Chereads / GADIS 100 MILIAR / Chapter 13 - PENAWAR RASA TAKUT

Chapter 13 - PENAWAR RASA TAKUT

Sepertinya Zizi terlalu banyak melakukan dosa di masa lalu karena doanya tidak terkabul. Pria itu tidak mengurangi intensitas sentuhannya. Punggung tangannya kadang diusapkan ke sepanjang lengan Zizi yang terbuka. Ketika pria itu datang untuk mengecek pekerjaannya memotong sayuran atau memberinya pekerjaan yang lain, sebenarnya dia hanya ingin merangkul pinggangnya, mencium lehernya, menaruh kepalanya di pundaknya lalu menciumnya, atau mengecup pinggiran bibirnya. Yang paling parah adalah yang baru saja dia lakukan.

"Coba cicipi." Pria itu menyodorkan sendok yang berisi saus dressing saladnya.

Zizi mencobanya kemudian memberitahu, "enak."

Tangan kiri pria itu tiba-tiba meraih tengkuknya, mengangkat kepalanya, lalu lidahnya menjilati bibir mungilnya.

"Iya, enak," katanya sambil berbalik melanjutkan pekerjaannya tanpa sedikitpun merasa berdosa telah membuat gadis di sampingnya berdiri gemetaran dan mungkin sebentar lagi jatuh pingsan karena mengalami serangan jantung.

Setelah hampir satu jam atau mungkin lebih, akhirnya selesai juga kelas memasaknya. Pria itu sudah membersihkan separuh meja konter. Dia sekarang berdiri di depan Zizi dengan tatapan mata hijaunya yang menyapu wajahnya. Zizi tidak tahu apa yang akan dilakukan chef mesum ini pada muridnya. Ketika kedua tangannya memegang pinggangnya, Zizi menyuarakan isi hatinya dengan suara gemetaran.

"Apa yang mau kamu lakukan?"

"Aku mau plating makan malamku," jawabnya lalu mengangkat tubuh Zizi dan mendudukkannya di atas meja yang sudah dibersihkannya.

Sepiring roti, sepiring salad, sepiring kentang goreng dan steak, dan satu mangkuk kecil saus tomat berjejer rapi di samping Zizi.

"Kamu mau aku buatkan minuman?" Tanya pria itu yang berdiri di depannya dengan satu tangan bertengger di pinggangnya.

"Boleh," jawab Zizi. Selama di sini dia hanya minum air putih.

"Dingin?" Tanyanya lagi.

Zizi mengangguk sambil menjawab, "iya."

"Manis?"

Tubuh Zizi menegang. Tawa pria itu meledak.

"Sekarang, katakan siapa yang punya pikiran mesum?" Tanyanya sambil mendorong kepalanya ke depan.

Zizi hanya bisa mundur sedikit karena tertahan tangan pria itu di pingangnya. Ujung hidung pria itu telah menyentuh ujung hidungnya.

"Mau yang manis?" Tanyanya lagi.

Zizi tidak menjawab. Dia tidak mau terjebak dalam permainan kata-katanya.

"Minumannya," katanya lagi.

Zizi mengangguk menghindari membuka bibir karena ketika dia mengucapkan kata, hembusan napasnya akan menyentuh bibir pria itu tapi sekarang malah hidungnya menggesek hidung pria itu. Zizi menghela napas.

"Oke," kata pria itu tiba-tiba. Dia lalu menyenggol hidung Zizi dengan ujung hidungnya ke kanan dan ke kiri kemudian melepaskannya.

***

Andres menekan sebuah tombol di dinding. Tirai di sampingnya terbuka.

"No está encendido [Lampunya belum dinyalakan]," gumamnya setelah melihat pemandangan di balik kaca gelap.

Tempat itu belum pernah digunakannya di malam hari. Ketika mengecek keadaan rumah barunya dua bulan yang lalu di waktu malam, lampunya sudah dalam kondisi dinyalakan. Dia baru tahu kalau tidak ada penerangan di sekitarnya. Besok pagi dia akan menyuruh Mustar untuk menghubungi teknisi listrik. Seandainya dia mengetahui ini sebelum menjemput gadis itu, dia akan menyuruhnya menyalakan lampunya. Sekarang sudah terlambat. Dia menimbang untuk mengurung niatnya makan malam di luar ruangan.

"Kita akan makan malam di sana?" Tanya gadis itu dengan wajah senang. Dia telah berdiri di depan dinding kaca jendela.

Andres tidak langsung menjawab. Jika dia mengiyakan, dia harus ke luar dan menyalakan lampu. Tidak. Dia tidak berani melakukan itu.

"Kamu takut gelap?" Tanya Andres pada gadis itu.

Gadis itu menggeleng dan langsung menjawab, "tidak. Mengapa kamu bertanya begitu?"

"Hanya bertanya," desahnya. Dia merasa kecewa karena gadis itu lebih berani darinya.

"Oh. Kamu sendiri?" Tanya gadis itu balik dan membuat perasaannya semakin buruk.

Andres tidak bisa berbohong padanya. Dia mengalihkan pembicaraan, "kita makan di sini saja."

"Mengapa?" Gadis itu terkejut dan setengah berlari ke arahnya. "Oh, ayolah." Kedua tangannya menarik tangan Andres.

"Kamu mau aku menyalakan lampunya?" Tanya gadis itu kemudian.

Andres langsung menggeleng. Tidak. Dia tidak bisa membiarkan gadis itu berjalan sendirian di tempat gelap.

"Kita lakukan bersama," jawabnya.

Andres menekan tombol lain. Dua pintu kaca bergeser ke samping memperlihatkan siluet benda-benda di depannya. Dia menggenggam tangan gadis itu dan membawanya ke kabinet. Dia ingat pernah menyimpan senter di salah satu laci untuk berjaga-jaga apabila ada masalah dengan energy storage system di rumahnya ketika terjadi pemadaman listrik.

"Apa yang sedang kamu cari?" Tanya gadis itu.

"Senter," jawabnya.

"Penerangannya dengan senter?" Tanyanya lagi.

"Tidak. Itu untuk menemukan saklar lampunya." Andres kembali membuka beberapa laci dengan tangan kirinya yang bebas.

"Hey," hentakan tangan gadis itu di tangan kanannya menghentikannya. "Mengapa tidak langsung keluar saja? Kukira kita masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tahu kira-kira dimana letak saklarnya?"

Andres berdiri tegak dan menjawab dengan enggan, "iya."

"Ayo!" Gadis itu balik menarik tangannya.

Kakinya berhenti tepat di belakang pintu. Está escuro [Ini gelap], katanya di dalam hati.

Gadis itu mundur mensejajarkan tubuhnya. Dia menatap Andres yang berdiri mematung dengan tarikan napas yang cepat. Dia merasakan perubahan genggaman tangannya yang menjadi dingin. Seandainya Andres melihat kesedihan di wajahnya sekarang, hatinya akan semakin terluka. Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahunya sambil membungkus tangan dingin Andres dengan satu tangannya yang lain. Dia tidak rela tangan yang biasanya menghantar kehangatan kini membeku kedinginan.

"Kita makan malam di dalam saja," kata gadis itu pelan.

"Kamu mau makan di luar." Andres mengingatkan. Dia mengutuki dirinya yang takut pada gelap.

"Tidak harus malam ini. Kita bisa makan di luar besok pagi atau besok malam. Lagipula di luar dingin. Kita masuk saja." Gadis itu memandangnya sejenak dengan air mata yang mulai menggenangi pelupuk matanya lalu berbalik dan mengajaknya masuk.

"Bella," ucapnya memanggil nama gadis itu yang terdengar Bea di telinganya.

Gadis itu berbalik. Andres membungkuk dan menciumnya. Gadis itu membalas ciumannya sambil melingkarkan kedua tangan di lehernya dan menjinjit ketika Andres mengangkat kepalanya. Mereka berciuman lebih panas dan lebih lama dari tadi pagi. Andres menyadari fakta ke enam bahwa ciuman gadis itu membuatnya hilang akal dan fakta ke tujuh bahwa momen meredam gairah setelah mereka berciuman sama sulitnya dengan menghentikan ciumannya. Hembusan napas cepat dan hangat gadis itu menekan bibirnya yang basah dan membangkitkan kembali gairahnya. Andres harus menahan diri untuk tidak menekan bibirnya lagi pada bibir gadis itu.

Hembusan napas gadis itu telah memelan. Andres menarik wajahnya dan mencium keningnya. Dia merasa jauh lebih baik sekarang. Rasa takutnya hilang. Dia menyadari fakta ke delapan bahwa gadis itu adalah obat penawarnya.

"Ayo kita cari saklarnya!" Katanya dengan sangat yakin.

Gadis itu tersenyum lega. Andres menggenggam tangannya dan membawanya menembus kegelapan.