Suasana begitu sibuk di kantor tempat Arvin bekerja pagi ini. Lalu-lalang petugas tampak di luar maupun di dalam ruangan. Sebagian dari mereka membawa berkas laporan, membereskan ruangan, dan ada pula yang menyeret berandal hasil razia untuk diinterogasi. Kebanyakan dari mereka adalah para pencuri, atau pemalak dari terminal.
Seorang pria berperawakan lumayan tinggi mengulum senyum di sepanjang koridor menuju ruangan Unit I Jatanras. Aroma kopi menguar dari dua buah gelas di tangannya. Dia berjalan sedikit lambat, takut menabrak petugas lain, dan melukai mereka dengan kopi panas yang dibawa.
"Kudengar ada yang baru saja memecahkan rekor."
Sampai di ruangannya dengan membuka pintu sedikit kesulitan, Bian--pria tadi--menghampiri Arvin. Meletakkan satu gelas kopi di meja rekannya itu. Lalu, beralih pada meja miliknya yang bersebelahan.
Arvin mendesah. Mata yang sedari tadi fokus pada layar komputer, kini beralih pada Bian. Rekor baru, katanya. Lucu sekali. Padahal dia hanya datang ke TKP lebih cepat dari Kanit Gerdian.
Memang tidak seperti biasanya, dan jujur saja dia sempat bangga akan hal itu. Akan tetapi, jika dijadikan bahan bercanda seperti ini, Arvin lebih memilih untuk tetap menjadi detektif yang selalu datang terlambat saja.
"Ngomong-ngomong, di mana Kanit Gerdian?" Bian menyeruput kopinya sebelum mulai kembali bekerja.
"Pergi menemui tim forensik mungkin?" Arvin menjawab dengan ragu.
Tidak ada yang tahu pasti di mana Kanit Gerdian berada saat ini. Entah benar menemui tim forensik, atau justru pergi ke kediaman korban. Bisa juga dia pergi dengan urusan yang tidak ada kaitannya dengan kasus ini.
Mata Arvin tidak lepas dari komputer di depannya. Memeriksa video dari kamera pengawas di persimpangan jalan menuju Bukit Golf, yang baru dia dapatkan beberapa menit lalu. Meski tidak mengandung banyak petunjuk, tapi hal itu justru membuatnya semakin merasa aneh.
Dalam video tersebut, hanya merekam tiga kendaraan yang memasuki Bukit Golf dini hari tadi. Mobil korban terekam pukul satu lebih tiga puluh. Lalu pada pukul dua, disusul sebuah kendaraan beroda dua milik saksi yang dia lihat di mobil patroli. Selang sepuluh menit, Arvin memasuki wilayah itu. Bahkan jika diingat lagi, dia sempat berpapasan dengan motor saksi yang mengebut.
Bicara tentang saksi, di mana orang itu berada? Arvin memang sempat kembali ke rumahnya sebelum berakhir di ruangan ini. Namun, saksi belum juga terlihat sampai sekarang. Padahal seharusnya dia membuat pernyataan dengan segera. Mengingat, Kanit Gerdian tidak melakukannya secara langsung di lokasi kejadian karena orang itu terlihat masih terkejut.
"Oh ... gadis ini mendapat panggilan dari polisi beberapa hari lalu."
Bian menggerakkan kursor pada komputernya secara perlahan. Saat ini, dia tengah memeriksa mengenai siapa saja yang menghubungi atau dihubungi korban sebelum kejadian nahas menimpanya.
"Itu nomor Unit II." Bian kembali berucap. Kepalanya mulai dipenuhi beberapa pertanyaan.
Begitu juga dengan Arvin, dia tampak tertarik dan mengintip komputer rekannya itu. Sebelum sempat bertanya, seseorang terlebih dahulu menginterupsi keduanya. Saksi yang Arvin tunggu, akhirnya datang.
Lantas, detektif muda itu kembali ke mejanya dan mempersilahkan saksi untuk duduk. Tepat di kursi yang berhadapan dengannya. Hanya meja yang menjadi pembatas.
Arvin memperhatikannya untuk beberapa saat. Pakaian saksi kali ini tampak biasa, tidak ada jaket khas ojek online yang melekat pada tubuh kurusnya, seperti yang dia lihat dini hari tadi. Lingkaran hitam di bawah matanya, seolah memberi tahu jika dia tidak tidur semalaman tadi.
"Baiklah, kita mulai. Siapa nama Anda?"
"Daryo, Pak."
Saksi itu terlihat gugup. Matanya bergerak-gerak memperhatikan setiap benda yang terletak di meja Arvin. Pun tangannya ditautkan, menahan gemetar yang membuat tidak nyaman.
Arvin memahaminya. Dia sering melihat hal ini. Biasanya terjadi pada orang-orang yang baru pertama kali berhadapan dengan polisi. Meski tidak bersalah sekalipun, gelagat yang mereka berikan hampir sama.
"Umur?"
"39 tahun, Pak."
"Alamat?"
"Rusun Kembang Wangi, Kebayoran Baru."
Arvin mengingat-ingat tempat itu. Jika tidak salah, temannya dari subdit narkoba sedang mengejar buronan pengedar sabu yang pernah menghuni salah satu rumah di sana. Bukan hanya itu, Unit Jatanras yang lain juga beberapa kali menangkap penculik yang menjual korbannya dari rumah susun itu.
Rusun Setan. Tidak sedikit yang memanggilnya seperti itu. Terlalu banyak orang jahat yang tinggal di sana. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak menyurutkan minat beberapa perantau untuk tetap menjadi penghuninya. Mengherankan memang, dan sedikit janggal.
"Apa yang Anda lakukan di Bukit Golf pada dini hari tadi?"
"Saya ... saya mendapat panggilan untuk datang ke sana."
Pembawaan Arvin yang tenang di awal, perlahan-lahan menegang. Bahkan secara tidak sadar, dia menarik kursinya. Semakin mendekat pada meja. Matanya fokus, telinganya meruncing.
"Siapa yang menghubungi Anda?" Arvin was-was. Berharap jawabannya sama dengan yang dia miliki.
"Korban sendiri, Pak. Dia menghubungi saya dan meminta dijemput di Bukit Golf karena mobilnya mogok." Daryo menghela napas panjang, wajahnya berubah pucat, "tapi setelah sampai di sana, saya mendapati korban sudah tergeletak di trotoar."
Bian mengkonfirmasi ucapan saksi. Dari pemeriksaannya, korban memang melakukan panggilan pada nomor Daryo tepat dini hari tadi. Hanya saja, nomor itu tidak tersimpan alias tidak bernama.
Sementara Arvin masih menyimak. Jawaban Daryo jauh sekali dari apa yang ingin dia dengar. Meski begitu, hal tersebut justru menimbulkan pertanyaan lain di benaknya. Semakin banyak pertanyaan, akan semakin buruk keadaan.
"Karena terkejut, saya bergegas meninggalkan lokasi dengan mengebut, dan berakhir menabrak mobil petugas yang sedang berpatroli." Daryo melanjutkan.
Ah, sekarang Arvin paham mengenai ucapan Kanit Gerdian, tentang saksi yang hampir menjadi mayat juga.
"Ada hal selain itu? Misal, cara korban bicara?"
Daryo terlihat mengingat-ingat. Kepalanya miring ke kiri, sesekali ke kanan.
"Suaranya ... jika tidak salah terdengar parau ... seperti orang kesakitan." Daryo masih terlihat mengingat-ingat.
Arvin mencatat semua keterangan Daryo, Bian justru menunjukkan gelagat aneh. Sesekali berbalik ke arah rekannya dan membuka mulut, tapi kemudian mengatupkannya lagi. Mungkin tidak mau menganggu yang tengah sibuk.
"Apa Anda mengenal korban?" Arvin masih belum menyadari gelagat Bian. Padahal, pria jangkung itu sudah hampir menepuk bahunya beberapa kali.
"Tidak, Pak. Saya sendiri tidak mengerti dari mana korban mendapat nomor telepon pribadi saya."
Tautan alis Arvin kembali terlihat.
"Maksudnya, dia menghubungi saya lewat ponsel yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan saya, Pak."
Detektif polisi itu mengangguk berulang kali. Terdengar aneh memang. Seaneh telepon yang dia dapat.
Sebelum Arvin sempat kembali membuka mulut untuk bertanya, Bian sudah lebih dahulu menarik bahunya. Lalu, mendorong kepalanya mendekat pada layar komputer, yang menunjukkan beberapa hasil penyidikan yang Bian lakukan. Seolah jika tidak melakukan itu, Arvin tidak akan memahami apa yang tertulis di sana. Rekan yang konyol memang.
Tidak ada protes dari yang lebih muda. Dia membaca kata demi kata yang tertulis di sana, dan mengabaikan Daryo. Seolah saksi itu tidak pernah ada.
Di sana tertulis jika korban bernama Anita Azahri Wijaya. Anak tunggal dari pasangan Indra Wijaya dan Dewi Intan Wijaya. Keluarga pemilik perusahaan PT ADA Abadi, yang sudah bangkrut akibat skandal penggelapan uang pensiun beberapa karyawan.
Rumor lain juga mengatakan jika skandal pemilik perusahaan, tidak sampai di situ saja. Beberapa orang melaporkan jika Indra Wijaya kecanduan judi, sampai terlilit banyak hutang. Itulah mengapa dia berani menggelapkan uang karyawan, yang digunakan olehnya untuk membayar hutang.
Sayang seribu sayang, hutangnya tak kunjung lunas. Hingga harus menjual seluruh aset perusahaannya pada orang lain. Bahkan di sisa hidupnya sebagai orang biasa, Indra Wijaya masih harus bekerja untuk membayar hutangnya itu.
Dewi Intan, ibu korban diketahui sudah meninggal pada tanggal 02 Januari awal tahun ini. Penyebab kematiannya diduga akibat pembunuhan. Korban ditemukan tergeletak begitu saja di halaman rumahnya, dengan tubuh bersimbah darah.
Sampai ditemukannya mayat Anita dini hari tadi, polisi masih menyelidiki siapa dalang di balik kematian ibu korban tersebut. Unit II Jatanras yang bertanggung jawab akan kasus itu, dan Anita Azahri Wijaya diketahui menjadi salah satu orang yang dicurigai oleh detektif dari unit itu.