Waktu baru menunjukkan pukul dua dini hari ketika sebuah panggilan masuk ke ponsel Arvin. Pria yang tengah bergulung di balik selimut itu, dengan malas mengangkatnya tanpa melihat siapa yang telah menghubungi.
"Ada kasus. Cepat datang ke jalan menuju Bukit Golf."
Tanpa sempat menjawab, telepon sudah tertutup. Membuat pria yang merupakan detektif kepolisian dengan pangkat Inspektur Polisi Satu itu bergegas, menyambar jaket hitam yang tergantung di pintu kamarnya. Tidak lupa, dia mencuci muka serta menggosok gigi terlebih dahulu. Juga menyemprot minyak wangi lumayan banyak pada semua pakaian yang dikenakan. Lalu, menuju tempat kejadian dengan memacu motor kesayangannya semaksimal mungkin.
Di sepanjang perjalanan, sesekali Arvin menengok ke setiap bahu jalan. Sepi. Hanya satu dua kendaraan yang berlalu melewatinya. Merasa nyaman dengan situasi, penyidik itu sedikit menambah kecepatan kendaraan beroda dua miliknya. Dia tidak ingin dimarahi karena terlambat datang ke TKP.
Kecepatannya kembali normal setelah hampir bertabrakan, dengan seorang pengemudi motor yang datang dari arah berlawanan. Memasuki kawasan Bukit Golf yang rindang oleh pepohonan, Arvin memelankan laju motornya ketika mendapati sebuah mobil terparkir di bahu kanan jalan. Tepat di bawah pohon besar dengan lampu yang mati. Karena curiga, dia memarkir motornya tak jauh dari sana, dan menghampiri kendaraan itu.
Dengan dibantu cahaya dari lampu senter kecil yang selalu terselip di saku jaketnya, Arvin mencoba melihat ke dalam mobil. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Hanya saja, pintu di seberang terbuka sedikit. Membuat penyidik muda itu bergegas memeriksa sisi satunya lagi.
Sekitar lima langkah dari tempatnya berdiri--di atas trotoar, seorang gadis berbaju minim tergeletak dengan kepala berlumur darah. Tubuh Arvin menegang seketika. Dia lantas mengambil beberapa langkah mundur dan berbalik. Meski sudah sering melihat hal serupa, belum juga dia terbiasa. Selalu ada kengerian yang akan membuatnya susah tertidur.
Lampu senter menyorot tubuh yang diketahui sudah tidak bernyawa itu. Bukan hanya luka di bagian kepala yang Arvin dapati, pada telapak kakinya yang tidak mengenakan alas pun terdapat tetesan darah. Yang lebih mengerikan lagi, kedua tangan gadis itu sudah terpisah dari pergelanganya. Membuat genangan darah di aspal dengan bau anyir yang menguar.
Arvin kembali memperhatikan sekeliling. Sepi. Nampaknya hanya ada dia bersama mayat itu di sana. Di mana rekannya yang lain? Apa belum sampai, atau bukan kasus ini yang dimaksud? Arvin bertolak pinggang dengan kepala menunduk. Embusan napas kasar keluar dari mulutnya. Sungguh gadis yang malang.
Berselang beberapa menit, deru mesin kendaraan beroda empat dengan diiringi sirine menginterupsi. Dari arah Arvin datang sebelumnya, satu mobil patroli kepolisian berhenti di sana. Dua orang berseragam keluar dan langsung memasang garis kuning di sekitar mobil.
Salah satu dari mereka menatap Arvin dengan waspada. Detik itu juga, dia menunjukkan kartu tanda pengenalnya sebagai anggota kepolisian. Membuat si petugas memberi hormat dan mengambil posisi berjaga seperti temannya yang satu lagi. Tidak sampai lima menit, dua mobil berwarna hitam pekat menyusul beriringan dengan ambulans.
Beberapa orang berhamburan turun, menyerbu mayat serta mobil korban. Ada yang terlihat memotret sekitar dengan kamera khusus, ada pula yang mulai sibuk mengusap-usapkan kuas ke beberapa bagian mobil. Arvin segera mengambil langkah mundur. Tidak mau menghalangi pekerjaan tim forensik. Lagipula, dia memang tidak seharusnya berdekatan dengan mayat korban. Karena bisa saja ada jejak pelaku yang terhapus, dan itu akan sangat mempersulit penyidikan nantinya.
"Oh? Kau sudah ada di sini?" Seorang pria paruh baya keluar dari mobil satunya lagi. Menatap Arvin dengan tatapan yang sulit diartikan.
Detektif muda itu hanya mengulum senyum masam. Seharusnya dia mendapat pujian kali ini, karena menjadi yang pertama sampai di TKP. Biasanya, Arvin selalu datang paling akhir.
"Menemukan sesuatu?" Pria yang diketahui sebagai Kepala Unit 1 Jatanras itu mengamati sekitar. Kanit Gerdian, begitu dia dipanggil oleh rekan-rekannya di kepolisian.
"Saat ini hanya mayat gadis dengan kepala yang hancur, serta kedua tangannya terpotong, Komandan."
"Apa lagi?"
"Saya sempat melihat telapak kaki korban berlumur darah, sepertinya sebelum berakhir di tempat ini, dia mencoba untuk kabur dengan berlari."
"Hanya segitu?"
Arvin mengangguk.
"Seharusnya kau mendapat lebih banyak informasi." Dia menatap Arvin cukup lama, berharap lebih darinya.
"Komandan ingin saya mengobrak-abrik TKP sebelum tim forensik datang?" Arvin bertanya dengan bodoh. Seolah dia akan mendapat jawaban berarti dari hal yang sudah jelas dilarang itu.
Kanit Gerdian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Memang tidak ada yang salah dengan semua ucapan Arvin. Hanya saja, detektif itu kadang tidak teliti dan melihat gambaran besarnya saja. Hal tersebut selalu membuat gemas siapa saja.
"Tadi kau bilang kedua tangannya terpotong?"
"Ya, Komandan."
Kanit Gerdian terduduk lesu di aspal. Memijat kepalanya yang mendadak terasa pening. Jelas sekali dari gelagatnya, dia menyembunyikan sesuatu. Atau lebih tepatnya, mengetahui sesuatu mengenai kasus ini.
Sementara Arvin, masih sibuk menyorotkan lampu senternya ke sembarang arah. Lokasi ini terlalu sempurna untuk tindak kejahatan. Dengan pohon rindang, serta lampu jalan yang mati, akan mudah melakukan eksekusi tanpa takut diketahui orang lain. Bahkan jika ada kendaraan yang lewat pun, tidak akan ada yang menyadari sesuatu tengah terjadi.
Dari arah lain, seorang tim forensik menghampiri keduanya. Dia menyerahkan kartu tanda penduduk milik korban. Kanit Gerdian bergegas melihatnya. Dia merasa tidak asing dengan nama itu, tapi tidak ingat pernah mendengarnya di mana. Begitu pun dengan Arvin.
"Sepertinya aku harus bersiap menampung air mata keluarga korban." Kanit Gerdian berjalan ke arah mobilnya dengan lesu. Membayangkan rasa sakit yang akan diterima keluarga korban saja sudah membuat hatinya berdenyut. Apalagi harus melihat mereka meratap dengan air mata bercucuran secara langsung, dia tidak akan kuat.
Arvin mengekor. Sudut matanya menangkap sosok pria dengan jaket khas ojek online, terduduk lesu di kursi penumpang mobil patroli. Dia mengamati gerak-gerik pria itu, dengan berbagai pertanyaan di kepalanya.
"Dia orang pertama yang menemukan mayat itu."
Ekspresi wajah Arvin terkadang memang mudah dibaca, hingga membuat Kanit Gerdian bisa memberi jawaban tanpa ada pertanyaan yang terucap.
"Bagaimana bisa?"
"Belum sempat ditanyai. Dia tampak begitu terkejut, sampai hampir membuat dirinya menjadi mayat juga," jawab Kanit Gerdian. Kepalanya menggeleng pelan, mengingat cerita dari petugas tentang saksi yang menabrakan motornya pada mobil patroli dengan sengaja untuk meminta pertolongan.
Tautan di alis Arvin semakin terlihat jelas, dan diperparah dengan sikap Kanit Gerdian yang berlalu begitu saja dari hadapannya. Tanpa mau menjabarkan maksud dari ucapannya itu.
"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan dini hari di sekitar sini, Arvin?" Kepala Unit berbadan lumayan berisi itu berbalik. Mengurungkan niatnya untuk melihat mayat korban secara langsung. Kalau boleh dibilang, dia tidak sanggup melakukannya karena apa yang sudah dijabarkan Arvin tadi, cukup membuat imajinasinya aktif dan membayangkan yang tidak-tidak.
"Bukankah Komandan sendiri yang menghubungi saya dan mengatakan ada kasus di daerah ini?"
"Aku memang menghubungimu, tapi kau tidak menjawab telponku satu pun."
Hening. Keduanya saling melempar tatapan untuk beberapa saat. Kanit Gerdian menaikkan satu alisnya melihat gelagat Arvin, yang mendadak sibuk sendiri merogoh setiap saku yang ada di pakaiannya. Mencari ponsel, tapi benda itu nyatanya masih tergeletak di atas kasur dengan damai.
Di saat yang bersamaan, otaknya dibanjiri berbagai tanda tanya. Mulai dari yang terkecil, sampai terbesar. Membuat kepalanya sesak dengan satu pertanyaan yang sama. Siapa pria yang telah menghubunginya tadi?