Kino berlari di sepanjang koridor menuju ruang Unit II. Gulungan kertas terselip di tangannya yang mengepal. Dia terengah, dengan ekspresi wajah panik.
"Kanit, Kanit Iva?!" Pria jangkung itu berteriak memanggil kepala unitnya. Sayang tidak ada jawaban.
Ruang Unit II tampak kosong. Tidak ada satu orang pun di sana. Hanya beberapa lembar kertas berserakan di lantai, dekat meja Kanit Iva berada. Tampak seperti sudah diacak-acak.
Kino mengusap rambutnya frustrasi. Dia membawa kabar yang bisa dikatakan buruk, dan akan sangat berpengaruh dengan penyidikan yang sedang mereka lakukan.
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seorang gadis berkacamata masuk dengan satu gelas kopi di tangannya. Dia menghirup aroma minuman penuh kafein itu dengan nikmat.
"Di mana Kanit Iva berada?" Kino langsung menghampirinya. Dengan tidak tenang, dia bertanya.
"Kau membuatku terkejut!" Tubuh gadis itu tersentak ke belakang. Hampir saja gelas yang dia bawa dilemparkan pada wajah Kino.
"Jika kau mengharap maaf, aku tidak akan melakukan itu sekarang," ucap Kino. Ekspresinya berubah datar.
"Di nama Kanit Iva?" Kino mengulang pertanyaannya yang pertama.
"Kenapa kau selalu menanyakan Kanit Iva?! Tidak bisakah sehari saja tidak bertanya tentangnya?"
"Aku sedang tidak ingin bercanda, Kyra!"
Kyra, gadis itu mencebik. Lalu berjalan menuju mejanya di pojok ruangan. Meletakkan kopi tadi, dan duduk dengan nyaman di kursinya. Matanya mengabaikan Kino. Dia justru sibuk dengan komputer di depannya.
Dibuat kesal oleh sikap Kyra, Kino lantas mematikan komputer itu. Tidak peduli dengan apa yang tengah gadis itu kerjakan.
Hal tersebut sukses membuat Kyra naik pitam, "Hey! Apa yang kau lakukan?! Aku susah payah mengumpulkan informasi tentang Anita Azahri Wijaya!"
Kyra berdiri. Membenarkan kaca matanya yang melorot, dan berkecak pinggang. Wajahnya memerah, siap menumpahkan segala amarah yang terkumpul begitu tiba-tiba.
"Tidak ada gunanya, Ky! Dia sudah mati!" Kino berucap dengan pelan. Rasa kesalnya pada Kyra menguap begitu saja. Memang, selalu ada sensasi tersendiri jika menyangkut kematian. Sekalipun yang berpulang adalah orang yang mereka curigai sebagai penjahat.
"Siapa yang mati?"
Seseorang menginterupsi. Keduanya langsung berbalik ke arah suara, dan mendapati seorang wanita berseragam polisi menatap penuh tanya ke arah mereka. Kanit Iva, wanita berusia 41 tahun itu menatap dua anak buahnya penuh tanya.
Kino segera menghampirinya. Dia juga menyerahkan kertas yang tadi dibawa. Ekspresi penuh tanya semakin tergambar jelas pada sorot mata Kanit Iva. Dia menatap selembar kertas itu lumayan lama sebelum membacanya.
"Dari mana kau mendapatkan ini?" Selesai membacanya, Kanit Iva dibuat terkejut. Ekspresi panik tampak jelas dari wajahnya. Lebih panik daripada Kino tadi.
"Saya berpapasan dengan Kasat Reskrim di parkiran, dan beliau memberikan kertas ini pada saya."
Kertas itu berisi salilan dari kasus kematian Anita, yang dilaporkan oleh Unit I. Kepala Satuan Reserse Kriminal atau biasa dikenal Kasat Reskrim, yang merupakan atasan setiap Unit Jatanras, sengaja memberi tahu Unit II akan kasus baru ini. Karena bagaimana pun, Kanit Iva beserta bawahannya tengah mengejar gadis itu.
Kanit Iva meremas kertas di tangannya. Lalu membuang ke sembarang arah. Kyra bergegas memungut dan membacanya.
"Hasil autopsi juga menunjukkan jika penyebab kematiannya sama dengan ibunya, Komandan."
Kino tidak membawa salinan dari hasil autopsi, karena memang belum secara resmi keluar. Hanya saja Kasat Reskrim yang memberi tahunya. Pun tentang tanda yang serupa.
Kematian Dewi Intan Wijaya tanggal dua lalu, memang cukup menyedot perhatian publik. Banyak wartawan yang rela tidur di tempat parkir hanya untuk mendapat berita eksklusif dari kasus ini. Hanya saja, dari pihak Unit II sengaja tidak membocorkan berita mengenai tanda yang ditinggalkan pelaku pada tubuh korban. Alasannya sama dengan dugaan Kanit Gerdian. Menghindari kepanikan publik.
Dalam kasus ini, awalnya bukan hanya Anita yang diduga sebagai tersangka. Suami korban pun termasuk. Akan tetapi, Indra Wijaya memiliki alibi yang sangat kuat, dan sudah dikonfirmasi oleh Kino sendiri. Berbeda dengan Anita, yang alibinya berbelit.
Fakta bahwa kedua ibu dan anak itu tengah dalam hubungan yang tidak baik, juga menambah kecurigaan Kanit Iva. Anita diketahui memiliki tempramen serta lingkup pergaulan yang buruk. Bahkan, dia sempat beberapa kali berurusan dengan polisi karena kekerasan. Meski gadis itu selalu berdalih melindungi diri.
"Kita harus mengambil alih kasus ini!" Kanit Iva menggertak. Fakta bahwa Anita meregang nyawa hanya berselang beberapa jam setelah diinterogasi olehnya, membuat kepalanya panas.
"Tapi apa bisa?" Kyra yang sedari tadi hanya menyimak, mulai ikut dalam obrolan. matanya yang terbingkai kaca berkedip lucu.
"Tentu saja bisa! Kau pikir untuk apa kita bekerja lembur hampir setiap malam? Untuk gadis itu!" Kino berucap dengan menggebu.
"Jika dilihat dari segi kasus, tentu tidak mustahil. Karena bagaimana pun, kita yang pertama kali mendapat kasus ini, berarti kita juga yang harus menyelesaikannya. Yang kumaksud adalah, kasus kematian kedua ditangani oleh Unit I. Tahu sendiri jika unit itu memiliki kepala batu." Kyra merengut. Memorinya memutar beberapa kejadian tahun lalu. Di mana kedua unit berebut satu kasus, dan berakhir di tangan Unit I, meski Unit II yang mendapat informasi terlebih dahulu.
"Semua kepala anggota unitnya, 'kan?" Lagi-lagi Kino bertanya. Kali ini dengan nada penuh harap.
"Kepala Iptu Arvin tidak termasuk."
Ah, gadis ini. Kino mencebik.
Mengabaikan keributan yang selalu kedua anak buahnya lakukan, Kanit Iva mengambil jaket yang tergeletak di kursinya. Lalu pergi begitu saja. Meninggalkan duo kucing dan tikus kebanggan Unit II.
***
Ruangan Unit I begitu sunyi siang ini. Setelah Kanit Gerdian menerangkan mengenai penyebab kematian Anita, beserta tanda yang ditinggalkan pelaku, semua mendadak sibuk dengan pikiran masing-masing.
Bian sibuk membulak-balik berkas salinan autopsi Anita Azahri Wijaya yang baru mereka dapatkan lima menit lalu, dan membandingkan hasilnya dengan milik Dewi Intan Wijaya. Sudah berulang kali dia membacanya, berulang kali dia merasa tak puas. Kedua kasus ini terlalu sama. Metode pembunuhan, jam kematian, luka yang ditinggalkan, semuanya sama. Hanya lokasi ditemukannya mayat saja yang berbeda.
Lantas dia menyimpulkan, jika dugaan yang Unit II layangkan pada Anita, adalah kesalahan besar. Bagaimana dia bisa membunuh ibunya, lalu berakhir dengan kondisi serupa? Logika siapa pun akan menolak jika itu adalah bunuh diri.
Pun dengan Arvin. Pikirannya sudah hampir menyerupai benang kusut. Dia penasaran dengan pria misterius yang menghubunginya waktu itu. Siapa orang itu? Apa tujuannya? Dan dari mana dia mendapatkan nomor ponsel Arvin? Ah, sepertinya kepalanya akan diperas habis-habisan.
Jika itu perbuatan pelaku, Arvin benar-benar harus hati-hati menangani kasus ini. Karena entah disengaja atau tidak, si penelpon misterius telah melibatkannya dalam kasus ini secara langsung. Atau bisa disebut, dia ingin Arvin yang menanganinya, bukan orang lain. Apa tujuannya? Mustahil jika si pelaku ingin ditangkap oleh Arvin, 'kan? Kecuali jika dia memang ingin bermain-main dengannya. Oh ayolah ... kepalanya hampir keluar asap.
"Arvin, dari hasil pemeriksaanmu, bisa kau beri aku kemungkinan mengenai cara pelaku menghabisi korban?" Kanit Gerdian menginterupsi. Memecah keheningan yang ada.
"Ada dua kemungkinan, Komandan. Pertama, karena yang terekam di kamera pengawas hanya tiga kendaraan yang melintas, kemungkinan jika pelaku sudah menunggu korban di jalan sepi itu. Terdapat pohon besar di sana, lampu jalan juga mati. Bisa saja pelaku menghadang kendaraan Anita, berpura-pura minta tolong. Lalu ketika korban lengah, dia menghabisinya."
Kanit Gerdian mengangguk. Bian serta yang lain menyimak.
"Kemungkinan kedua adalah, pelaku sudah berada dalam mobil bersama korban. Lalu menghabisinya di tempat sepi itu."
Kedua kemungkinan itu masuk akal. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, ke mana pelaku setelah mengeksekusi korban? Pergi ke arah perumahan Bukit Golf, atau menunggu siang dan berbaur dengan keramaian untuk kembali? Mereka tidak perlu memeriksa daerah itu lagi, karena Arvin sudah melakukannya. Hasilnya nihil.
Terlarut dalam diskusi yang menguras otak, mereka hampir tak menyadari jika seseorang masuk ke dalam ruangan.
"Selamat siang."
Semua mengalihkan pandangan ke arah suara. Kanit Gerdian berdiri. Mempersilakan orang itu untuk masuk dan duduk di kursi yang tersedia.
Indra Wijaya sudah diberi tahu mengenai apa yang menimpa putri semata wayangnya, dan dia datang untuk memberi pernyataan. Sekaligus meminta pihak kepolisian untuk segera menangkap pelaku.
Penampilan pria berumur enam puluh tahunan itu terlihat kacau. Dasi tidak tersimpul sempurna, wajah sembab dengan lingkaran hitam di bawah mata. Penderitaan terperih menimpanya bertubi-tubi. Awal tahun yang begitu menyedihkan. Satu bulan saja belum sampai pertengahan, tapi dia sudah kehilangan dua orang tercinta dalam hidupnya.
Indra Wijaya berjalan menuju kursi di depan meja Kanit Gerdian, tapi ekor matanya sempat melirik ke arah Arvin yang sedang menatapnya. Dia berhenti seketika. Tubuhnya terlihat menegang.
Terlihat ragu, pria tua itu menoleh ke arah Arvin. Dan ya ... reaksi yang ditunjukkan begitu berlebihan. Tangannya seketika menyentuh dada. Mata melotot, serta mulut yang menganga. Reaksi yang menimbulkan banyak tanya di kepala Kanit Gerdian dan yang lainnya.
"T-tidak mungkin." Dia bergumam. Lalu berbalik dan lari. Tidak dipedulikan olehnya suara Bian yang memanggil-manggil namanya.
"Kenapa orang itu begitu terkejut ketika melihatku?" Arvin bergumam. Tangannya menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal. Merasa aneh dan canggung. Sementara rekannya yang lain menatap dengan curiga.