dan meraih emas."
"Good luck."
Eh, kenapa malah wajahmu kayak marah gitu, Dina Ayuningtyas?
"Nadamu kok kayak meremehkan gitu sih?"
Sumpah, enggak!
"Gimana kalau kita taruhan? Kalau aku dapat emas, berarti aku menang. Kalau aku nggak dapat emas berarti imbang."
"Kok nggak adil betul? Kalau timku dapat emas dan Ayu enggak, berarti aku menang?"
"Klub voli kan sudah favorit juara. Mana ada yang bisa menandingi? Pokoknya nggak dihitung. Intinya aku dapat emas atau tidak."
"Kalau Ayu bisa dapat medali emas, aku bakal menuruti satu permintaanmu, selama masih rasional."
"Haha, memangnya Hamza itu jin? Aku minta hadiah aja."
"Okay, noted. Oh ya, jalan klub badminton ke sana ya. Kalau gitu sampai sini aja ya. Bye, Ayu!"
Ia melambaikan tangan, lalu aku berbalik. Eh, tunggu! Ada yang kelupaan. Aku pun segera menghadap gadis itu kembali sebelum ia mulai melangkah.
"Hamza!"
Tetapi, malah dia duluan yang memanggilku. Aku terkejut.
"Kenapa?"
"Mulai besok, panggil aku Dina aja ya?"
Kebetulan aku juga mau minta izin sama dirimu soal itu. Baru saja aku mau bilang 'Boleh aku manggil kamu Dina aja?'
"Mulai sekarang aja. Haha. Ya sudah, Bye Dina!"
"Bye Hamza!"
Entah kenapa dia ikut tersenyum dan tertawa. Sekali lagi, dengan lambaian cantik tangannya.