Chereads / My Time in Highschool : As a First Year Student / Chapter 3 - Chapter 3 : Meminta Bantuan

Chapter 3 - Chapter 3 : Meminta Bantuan

Kamis, 12 Februari 2032

"Hamza, coba sini, latihan spike! Tomo jadi pengumpan, Hassan siap menerima di belakang, Roli sama Mahmud siap blok!"

Mr. Leon mengatur posisi kami secara bergantian. Padahal belum puas aku melepas penat sehabis berlatih jump serve tadi.

"Eh, kenapa aku yang jadi setter? Bang Roli aja yang dah pro supaya Hamza juga nggak kesulitan."

Tomo Lim, pemikiranmu itu keliru. Lihat saja pasti sebentar lagi akan diceramahi. Atau jangan-jangan kau gugup karena di tribun sana ada segerombolan cewek yang nonton? Tenang saja, sebagian besar perhatian mereka hanya untuk Bang Roli, lelaki tertampan di sini. Sebagaiannya lagi milikku, karena aku ... apa ya, apa yang bisa kubanggakan? Lelaki tertampan kedua? Iya, pasti itu.

"Kamu pikir ini cuma buat melatih Hamza? Ini untuk melatih kamu-kamu semua! Tomo, kamu ni yang paling pantas jadi setter penerus. Nggak boleh mengandalkan Roli terus. Mahmud juga bagus jadi setter, tapi nggak sebagus kamu. Oke!"

"Betul tu, Tomo!"

"We Leave it to you, Tomo!"

Bang Roli dan Bang Mahmud ikut menyemangati Tomo.

"Oke, Tomo. Biar kuhajar muka bang Hassan di sana. Hehe."

"Woi, Hamza. Nantang kamu ya! Sini kalau boleh lewatin blok pun dah beruntung kamu."

Alamak, orangnya dengar. Maaf, Bang, tidak usah serius begitu.

"Sorry, tapi lewatin blok mereka gampang aja lah. Tomo, umpan yang benar ya!"

"Affirmative!"

Ok, mari kita buktikan, Tomo. Lakukan tugasmu dengan benar dan akan kukasih mereka hantaman mematikan.

"Semangat Hamza, Kak Roli, Mahmud! Semangat Elice!"

Barusan aku dengar penonton cewek berteriak dan namaku disebut paling awal. Apakah artinya aku lebih populer dibandingkan Bang Roli? Oke, berhenti melantur dan fokus, otak sialan.

Bagus, umpan yang bagus, Tomo. Sekarang, rasakan seranganku!

Touch in!

Aku berhasil membungkam Bang Hassan dalam percobaan pertama. Ya, aku senang dan bangga.

Tetapi, setelah sepuluh kali percobaan, seranganku selalu gagal. Mulai dari kecerobohanku menyentuh net, sampai yang paling sering dapat diblok oleh Bang Roli dan Bang Mahmud.

"Selanjutnya, masih kayak tadi tapi tanpa blok. Roli, Mahmud, latihan sama yang lain sana. Ayo, semangat, semangat!"

Oke, karena tanpa blok aku sangat semangat, Mr. Leon. Hasilnya, 15 kali hantaman dan hanya lima kali gagal. Itu mengakhiri latihan hari ini.

Sebelum mandi, aku, Tomo, dan anggota klub voli cewek membereskan lapangan. Cewek bagian bersih-bersih, sedangkan aku membereskan net.

Tanpa kuduga sebelumnya, Kak Elice tepat membelakangiku dengan berkacak pinggang. Sepertinya ia dari tadi tengah memandori anggota klub. Mungkin itu salah satu pekerjaan manajer klub.

Namun, tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya padaku dan mulai mendekat. Aku sedikit gugup karenanya. Ah, lagi-lagi begini. Aku jadi teringat kemarin lusa waktu dia menolak ajakanku.

"Kak Elice, ada apa ya?"

"Aku butuh bantuanmu. Nanti jangan pulang dulu ya. Panggil Tomo juga."

"Siap. Elice lagi butuh bantuah kah? Tenang, Tomo Lim di sini."

"Bagus, siap ya kalian nanti."

Sigap juga si Tomo. Kak Elice datang, dia pun langsung kemari. Bak anjing yang dipanggil tuannya.

"Ada apa sih, Kak?"

Aku bertanya lagi tidak sabaran. Kenapa harus nanti mengatakannya kalau bisa sekarang, biar sekaligus.

"Nanti aja, kalau yang lain dah pulang. Nanti aku tunggu di lobi selepas mandi."

Sebenarnya bantuan macam apa yang diperlukan orang hebat seperti dia? Saat mandi pun pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Tetapi, ada hal lain juga yang tiba-tiba muncul begitu saja di dalam benakku.

"Tomo, kamu sama Kak Elice lebih tinggi siapa?"

Aku mendengar jawaban dari bilik sebelah, tapi tidak jelas. Jadi, kuulang lagi pertanyaan itu secara lebih keras.

"Tinggi Elice. Aku 176, dia 176,78. Kenapa tanya-tanya? Kau mau tinggi seperti kami? Makanya minum susu berprotein tinggi."

"Nggak usah sombong paling kita selisih 6 senti. Tahun depan aku bakalan nyusul, malah lebih tinggi. Terus, dua angka di belakang koma itu ngarang dari mana?"

"Dari Kuala Lumpur."

"Eh, omong-omong, kamu kan kelas satu, manggil dia cuma Elice?"

Orang agak pandai sepertiku tidak mungkin salah mengingat bahwa Tomo adalah murid kelas 1-G. Namun, memanggil kakak kelas, terlebih perempuan, tanpa panggilan 'Kakak' adalah tabu di sini. Kecuali jika mereka punya hubungan dekat, cukup dekat, atau sangat dekat. Nah, sedekat apakah mereka?

"Aku sama Elice kan sebaya. Dulu pas SD kami sempat bareng, tapi karena aku nggak naik kelas pas kelas tiga, dia jadi kakak kelas. Kami sama-sama kecil di Surabaya."

"Tomo pernah nggak naik kelas?"

"Kenapa memangnya? Heh, aku nggak akan malu cuma karena diejek nggak naik kelas ya. Dah kebal."

Seseorang bisa kebal terhadap suatu ejekan verbal karena mereka telah terbiasa diejek. Dengan kata lain sering diejek. Serius, kebanyakan kasusnya begitu. Semoga gak sampai ke ranah pembullyan akut. Tapi tidak penting juga, kasusnya sudah lewat.

"Nggak gitu, Tomo. Anu, kalau dari SD dah kenal, berarti kalian teman ya?"

"Sepupu jauh."

"Wah, pasti punya nomornya ya?"

"Hamza kenapa dari tadi tanya-tanya soal Elice terus? Naksir? Walau punya pun nggak akan kukasih tahu. Kalau mau minta kontak langsung ke orangnya lah! Begitu cara yang sopan."

"Enak betul asal menyimpulkan begitu. Sekadar penasaran aja lah."

"Nanti tak kasih tahu Elice kalau Hamza kepo-kepo terus."

"Awas kalau sampai kamu kasih tahu! Tiada ampun!"

"Asli serem kon cuk. Hahaha."

"Ngomong apa sih? Nggak paham aku."

"Hahaha."

Lalu kami melanjutkan mandi tanpa obrolan apapun demi menghemat suara dan waktu.

***

Hujan seolah belum bosan mengguyur kota Kuala Baru setiap hari. Meskipun dapat dibilang kalau hari ini lebih baik daripada kemarin-kemarin. Tidak ada badai, petir, maupun kabut tebal.

Di kantin yang sepi ini, hanya tersisa belasan orang. Aku, Tomo, serta dua kakak kelas yang cantik juga termasuk di antara orang-orang itu.

Ya, kami berempat duduk semeja. Jika Yohan melihatku duduk berhadapan sama kak Elice, tentu dia akan iri bukan main. Terlebih aku ditraktir makan malam.

Terima kasih banyak, Kak, sampai kenyang begini aku. Jadi kasihan sama Elin kalau ternyata di rumah dia sudah repot-repot masak.

Akan tetapi, setiap kenikmatan terkadang ada harganya tersendiri, kalau itu gratis, biayanya adalah sesuatu yang lain. Dalam kasus ini, harganya adalah tugas yang dia berikan kepada aku dan Tomo. Apalagi, ini adalah tugas yang seharusnya diluar ranah kepentinganku.

"Kenapa harus kami? Kalau manajer kenapa nggak Elice sama Kelly aja yang cari sendiri."

"Heh, nggak sopan betul."

Tomo, kau tadi menasehatiku cara mendapatkan nomor seseorang dengan benar dan sopan, tapi kau sendiri memanggil kakak kelas begitu, mentang-mentang usiamu sepantar. Kan, diprotes sama Kak Kelly.

"Soalnya cewek-cewek juga dah cari, tapi masih nihil hasilnya. Aku minta bantuan Tomo karena nggak tahu siapa lagi. Kebetulan Hamza juga bareng Tomo, jadi aku minta bantuan sekalian. Maaf ya Hamza, jadi merepotkan."

Tidak merepotkan, Kak, selama aku masih ada kesempatan buat menolak. Tunggu, kalau dipikir-pikir lagi memang enggak sopan kalau menolak permintaannya setelah ditraktir. Tadi kan dia sudah bilang terlebih dahulu bahwa dia butuh bantuan.

"Hamza? Malah merenung."

"Ah, nggak apa-apa, Kak. Aku siap bantu kok."

Sialan, karena ditegur pas lagi ngalamun, aku jadi gugup lagi.

"Eh, Hamza nerima gitu aja? Ya sudah, Hamza aja yang cari."

"Tomo!"

Menyeramkan. Ini pertama kalinya kulihat Kak Elice mengeluarkan aura membunuh. Mata beningnya seakan menusuk lawan bicaranya, sampai-sampai si Tomo tidak mau menatapnya.

"Iya, iya, aku bantu juga."

"Oh ya, Kak. Kalau sekarang Kak Elice jadi manajer sementara, berarti dulu pernah ada manajer lain 'kan? Terus seka-"

"Dulu ada dua manajer buat masing-masing tim cewek dan cowok. Entah kenapa pada mundur."

Ya elah, Kak Kelly, bilang orang lain tidak sopan tapi sendirinya memotong pertanyaanku. Dasar kakak kelas dingin, jutek, dan tidak sopan!

"Kalian carinya siapa aja boleh, yang penting mau. Nggak perlu menilai macam-macam seperti mau menyeleksi."

"Kenapa nggak buat pengumuman aja?"

Usul yang bagus, Tomo. Sayang, mereka meminta bantuan kita karena cara itu nggak berhasil, bukan?

"Silakan kalau Tomo mau. Hamza, ada ide?"

"Aku ada teman-teman yang boleh diandalkan. Serahkan saja sama aku, Kak."

Dina, Fauzan, Yohan. Maaf karena akan merepotkan kalian terkait masalah internal klub voliku. Seandainya ada suatu klub eksul yang tujuannya memberikan bantuan macam di manga, pasti aku akan memilih ke sana daripada merepotkan kalian.

"Oke kalau begitu. Terima kasih, Hamza. Kami pulang dulu, ya."

"Aku yang terima kasih, atas makanannya. Sampai jumpa besok, Kak!"

Kedua orang itu mulai berdiri dan melangkah. Setiap jarak yang ditempuh, tumbuh perasaan tidak rela di dalam benakku. Tapi, kenapa?

"Hamza, mumpung masih sempat, dia belum jauh tu."

"Ha?"

"Pakai lupa pula, atau pura-pura lupa? Aku mau ke toilet. Bye-bye bro."

Tomo ikut bangkit dan pergi berlawanan dengan arah kakak kelas tadi beranjak, meninggalkanku sendirian di meja bundar ini.

Dalam dua detik, aku baru sadar. Tadi adalah kesempatan untuk mendapatkan nomor kontak Kak Elice. Dan sekarang, belum terlambat!

Aku mengejar Kak Elice yang masih terlihat di pintu masuk kantin. Sambil berusaha memblokir syaraf kegugupan yang berontak dalam tubuh, aku berkata,

"Kak, boleh minta nomor telepon Kakak?"

Kak Elice dan temannya menoleh. Mendapati diriku yang berdiri canggung, ia terlihat terkejut. Sesaat kemudian, ia mengambil smartphone miliknya dari dalam tas, membuka kunci layar dan daftar kontak, lalu menyerahkannya padaku.

Tepat pada saat aku menerima smartphone tipisnya, tangan kami tidak sengaja bersentuhan. Merasakan sensasi lembut kulit saljunya membuatku sedikit senang.

"Aku duluan, Elice."

Dengan tak acuh, temannya Kak Elice itu melangkah keluar. Bagus, pergi sana! Alamak, aku jadi tidak sopan saking senangnya menyalin nomor Kakak kelas idaman ini.

"Sekalian tulis nomormu di situ, ya."

Dengan senang hati!

"Oke. Nih, dah selesai. Makasih, Kak."

"Okay. Duh, Kelly malah pergi duluan."

Secara alami, kami jadi jalan bareng berdua ke parkiran. Tetapi, bisa gawat kalau kami cuma diam, suasananya dapat menjadi canggung.

Hujan sudah berhenti total. Sembari berjalan, Kak Elice masih memainkan smartphone. Aku bisa melihat ia tengah membalas pesan di aplikasi messenger. Sekilas kulihat jam digital di layar kanan atas menunjukkan pukul 17:37. Biasanya, jam segini aku sudah rebahan di rumah.

Tampaknya dia sadar akan apa yang kupandang, sehingga ia sedikit memiringkan smartphone miliknya. Aku pun memalingkan pandangan.

"Kak Elice pulang naik apa?"

"Naik bus."

"Aku mau mengambil sepeda, Kak. Kakak mau ditemani sambil nunggu bus?"

"Nggak usah, aku nggak sendirian kok. Anak-anak lain banyak yang nunggu juga."

"Masa? Kan dah jam segini."

"Iya, beneran. Hamza pulang dulu aja."

"Sampai jumpa, Kak."

Lucunya ini adalah sampai jumpa yang kedua kali kuucapkan untuknya hari ini. Kali ini dijawab dengan anggukan. Lalu kami berpisah.

Di parkiran sepeda, tinggal punyaku yang tersisa. Secepatnya aku mengayuhnya melewati jalanan basah nan licin. Namun, aku berhenti tepat sebelum menyebrang. Bukan karena padatnya lalu lintas di depan gerbang NHKB. Melainkan karena seorang gadis yang tengah duduk sendiri di halte bus. Dalam jarak 50 meter, pemandangan masih jelas dan aku yakin bahwa gadis itu, tidak lain ialah Kak Elice. Elice Delisa Roeminto, anggota klub voli putri NHKB.

Sempat tergerak hatiku untuk menyamperinya. Tetapi kesadaranku langsung mencegahnya karena suatu alasan. Aku bukanlah bang taksi online yang sedang ia pesan, atau supir bus yang sedang ditunggunya, bukan pula orang tuanya yang mungkin masih dalam perjalanan untuk menjemput.

Elice Delisa Roeminto, kenapa dia berbohong? Apakah aku sebegitu mengganggunya? Mungkin benar kata Dina, aku tidak ada kesempatan. Tidak untuk orang sepertiku.

Ia hanya meminta bantuan. Sesimpel itu. Tidak ada ekspetasi apapun selain itu. Meskipun aku sadar betul akan hal ini, aku malah membiarkanku terperangkap dalam khayalan kekagumanku terhadapnya.

Saat ini ia tengah melihatku diam, tanpa sepatah kata atau sedikit gerakan pun, kecuali rambut panjangnya yang terayun-ayun. Ia masih duduk manis di bangku halte yang keras itu.

Lalu lintas sedang sepi. Tidak perlu menunggu lampu merah untuk menyebrang. Sebagai ancang-ancang, aku menghirup udara sedalam-dalamnya, lalu mengeluarkannya lewat mulut selagi mulai mengayuh pedal.

***