Chereads / My Time in Highschool : As a First Year Student / Chapter 2 - Chapter 2 : Maukah?

Chapter 2 - Chapter 2 : Maukah?

Senin, 9 Februari 2032

17:37

Aku merebahkan tubuh di sofa. Rasanya nikmat sekali setelah menjalankan aktivitas berat di klub.

Mataku terpaku mengamati detik demi detik berlalu di jam LED, yang setiap perubahan angka meningkatkan rasa kantukku.

"Kak Hamza sejak kapan di situ?"

Adikku, Elin Viskani menginterupsi proses menuju tidur itu, dan aku tidak jadi mengantuk karena terkejut.

"Barusan."

"Cepat mandi terus ganti baju!"

"Aku dah mandi di sekolah. Nanti aja ganti bajunya."

"Ha? Tumben banget!"

Mungkin karena jawabanku tidak sesuai ekspetasinya, ia lantas ikut duduk di sampingku. Aku menengok dan mendapatinya cuma mengenakan kaos dan celana pendek. Tapi, dari wajahnya dapat kusimpulkan kalau ia penasaran akan sesuatu.

"Oh ya aku belum cerita sama kamu. Aku diterima klub Voli lho. Hebat 'kan?"

"Wah selamat Kak. Tapi kok kelihatannya letih banget tu. Pasti kehidupan di klub olahraga sekolah elit keras, ya?"

"Nggak keras-keras juga. Tapi dibanding pas SMP, jelas lebih berat latihannya. Terutama stamina, bagi orang baru kayak aku, memang perlu adaptasi."

"Semoga sukses kak, biar menang selalu di kompetisi dan dapat emas bulan Desember nanti."

Elin tersenyum, manis sekali. Dia pasti bangga sama kakaknya ini.

"Kamu lebih mendukung kakakmu ini daripada sekolahmu sendiri, memang terbaik lah Elin."

"Kakak!"

Aku mengelus kepala Elin. Satu, dua, tiga belaian lalu dengan sengaja kuacak-acak rambut panjangnya sampai ia kesal. Lucu sekali.

"Ya, nggak mendukung juga. Paling kakak cuma numpang nama aja. Dari dulu National kan selalu juara voli."

Kali ini aku yang dibuat kesal sekaligus sedih, mendengarnya. Tapi aku suka sifat jujurmu itu, Elin.

Saat kelas satu SMP, Ibuku meninggal. Lalu Ayahku menikah lagi dengan Ibunya Elin. Hal itulah yang mempertemukan kami sebagai saudara. Waktu itu, Elin masih kelas enam SD. Elin sangat cerdas sehingga ia bisa tamat SMP dalam waktu hanya dua tahun.

Aku dan Elin tidak pernah satu sekolah. Bahkan saat pemilihan sekolah menengah atas. Elin ingin belajar di bidangnya, oleh karena itu ia memilih jurusan Computer Engineering and Artificial Intelligence (CEAI). Hanya ada dua sekolah besar yang menggabungkan sistem SMK dan SMA di kota Kuala Baru yang punya jurusan itu. Yakni International School of Pekan Serayu (ISPS) dan Sentani. Ia memilih Sentani karena biaya, dan orang tua kami setuju.

Sedangkan orang tua kami sendiri bekerja di luar negeri. Ayah pindah tugas ke Filipina sejak bulan Januari lalu.

"Oh ya, tadi Kak Fatma menelfon, katanya uang bulanan sudah ditransfer."

Kak Fatma Fatonah adalah kakak kandungku. Ia ikut Ayah dan Ibu ke Filipina dan kuliah di sana. Apakah artinya kami berdua ditinggal? Tidak, ini kemauan kami sendiri. Aku tetap ingin bersekolah di Kuala Baru, begitu pula dengan Elin.

"Syukurlah. Seminggu ini kita perlu berhemat lebih, malang betul. Eh, omong-omong, Sabtu besok katanya sekolahku mau bertanding bola sama sekolahmu. Mau nonton?"

"Mau."

Kalau sudah menghadap smartphone, semua orang jadi cuek begitu, jawab pertanyaan pun seadanya.

Aku bangkit menuju ruang makan dan mendapati meja kosong. Wah, baru ingat, hari ini kan giliranku yang memasak.

***

Selasa, 10 Februari 2032

10:08

Hari ini kami pergi ke kantin lebih buru-buru supaya tidak kehabisan meja seperti kemarin. Yohan dan Fauzan sangat bersemangat menyantap junk food yang tidak bergizi.

"Hamza, silakan makan ini juga kalau mau."

Melihatku cuma beli sedikit jajanan namun bergizi, Yohan menyodorkan kripik kentang yang ada gambar pemain bola di bungkus plastiknya.

"Terima kasih, teman terbaik la, Yohan."

Tapi, yang mengambilnya justru Fauzan. Padahal dia juga sama hedonnya.

"Enak betul!"

Aku tidak terima makanan yang sudah diserahkan padaku direbut begitu saja. Maka kurebut kembali.

Saat itulah aku melihat kak Elice bersama seorang temannya. Mereka seperti kesulitan mencari meja yang masih kosong.

"Itu, Kak Elice 'kan?"

Ternyata Yohan juga menyadari keberadaannya.

"Ah iya, Kak Elice dari klub Voli. Gimana Hamza, kemarin pasti kamu lihat performanya. Pasti garang mengatur-atur yang lain ya."

Iya, benar apa yang kau katakan, Fauzan. Sepertinya kau bisa meramal sifat orang lain hanya dengan melihat mukanya.

"Daripada dia pergi, mending kau invite ke sini, Hamza. Cepat, cepat! Nggak sempat lagi nanti pergi dia!"

Maksudnya, Yohan ingin aku mengenalkan Kak Elice sama mereka. Cukup mudah menyadarinya maksud tersembunyinya, karena aku peka. Mungkin.

"Baiklah."

Aku memutuskan untuk menyamperinya sendiri, ketimbang berteriak nanti dikira sok akrab dan tidak sopan. Ketika sudah setengah jalan, Kak Elice dan temannya terlihat hendak kembali ke kelasnya. Untungnya aku cukup cepat mencegahnya.

"Tunggu Kak!"

"Hamza?"

Dia ingat namaku. Sebuah hal yang baik.

Tetapi aku merasakan pandangan-pandangan dari orang yang bahkan tidak kukenal. Sebuah hal yang buruk. Tahan, Hamza, ini tidak lebih buruk daripada ketahuan mencuri.

Omong-omong, gadis di sampingnya ini juga tidak kukenal. Tapi, cukup familiar bagi ingatanku. Tingginya pun sama denganku. Pasti dari klub Voli juga.

"Kak Elice mau nggak duduk sama aku dan teman-teman, di sana. Ah ...."

"Kelly."

Jadi gadis di samping kak Elice ini namanya Kelly. Mengingatkanku akan atlet sprinter perempuan yang ikut militer.

"Gimana Kak Elice, Kak Kelly?"

Kumohon jangan ditolak. Aku bakal malu betul kalau sampai kalian menolak ajakan baikku ini.

"Gimana ya, Elice?"

Mereka saling pandang sesaat sebelum Kak Elice menjawab dengan senyum yang bisa melunturkan cat di tembok.

"Lain kali aja, Hamza. Kami mau di kelas aja makannya."

"Tapi beneran nggak papa kalau mau gabung kami lho."

"Maaf, lain kali aja ya."

Kak Kelly segera menarik lengan Kak Elice sambil menjawab. Sialan, aku tidak punya muka lagi kalau bertemu mereka di masa mendatang.

"Ya sudah. Maaf mengganggu ya, Kak."

"Bye Hamza."

Aku menanggung malu yang luar biasa. Bahkan tatapan orang-orang nggak ada apa-apanya dibanding rasa malu karena penolakan ini.

Mari ambil hikmahnya saja, setidaknya aku mendapatkan lambaian dan senyuman dari Kak Elice.

Setelah kembali ke kursi, Fauzan langsung mengelus punggungku. Sedangkan Yohan ...

"Maaf Hamza, padahal aku cuma bercanda perihal suruh kamu invite dia."

Kurang ajar betul!

Belum sempat aku berkata, seorang gadis datang menghampiri kami. Dengan sembrononya ia lekas duduk di samping Yohan, menghadap kami.

"Hee, kan sudah kubilang, kalau Hamza nggak ada kesempatan buat mendekati Kak Elice. Sekarang percaya 'kan? Dia tu populer la, semacam idol gitu."

"Ngapain pula Dina ke sini? Diusir rombonganmu?"

"Enggak gitu! Apa ya, aku cuma mau merayakan ketidakberhasilan Hamza."

"Sialan kamu, Dina! Asal kamu tahu, tadi itu aku nggak ditolak. Kata Kak Elice lain kali aja, gitu."

"Hamza nggak tahu ya, kalau cewek bilang lain kali, artinya lain kali waktu kiamat tiba alias nggak akan pernah."

Kata-kata Fauzan sama sekali tidak bisa dibuktikan.

"Betul kata Ali Eh, enggak juga sih. Ya, kadang betul kadang tidak. Tergantung konteks kalimat."

Wah, Dina baru saja mengonfirmasi kalau perempuan itu ambigu.

"Berarti ada kemungkinan kalau ajakan Hamza nggak ditolak, tapi ditunda."

Yohan berkomentar seperti itu pasti karena masih berharap dapat berkenalan sama Kak Elice. Dasar mata keranjang.

"Nggak, nggak, pasti ditolak kalau Hamza. Kak Elice mana mungkin mau sama adik kelas, yang lebih pendek darinya pula."

Kenapa sih Dina sampai segitu mempertahankan opininya? Dan lebih baik kalian berhenti membicarakan kata 'ditolak' karena semakin lama kesannya semakin lain dari yang seharusnya.

Sebelum bel masuk berbunyi, kami sudah kembali ke kelas 1-E. Entah kenapa Dina jadi ikut rombongan kami. Sebelum pelajaran dimulai, sudah menjadi tradisi turun-temurun untuk saling bersosialisasi. Bahasa gampangnya, ngobrol.

Titik-titik air menabrak kaca jendela dengan kencang. Setiap percikan rasanya ingin kutangkap bersamaan dengan angin yang mengiringinya.

Tidak mengagetkan karena memang ini masih musim hujan. Apalagi besok tahun baru imlek. Hujan seolah menyambut kedatangannya.

Kabar buruknya adalah kehadiran halilintar yang sangat mengganggu indera pendengaran. Padahal ruangan ini sudah terlindungi peredam suara. Dilihat dari jendela, pohon-pohon terhempas ke kanan dan kiri oleh badai. Kenapa cuacanya jadi begitu buruk? Perasaan, kemarin-kemarin tidak seburuk ini.

Temperatur turun drastis. Di depan kelas terpampang termometer digital yang menunjukkan angka 18,9℃. Padahal tadi pagi mencapai 27℃.

Guru yang mengajar masuk. Level kedisiplinan NHKB memang patut diacungi jempol. Sebagai pembanding, di SMP dulu, kalau sedang hujan deras begini seringnya jam kosong. Baru sadar ternyata ini pelajaran sejarah. Sudah dipastikan akan tambah mengantuk.

Hujan baru reda sekitar jam tiga sore, atau waktu aktivitas klub ekskul dimulai. Namun, hujan kembali datang satu jam kemudian. Intensitasnya tidak sederas tadi siang.

Sampai matahari terbenam pun hujan masih turun. Jika kota ini ada di pulau Jawa, kuyakin sudah kebanjiran.

Jam menunjukkan pukul 18:15. Aku masih terjebak di lobi bersama puluhan murid lainnya. Sebagian besar murid sudah pulang, termasuk semua teman klub Voli. Yang ada di ruangan ini kebanyakan siswa kelas tiga, dilihat dari angka romawi di lengan baju mereka.

Sebenarnya aku bisa saja pulang kalau mau. Aku membawa mantel, kuyakin banyak dari mereka pun sama. Tapi hawa dingin yang menusuk inilah yang menjadi masalahnya.

Aku sedang duduk di salah satu bangku lobi. Setelah beberapa kali celingukan, aku baru menyadari kalau Dina juga terjebak di sini. Bahkan, ia tengah duduk di bangku sebelah sambil memainkan smartphone. Ia memakai syal biru. Apakah ia sudah tahu sebelumnya kalau temperatur akan menjadi dingin begini? Aku sendiri hanya memakai pakaian rangkap demi menghatkan tubuh, yakni baju voli yang penuh keringat itu, aku pakai lagi didalam seragam setelah mandi.

"Selamat sore, Hamza. Kebetulan ya."

Kenapa baru sekarang menyapanya? Padahal kau pasti sudah tahu aku di sini sejak tadi kan? Yah, belum lama sih, baru sekitar lima menit. Sebelumnya, waktu teman-teman voli belum pulang, aku bersama mereka masih di gedung olahraga I.

"Oh ya, ini buat sedikit menghangatkan tubuh."

Dia menawariku minuman bersoda yang dibeli dari mesin minuman otomatis. Tutupnya sudah terbuka dan isinya sudah berkurang setengah. Karena gratis dan situasinya sedang butuh cairan, dengan senang hati aku menerimanya.

"Terima kasih. Klub Badminton memang selalu telat pulangnya?"

"Dah selesai dari tadi, semua kegiatan klub kan harus rampung maksimal jam lima. Tapi masalahnya karena hujan."

"Iya, iya, paham. Dina pulang naik sepeda juga?"

"Biasanya naik kereta kota di stasiun Baharu. Tapi aku nggak mau kehujanan pas jalan ke stasiun. Jadi, mending nunggu bus sama yang lain, entah jam berapa datangnya. Katanya kalau sudah datang sekolah mau mengumumkan."

"Tapi, kenapa belum datang ya, dah jam enam lebih nih."

"Mungkin gangguan teknis. Hamza sendiri, ngapain belum pulang? Bukannya bawa sepeda?"

"Nunggu reda. Dingin betul, Dina!"

"Kalau enggak kunjung reda, mau menginap di sekolah?"

Jangan tersenyum gitu sambil menanyakan pertanyaan aneh!

"Seandainya kantin buka 24 Jam, dan lampu nggak dimatikan pas malam, aku mau aja."

"Haha, Hamza lucu banget sih."

Kenapa kau malah tertawa? Apakah jawabanku lucu? Kupikir tidak ada lucu-lucunya. Malah, aksen Jakarta milikmu jadi kelihatan.

"Ah, by the way, Hamza, besok kan libur. Mau main nggak?"

"Maksudnya?"

"Mau main enggak? Jalan-jalan sama aku."

"Besok kan imlek. Memangnya mau lihat barongsai?"

"Enggak. Bukan ke situ. Tapi ke Epi-High."

Epi-High? Barusan dia berkata Epi-High? Aku bisa merasakan kalau wajahku mulai memerah. Sialan. Memalukan.

Epi-High adalah pusat perbelanjaan di Distrik Baharu. Memang labelnya tempat perbelanjaan, tapi sebenarnya itu adalah tempat untuk para pasangan berkencan. Mulai dari wahana permainan sampai produk yang dijual, isinya seolah ditargetkan untuk sepasang kekasih. Meskipun tidak selalu, sih.

Aku tidak bisa menyimpulkan apakah gadis ini baru saja mengajakku kencan atau tidak. Perempuan itu ambigu.

"Dina, serius?"

Rambutnya bergoyang terkena angin. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ada kata yang menyelip di situ. Matanya berbinar tapi memancarkan aura lemah, layaknya seorang putri kecil yang sedang memohon.

Gadis itu mengangguk dan mengeluarkan suara lembut yang teramat lirih, "Umm."

"Maaf, aku nggak bisa kayaknya. Besok ada ...."

Jelas aku menolaknya. Aku punya beberapa alasan kuat untuk menolak. Pertama, kami bukan pasangan. Kedua, kami tidak betul-betul dekat, keakraban kami kupikir wajar untuk teman sekelas. Ketiga, kami bahkan belum lama kenal, baru sekitar tiga minggu.

Jika bukan di Epi-High, mungkin aku bersedia.

Tapi, kenapa aku harus mencari-cari alasan. Bodoh, dasar mulut bodoh! Jika tidak bisa mengatakan hal-hal di atas terus terang, cukup katakan tidak!

"Nggak papa. Kalau Hamza nggak bisa nggak masalah kok. Maaf ya, tiba-tiba ...."

Hari ini, percakapan kami berakhir sampai di situ. Situasinya berubah menjadi canggung. Baik aku, maupun Dina seolah kehabisan kata-kata.

Pada akhirnya, Dina pergi lebih dahulu setelah bus tiba. Sedangkan aku mencari pengganjal perut sebelum memutuskan pulang dalam kedinginan.

***