Gu Qingqing tersenyum pahit. Ia mengulurkan tangan untuk mematikan api hot pot, lalu berkata kepada pembantunya, "Kamu tahu, tidak peduli pasangan seperti apa kamu cari di masa depan, ingatlah bahwa kamu harus mencari seseorang yang bisa makan bersamamu."
———
Gu Qingqing tetap tinggal di lantai bawah. Saat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, barulah ia perlahan naik ke lantai atas. Pengalaman mengajari Gu Qingqing bahwa ketika Leng Sicheng marah, lebih baik tidak pergi menginjak ranjaunya sebelum ia meledak dan menghancurkan Gu Qingqing menjadi ampas
Sekarang jam setengah sepuluh. Leng Sicheng harusnya sudah tidur? pikir Gu Qingqing. Tidak. Hari ini tidak mungkin Leng Sicheng datang ke kamar untuk tidur bersamaku, kan?
Leng Sicheng punya ruang buku dan kamar tidur sendiri. Tidak mungkin baginya untuk hanya tidur dengan Gu Qingqing meski semalam saja. Gu Qingqing cukup sadar akan hal itu. Leng Sicheng adalah presiden Huang Ting Entertainment yang tidak pernah kekurangan wanita cantik. Selain standar pinggang tipis, kaki jenjang, serta rambut keriting yang disukai Leng Sicheng, semua macam wanita ada juga di sana. Dibandingkan dengan para wanita itu, Gu Qingqing tidak bisa menyenangkan Leng Sicheng seperti mereka melayaninya. Sejujurnya, tidak ada wanita yang bisa menyenangkan Leng Sicheng.
Di lantai dua, Gu Qingqing bergerak sangat ringan dan membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. Ia sengaja tidak menyalakan lampu dan hanya membuka jendela yang tidak ditutupi tirai. Ia mengambil dua langkah ke depan. Begitu sampai di tempat tidur, tiba-tiba ia menemukan Leng Sicheng duduk di sisi sofa.
Leng Sicheng duduk diam sambil melipat tangan di dada dan menyilangkan kakinya. Karena lampu tidak menyala, sosok Leng Sicheng seakan tersembunyi dalam malam yang gelap. Ia tampak seperti patung Romawi di museum, memadatkan temperamennya yang tertutup dan memicu rasa sesak. Meski Gu Qingqing tidak bisa melihat ekspresi halus di wajah Leng Sicheng karena ruangan masih gelap, ia merasa bahwa tampaknya Leng Sicheng telah duduk di sini selama berjam-jam. Kini, Leng Sicheng sangat marah.
Gu Qingqing terkejut hingga melangkah mundur tanpa sadar. "Mengapa kamu di sini?"
Leng Sicheng tidak menjawab.
"Tidak makan malam?" Gu Qingqing kembali bertanya, "Sup manis wijen sudah disiapkan di bawah."
Begitu Gu Qingqing selesai bicara, Leng Sicheng tiba-tiba berdiri. Ia melangkahkan kaki panjangnya mendekati Gu Qingqing tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Gu Qingqing pun ketakutan dan segera melangkah mundur. "Leng… aku…"
Mata Leng Sicheng dingin seperti es, tetapi tubuhnya panas seperti api. Ia memegang tubuh Gu Qingqing dengan erat lalu menyerang bibirnya. Gu Qingqing yang terkejut pun menutup bibirnya, kemudian segera melawan. Tanpa ragu, ia memindahkan Gu Qingqing ke samping tempat tidur dan mendorongnya hingga jatuh. Jari-jarinya menyambar piyama sutra Gu Qingqing dengan kencang. Setelah dua kali menarik namun piyama itu tak kunjung lepas, ia menarik lagi dengan lebih kuat.
Srak… Srak...
Piyama sutra Gu Qingqing kini terbelah menjadi dua bagian. Leng Sicheng kemudian membalik badan Gu Qingqing hingga membuatnya langsung kewalahan. "Tunggu! Aku, aku masih belum mandi!" tahannya.
Ketika Leng Sicheng kembali malam ini, Gu Qingqing tahu ia tidak akan bisa melarikan diri. Namun, Leng Sicheng sedang sangat marah. Gu Qingqing jadi cemas karena pasti ia akan dibuat sakit di malam hari. Leng Sicheng yang marah ternyata begitu mengerikan, seperti monster. Tangan Gu Qingqing menekan dada Leng Sicheng, seperti ingin mendorongnya menjauh. Namun, hal itu malah membuat kemarahan Leng Sicheng semakin menjadi-jadi.
Semakin Gu Qingqing menolak, maka semakin marah Leng Sicheng. Perlawanan Gu Qinqing justru semakin merangsang Leng Sicheng hingga semakin bertindak tanpa kendali. Sesuatu tampak melintas di mata Leng Sicheng yang dingin. Namun, matanya yang dingin dengan cepat berubah menyala-nyala seperti api perangkap.
Tanpa ragu, Leng Sicheng menangkap Gu Qingqing. Di titik ini, Gu Qingqing tahu ia tidak bisa melarikan diri. Ia pun berhenti melawan dan membiarkan Leng Sicheng melampiaskan amarahnya. Ia hanya bisa menggenggam seprai dengan jari-jarinya. Ia memegang lipatan sprei itu dengan semakin erat dan semakin erat. Jantung Gu Qingqing rasanya ikut semakin kusut.