Chereads / GADIS 100 MILIAR / Chapter 14 - PERKENALAN

Chapter 14 - PERKENALAN

Genggaman tangan pria itu menghangat. Zizi merasakan remasan di jemarinya sepanjang langkah kaki mereka menelusuri jalan setapak yang terlihat putih di bawah cahaya bintang dan pantulan samar dari sinar lampu di kejauhan. Baginya pemandangan ini terlihat indah. Zizi tidak habis pikir mengapa pria itu malah melihat sebaliknya. Zizi menggigit bibir agar tidak bersuara. Mulut sialannya harus dikunci rapat agar tidak menciptakan masalah. Kaki mereka menaiki undakan pertama dari gazebo. Pria itu mendekati tiang di samping kiri untuk mencari sesuatu. Dia kemudian berpindah ke tiang sebelah kanan. Terdengar bunyi klik dan mata Zizi disuguhkan cahaya kuning keemasan dari lampion yang bergantungan di atap dan lampu-lampu kecil yang menghubungkan satu tiang dengan tiang yang lain serta melilit tiang-tiang tersebut.

"Wow. Indah sekali," mulutnya bersuara.

Zizi merasakan sentuhan hangat di bahunya. Dua detik kemudian, dia tenggelam dalam pelukan pria itu. Zizi melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya dan bersandar nyaman di dadanya sambil mendengarkan detak jantung dan napasnya yang teratur lalu menghirup aroma parfumnya yang menenangkan. Rasanya dia bisa tertidur dalam posisi ini. Beberapa menit kemudian pelukannya dilepas dan mereka berpandangan. Kebahagiaan menyeruak di hatinya melihat pria itu tersenyum. Dia sempat khawatir dan merasakan pedih di hatinya ketika melihatnya ketakutan. Zizi menyesal telah memaksakan keinginannya. Rasanya dia ingin menangis ketika pria itu bersikeras melawan ketakutannya demi menuruti keinginannya.

"Ada apa?" Tanya pria itu.

Zizi menggeleng lalu memeluk pria itu lagi sambil mengerang, "aku lapar."

Tidak ada jawaban selama beberapa detik.

"Kamu mau makan masakannya atau chefnya?"

Zizi tertawa mendengarnya. Dia menarik diri dan bertanya, "dua-duanya boleh?"

Pria itu mengerang frustasi dalam bahasa Spanyol. Zizi tertawa keras-keras melihatnya terperosok ke dalam jebakannya sendiri.

Zizi membantunya memindahkan menu makan malam dari dapur ke meja makan di luar. Setelah itu, mereka duduk berhadapan.

Zizi mengingatkannya, "kamu belum memberitahuku nama-nama masakan ini."

Pria itu menyebutkan nama-namanya namun tidak ada satu katapun yang berhasil ditangkap. Dia mengingatkan dirinya untuk membawa buku catatan dan pen lain kali.

"Em," pria itu bergumam lalu menjelaskannya lagi. "Ini P, pipir rana. Pipirrana. Pipir rana. Pipirrana." Jarinya menunjuk pada sepiring salad.

Zizi mencoba mengulang kata itu, "pipirrana."

"Ya."

"Aku kira ini salad."

"Tidak juga. Tidak ada selada. Bahan utamanya tomat. Lalu ada paprika hijau, mentimun, bawang bombay, telur rebus, tuna, minyak zaitun, cuka, dan garam." Pria itu menjelaskan sambil mengaduk-aduk saladnya, maksudku pipirrananya.

Zizi menunjuk pada sepiring kentang goreng dan steak lalu bertanya, "yang ini?"

"Ini Sekre to ibe ri ko. Sekre to ibe riko. Sekreto iberiko."

"Sekre," Zizi hanya mengingat dua penggal kata di awal.

Pria itu melanjutkan, "to."

"Sekreto."

Zizi berhasil mengucapkan kata pertama.

"Ibe-" Lanjut pria itu.

Zizi mengulanginya, "ibe."

"Riko."

"Riko."

"Iberiko."

"Iberiko," ucap Zizi sambil menyunggingkan senyum lebarnya.

Pria itu menjelaskan lalu mengejanya, "tulisannya pakai C bukan K. S-E-C-R-E-T-O I-B-E-R-I-C-O."

Zizi melafalkan ejaan itu yang tertulis di kepalanya, "Secreto Iberico."

"Kamu cerdas."

Pujian pria itu melambungkan perasaannya.

Zizi mengakuinya dengan malu-malu, "semoga saja tidak lupa. Aku bahkan sudah lupa nama salad ini."

"Nanti juga akan ingat dengan sendirinya."

"Ya, kalau kamu sering-sering memasaknya."

"Itu salah satu makanan favoritku. Di sini cuacanya panas."

Zizi bertanya penasaran, "memangnya di sana dingin?"

Pria itu menggeleng, "yang pasti tidak panas sepanjang tahun. Ada empat musim. Musim semi yang terbaik. 25 derajat celcius. Cuaca tidak terlalu panas dan tidak sering turun hujan seperti di musim gugur. Aku suka bulan April. Kalau musim dingin udaranya sangat dingin. Bisa di bawah nol derajat. Di siang hari biasanya 10 derajat. Musim panas, terlalu panas. Bisa di atas 40 derajat. Penduduk kota biasanya mengungsi ke pantai. Bulan Juli dan Agustus itu yang terburuk, kalau kamu tidak pergi ke pantai."

"Bukannya di pantai malah lebih panas?"

"Tidak. Air laut di bagian barat daya Andalusia berasal dari samudera Atlantik. Airnya tetap dingin di musim panas."

"Kamu tinggal di Andalusia?"

"Iya," jawab pria itu lalu menyebutkan nama kota yang terdengar seperti judul lagu Sheila on 7.

"Apa? Sephia?" Kepala Zizi sedang memutar lagu legendaris itu.

"Sevi-" Pria itu mengangkat dua jarinya membentuk huruf V. "S-E-V-I-L-L-A. Seviya."

"Sevi- kamu tadi menyebut dua L." Zizi bingung karena tidak ada bunyi huruf L yang diucapkan pria itu.

Pria itu menjelaskan, "ya, kami mengucapkan dobel L seperti Y. Seviya."

"Seviya." Zizi mengulanginya sambil melihat tulisan SEVILLA di kepalanya.

"Nanti saja belajar bahasa Spanyolnya. Sekarang makan dulu. Tadi kamu bilang lapar."

"Kamu mau mengajariku bahasa Spanyol?" Zizi bertanya dengan mata berbinar.

"Ya."

"Apa syaratnya?" Tanya Zizi bahkan sebelum pria itu menyebutkan ada syarat yang harus dipenuhi.

"Hmm. Aku pikirkan nanti," jawabnya lalu mengambil beberapa irisan daging dan menaruhnya di atas piring Zizi.

Zizi malas beranjak dari kursinya setelah makan malamnya selesai. Seharian dia mendekam di kamarnya. Tidak ada buku, tidak ada handphone, tidak ada televisi, tidak ada radio, dan tidak ada teman mengobrol. Dia sudah bosan berbicara dengan pikirannya sendiri.

"Ada apa?"

Pertanyaan pria itu menyadarkannya.

Zizi balik bertanya, "bolehkan aku tinggal di sini lebih lama?"

"Kamu bosan di kamarmu?" Tanya pria itu.

Zizi memilih tidak menjawab. Dia menatap pria itu yang juga menatapnya, mencari tahu apa yang sedang dipikirkannya saat ini.

"Boleh," Jawab pria itu.

Zizi bertanya lagi dengan penuh harap, "kamu juga akan tinggal?"

"Iya," jawabnya dengan anggukan.

Zizi tersenyum senang. Dia beranjak dari kursi lalu berjalan ke ujung gazebo. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendongakkan kepala untuk menatap langit, melihat gemerlap bintang yang bertaburan di atas sana. Suara langkah pria itu mendekat. Dia merasakan kehadirannya di sampingnya. Zizi teringat sesuatu. Dia menoleh padanya yang sedang memandangi langit dengan kedua tangan bertengger di atas pagar kayu.

"Kita belum berkenalan," ucap Zizi.

Pria itu menoleh dengan wajah terkejut, "oh, ya?"

Zizi mengangguk. "Kamu belum pernah menyebutkan namamu."

"Malam itu?" Tanyanya.

Zizi menggeleng. "Tidak. Kamu hanya bilang wajahku lebih cantik daripada fotoku."

Zizi terkesan ingatannya masih merekam apa yang diucapkan pria itu.

Pria itu tersenyum. Dia mengelap kedua tangannya pada bagian depan kemejanya lalu memperbaiki posisi berdirinya di depan Zizi. Zizi bergeser sedikit agar bisa berdiri sejajar dengannya. Dia melihat tangan pria itu terulur. Tiba-tiba dadanya berdegup kencang.

"Andre-" Hanya nama depannya yang berhasil didengar. "Kamu bisa memanggilku Andres."

"Andres." Zizi mengulanginya.

Akhirnya dia tahu nama pria itu. Dia berusaha mengingat namanya dengan menyebutnya berkali-kali di dalam hati.

"Kamu tidak mau menjabat tanganku?" Andres mengingatkan.

Zizi tersenyum malu lalu menggenggam tangan Andres, "Zivana Bella Alexander. Kamu bisa mamanggilku Zizi."

"Aku lebih suka memanggilmu Bea," jawab Andres.

"Be-, ah!" Zizi ingat double L dibaca Y. Beya. Jika ini, dia sudah berkali-kali mendengar Andres mengucapkannya. "Oh, iya. Bella." Ucap Zizi mengikuti cara pengucapan Andres.

Andres tersenyum lalu membungkuk dan mencium punggung tangannya.

"Apa artinya para mi Bella?" Tanya Zizi setelah pria itu, Andres, kembali berdiri tegak dan melepas tangannya.

"Untuk dan mi itu my dalam bahasa Inggris."

"My Bella?" Zizi menyuarakan isi kepalanya.

Andres mengangguk dengan senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Bellaku?" Mata Zizi melotot tidak percaya.

Andres mengangguk lagi dengan senyum sempurna.

Pipi Zizi memanas. Dia menoleh ke samping, menghindari tatapan matanya. Tiba-tiba kepalanya diputar ke depan.

"Tidak baik menghindari tatapan lawan bicaramu," ujar Andres, memberitahunya.

Zizi tersenyum kecil.

"Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?" Tanyanya lagi.

Zizi berusaha mengingat-ingat apa saja yang ingin dia tahu dari pria itu, Andres. Seingatnya dia punya banyak sekali pertanyaan, tapi saat ini tidak ada satupun yang berhasil diingat. Akhirnya dia menggeleng.

"Kami tidak berkenalan seperti tadi di Spanyol," akunya.

"Oh ya?" Alis Zizi terangkat.

"Kamu mau praktik?" Tanyanya.

Zizi menjawab dengan semangat, "ya. Bagaimana?"

"Aku akan bilang, ola. Soy Andres. Lalu kamu akan menjawab, ola, Andres. Soy Zizi." Andres menjelaskan pelan.

Zizi mengulanginya, "ola Andres, soy Zizi?"

"Ya. Kamu cepat sekali menangkapnya."

Lagi-lagi Zizi tersenyum malu.

"Ola. Soy Andres."

Zizi melihat tangan Andres di letakkan di dadanya. Alisnya terangkat untuk memberitahu waktunya Zizi menjawab.

"Ola Andres, soy Zizi," jawab Zizi sambil menirunya menaruh tangannya di dada.

Andres mencondongkan kepalanya lalu menempelkan pipinya di pipi kanan dan kiri Zizi, "muach muach".

"Kamu cipika cipiki dengan perempuan yang baru kamu kenal?" Tanya Zizi dan melihat wajah pria itu bigung.

Zizi menjelaskan, "cium pipi kanan cium pipi kiri."

"Oh. Iya. Itu biasa dalam situasi tidak formal. Kecuali dengan orang asing yang sekiranya tidak tahu budaya kami. Itu akan membuat suasana canggung dan serba salah."

Zizi memberi tahu, "aku tidak tahu budayamu."

Andres mendesah, "tapi kita biasa berciuman."

Zizi mendengus lalu menghitung berapa kali Andres menciumnya dan berapa kali mereka berciuman. Dia tidak bisa mengingatnya. Rambutnya diacak-acak lagi dengan gemas lalu Andres berjalan pergi. Dia mengambil satu kursi ditempatkan di pinggir pagar menghadap ke luar lalu mengambil kursi lagi ditempatkan disampingnya. Zizi ikut duduk tanpa perlu diajak.

***

Gadis itu, Bella, telah lama tertidur di pundaknya. Andres lebih suka memanggilnya Bella karena dalam bahasa Spanyol artinya cantik. Ini seperti memanggilnya cantik dalam bahasa Indonesia. Andres sedari tadi menimbang-nimbang untuk membawanya balik ke kamarnya, hanya saja dia tidak mau membangunkannya. Sepertinya Bella sangat sensitif dengan sentuhan bahkan dalam tidurnya. Andres menguap. Dia sudah mengantuk. Dia menyandarkan perlahan kepalanya di kepala si cantik, Bella, lalu memejamkan matanya.

Andres terbangun ketika mendengar seseorang memanggil namanya.

"Aku mau balik ke kamarku," kata Bella setelah dia mengangkat kepalanya.

"Kamu kedinginan?" Tanya Andres khawatir.

Bella menggeleng, "hanya sedikit. Kamu harus ke kantor besok pagi."

"Iya, benar." Andres membenarkan.

Bella telah beranjak ke depan meja dan menumpuk piring kotor. Andres berdiri dan kembali duduk karena kepalanya mendadak pusing. Dia menghela napas beberapa kali sambil memejamkan matanya lalu berdiri lagi pelan-pelan kemudian ikut membereskan meja.

"Dicuci besok pagi saja," kata Andres ketika mereka meninggalkan gazebo.

Bella tersenyum padanya lalu menjawab, "ok."

Andres telah mengantar gadis itu ke depan pintu kamarnya.

"Besok pagi kita belajar masak lagi?" Tanya Andres.

Dia harus memikirkan menu yang pas untuk kemajuan belajarnya. Malam ini dia telah mengajarinya memegang pisau dan memotong sayuran.

"Aku lebih suka menontonmu memasak."

Jawaban Bella membuatnya kecewa.

Andres mendesah. "Tapi aku tidak mau jatah ciuman pagiku berhenti."

"Aku akan tetap," Bella menelan ludah lalu melanjutkan, "kurasa lebih baik aku memberimu cuma-cuma daripada kamu menggerayangiku selama belajar memasak."

Andres membela diri, "aku tidak menggerayangimu."

"Tapi kamu-" Bella tidak meneruskan, namun Andres tahu apa yang ingin dia katakan.

"Aku minta maaf," katanya lalu berbalik pergi.

Pergelangan tangannya tertarik. Andres menoleh.

"Kamu belum memberiku jatah ciuman pengantar tidur." Bella mengingatkan sambil menyeringai.

Sebelah alis Andres terangkat mendengar ucapannya. Tak berselang lama, dia melihat Bella mendekat dengan mata terpejam. Andres menghela napas lalu mendaratkan bibirnya di keningnya dengan mata yang ikut terpejam.

"Qué duermas bien, mi Bella... [Tidurlah yang nyenyak, Bellaku]" bisiknya.