Chereads / Before The Dawn / Chapter 22 - Bab 21: Misi Untuk Daryo

Chapter 22 - Bab 21: Misi Untuk Daryo

"Aku penasaran, siapa kira-kira orang hebat yang berani menghancurkan mobilmu itu?"

Dodi menjalankan laju kendaraannya dengan lembut. Tidak cepat, pun tidak lambat. Matanya lurus menatap jalan di depan. Sesekali melirik kawannya yang duduk di samping kursi kemudi.

Sebuah senyum jahil muncul di bibirnya setelah dia mengucapkan kalimat tadi. Orang hebat, katanya. Orang yang sudah bosan hidup. Itu lebih tepat.

"Sudah tugasmu untuk melacak nomor pelat mobilnya." Damian mendengus kesal. Dia melirik Dodi dengan tajam.

Setelah insiden yang menimpanya, Damian langsung menghubungi Dodi dan meminta agar pria itu menjemputnya. Tepat di lokasi. Damian enggan beranjak dari mobil sport mahal yang baru dia beli bulan lalu itu. Mobil yang sudah mulai menjadi kendaraan kesayangannya. Dan lagi, bisa dibilang sebagai kendaraan termahal yang pernah dia beli seumur hidupnya.

"Aku penasaran, apa yang pengemudi itu incar? Kenapa dia menghancurkan mobilmu?" Dodi kembali bertanya.

Terdapat beberapa pertanyaan yang berputar-putar di dalam otak Damian juga. Siapa sebenarnya mereka? Jika pun orang yang memiliki dendam padanya, kenapa malah mobilnya yang dihancurkan?

Padahal setelah Damian keluar dari dalam mobil, akan sangat mudah untuk membunuhnya dengan cara ditabrak. Namun yang terjadi, malah kendaraannya yang dibuat ringsek. Bukankah itu cukup mengganjal?

"Ah, mungkin pengemudi itu mengincar mobilmu karena dia menginginkannya juga. Kau tahu istilah, jika aku tidak bisa memilikinya, maka kau pun tidak."

"Bicara apa kau ini? Jelas-jelas mereka menantangku!"

Benar. Kemungkinan yang masuk akal memang hanya itu. Menantang Damian. Entah untuk tujuan apa, tapi yang jelas Damian harus segera mencari tahu siapa dan di mana mereka berada.

Dengan begitu, dia bisa membalas apa yang telah pengemudi itu lakukan padanya. Orang-orang yang berani mengganggu hari kesenangannya, sudah dipastikan masuk daftar untuk dihabisi.

Dodi menganggukkan kepalanya berulang-ulang. Ekspresinya tampak berpikir, tapi di detik berikutnya ....

"Ah, sayang sekali kau tidak bisa mengajak Jovita jalan-jalan dengan mobil baru itu. Padahal sebentar lagi dia akan pulang ."

"Jovita akan pulang?"

Damian yang hampir bersandar pada sandaran kursi, dibuat terperanjat dengan penuturan kawannya ini. Dia langsung menatap Dodi dengan tatapan meminta penjelasan lebih.

Sementara Dodi, dia yang menyadari kecerobohannya seketika mengerem mobilnya. Tangan yang tadi memegang kemudi, kini beralih pada mulut. Menutupnya dengan rapat. Matanya melotot dengan ekspresi terkejut ke arah Damian. Cukup dramatis.

"Kau bilang apa barusan?!"

Damian membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Bahkan dia mendekat ke arah Dodi. Tunangannya akan pulang? Yang benar saja!

"Kenapa dia tidak memberitahuku?!"

Pandangan mata Damian tidak lepas dari mata Dodi. Tatapannya mengintimidasi. Seperti yang biasa dia lakukan pada lawan bisnisnya. Dan ayolah, tidak akan ada yang bisa berkutik dari tatapan itu.

Selain terpesona akan keindahan matanya, si lawan bicara juga bisa melihat sesuatu yang berbeda dari sana. Sebuah kilatan nafsu untuk mendominasi. Pun membuat lawannya tunduk.

Dodi menggeleng dengan cepat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

"Katakan!"

"Dia ingin memberimu kejutan." Dodi meringis. Dia merutuki lidahnya yang sering kali keceplosan.

Jika sudah seperti ini, tidak heran banyak yang enggan berbagi rahasia dengannya. Khusus Damian, dia cukup keras melarang Dodi untuk berbicara dengan lawan bisnis atau polisi. Jika tidak, bisa-bisa dia membocorkan rahasia mereka secara tidak sengaja. Seperti yang terjadi saat ini. Dan itu bukanlah hal yang bagus.

"Kapan?"

"A-apanya?"

Dodi menatap Damian dengan ragu. Dia tidak bodoh. Dia paham ke mana arah pertanyaan itu, tapi apa harus sejauh itu?

"Kapan Jovita akan pulang?"

Damian bersandar di kursi. Memejamkan matanya beberapa saat.

"A-aku tidak tahu."

Dodi kembali menjalankan kendaraannya. Berusaha mengalihkan fokus dari kecerobohannya tadi.

"Jika kau tidak tahu, kenapa kau gugup?"

Lagi. Dodi menghentikan mobilnya secara mendadak. Dia memang tidak bisa membodohi Damian. Tidak akan pernah bisa.

"Oh ayolah! Biarkan ini tetap menjadi rahasia, OK? Bukan kejutan lagi namanya jika kau tahu." Dodi berusaha membujuk rekannya itu. Siapa tahu mempan.

"Aku akan pura-pura tidak tahu. Jadi, cepat katakan!"

"Jovita akan menghajarku jika kejutannya gagal."

Dodi masih berusaha membujuk. Kali ini disertai dengan tatapan memelas. Minta dikasihani.

"Oh, jadi kau lebih suka aku yang menghajarmu di sini? Menit ini juga?" Damian menyeringai.

Tubuh Dodi melemas seketika. Benar. Bujukan dalam bentuk apa pun, tidak akan bisa menembus hati seorang Damian yang beku dan kejam. Hanya Jovita yang bisa meluluhkannya. Hanya dia seorang.

"Tanggal 28," ucap Dodi.

Dia mengucapkannya dengan pelan, tapi masih bisa didengar oleh Damian. Hal itu sukses membuat pria itu menyeringai semakin lebar.

'Maafkan aku, Jovita,' batin Dodi.

Dia tidak punya pilihan lain. Menjaga rahasia seperti keinginan Jovita, atau membocorkannya pada Damian. Dua-duanya akan berujung sama. Salah satu akan mengamuk dan menghajarnya.

Meski begitu, lebih baik diamuk Jovita nanti. Daripada oleh Damian hari ini. Setidaknya, dia bisa mengulur waktu dan mencari alasan untuk menghindari bogem tunangan kawannya itu.

***

Di kediaman Daryo, kedua pria yang datang tadi masih enggan beranjak. Mereka duduk bersebelahan dengan asap rokok mengepul dari celah jari telunjuk dan jari tengah masing-masing. Sepasang mata itu menatap Daryo dengan tatapan yang sangat puas.

Sesekali, seringai tersungging di bibir pria bertopi. Sementara Daryo, dia duduk di kursi lain di seberang mereka. Wajahnya menunduk dengan ekspresi ketakutan.

Darren. Si pengemudi yang membawa mobil sport mengeluarkan sebuah laptop dari tas yang beberapa menit lalu dia ambil dari mobil milik temannya itu. Ya, kendaraan mahal itu bukan miliknya. Melainkan punya Arthur, pria bertopi yang selalu duduk di samping kemudi dan tengah menatap Daryo saat ini.

Bukan tanpa alasan Darren yang mengemudikannya. Bukan pula karena Arthur tidak bisa mengemudi. Melainkan karena dia masih ingin hidup. Setiap kali Arthur yang membawa mobil itu, kecepatannya pasti di atas rata-rata.

Mengebut dan tidak peduli rambu lalu lintas. Karena ulahnya itu, mereka sempat beberapa kali berurusan dengan polisi lalu lintas. Oleh karena itu, Darren dengan suka rela menjadi sopir ke mana pun mereka akan pergi.

Darren menyerahkan laptop itu pada Daryo dan berucap, "Kau tahu apa yang harus dilakukan dengan benda ini?"

Daryo seketika mengangkat wajahnya. Tatapannya bergantian dari benda elektronik itu dan juga dua pria di hadapannya. Dia terlihat semakin gugup dengan keringat yang mulai menetes dari dahi.

"S-saya tidak mengerti, Tuan."

Arthur menyeringai. "Buat beberapa artikel untuk kami tentang PT Geotama Transport."

"M-maksud Anda apa, Tuan?" Daryo terlihat kebingungan.

"Aku yakin kau paham maksud kami. Kau pandai dalam membuat hal seperti itu."

Darren ikut menyeringai seperti Arthur. Meski seringainya justru terlihat seperti senyum manis.

Daryo menatap benda elektronik itu lekat-lekat. Membuat Artikel tentang anak perusahaan yang bergerak di bidang transportasi memang tidaklah sulit. Terlebih, sebelum menjadi tukang ojek online Daryo sempat menekuni bidang itu. Hanya saja, satu hal yang membuat hatinya resah.

"Menerima orang-orang bermasalah untuk menjadi sopir taksi, dan menampung seorang pembunuh. Aku ingin kau mengangkat tema itu di artikelmu," ucap Arthur.

Dia melempar beberapa lembar kertas ke meja di hadapan Daryo. Kertas-kertas itu tidak lain berisi informasi mengenai karyawan bermasalah yang dia maksud tadi.

"Kau akan mendapat bayaran mahal untuk ini."

Darren beranjak dari kursi. Berjalan ke arah dapur dan kembali dengan sebilah pisau di tangannya.

Mata Daryo dibuat semakin membulat. Wajahnya mendadak pucat seketika. Dia tidak mengenal kedua orang ini dengan baik, tapi bukan berarti dia bodoh. Sedari awal seharusnya dia tidak terlibat dengan mereka.

Amarah serta rasa kecewanya terhadap mantan bosnya, membuat Daryo lupa akan konsekuensi yang dia dapat di kemudian hari. Terikat dengan salah satu kelompok kejahatan di kota ini, bukanlah sesuatu yang patut dia syukuri.

"Kami tidak akan menyakitimu, asal kau mau menurut. Dan jika kami ingin membunuhmu, sudah kami lakukan sejak awal kau keluar dari penjara."

Arthur menyambar pisau dari tangan Darren yang sudah kembali duduk di sampingnya. Dia melemparkan benda tajam itu ke sisi kiri Daryo, dan menancap tepat di dinding.

"Kami akan memberimu waktu tiga hari untuk membuat artikel itu. Setelahnya, misi lain akan kami berikan," ucap Darren.

"Misi lain?" Daryo membeo. Dia bergidik ngeri mendengar dua kata itu.

Darren mengangguk. "Misi keduamu adalah, temukan istri Trisna dan bawa ke hadapan kami. Hidup atau mati!"

Tubuh Daryo melemas seketika. Mira yang malang. Sudah ditinggal oleh suami tercinta untuk selamanya. Sekarang justru diincar oleh anggota kelompok kejahatan di kota ini.

Padahal, yang terikat dengan mereka adalah Trisna. Seharusnya janda itu tidak terlibat apa-apa. Entahlah. Kedua orang itu jelas menginginkan sesuatu yang berbeda dengan pemikiran polos Daryo.

Setelah dirasa urusan mereka selesai, kedua pria itu keluar dari rumah Daryo. Berjalan dengan santai meninggalkan Rusun Kembang Wangi dengan seringai yang tidak lepas dari bibir keduanya.

Sementara Daryo, pria itu masih terkulai lemas di kursi tempatnya duduk. Matanya menatap laptop yang Darren berikan dengan kesal. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Kabur tentu bukan pilihan yang tepat.

Menjalankan misi yang diberikan pun, bukan sebuah tindakan terpuji. Hal itu justru bisa membahayakan dirinya. Daryo sudah tidak mau berurusan dengan polisi lagi.

Daryo tampak dilema. Menurut atau kabur. Keduanya sama-sama membuat rugi. Dia benar-benar ditempatkan di posisi yang sulit.

Kenapa pula dia diberi misi seolah dirinya bagian dari kelompok mereka. Daryo mengacak rambutnya dengan frustrasi. Arthur dan Darren membuat dirinya sesat saja!