Elis meringis saat melihat teman-teman seperjuangannya pada mandi dan gosok gigi di sungai yang airnya keruh.
"Heh, orang baru, ya? Ngapain lama-lama di sini? Mau mandi apa ngintipin kita mandi?" tegur seorang pria dengan penampilan dekil, celana sobek-sobek, rambut gondrong dicat seperti ayam warna dan berkulit hitam, persisi anak punk.
"Enak aja ngintip! Tentu saja tidak," jawab Elis dengan sewot.
"Habis mau ngapain? Kalau ga mau mandi, atau cuci muka ya udah sana pergi! Apa mau, liat aku telanjang di sini?" Pria itu pun mulai membuka kausnya yang lusuh tepat di hadapan Elis.
"Tidak... Tidak! Tunggu dulu, aku mau cuci muka saja," ucap Elis dengan kesal. Lalu dengan langkah yang terasa berat gadis itu pun berjalan menuju tepi sungai dan ragu-ragu pula mulai mengambil air dengan kedua telapak tangannya untuk membasuh muka. Terakhir, ia begitu terlihat jijik saat harus kumur dengan air kotor itu untuk menggosok gigi. Tapi, karena tidak ada pilihan, dari pada bau dan jorok, lagi-lagi gadis itu melakukannya karena terpaksa. Jelas ada drama di awal ia melakukan hal itu, mutah-mutah, karena membayangkan apapun yang hanyut dalam air itu. Terlebih, setelahnya ada popok bayi yang juga ikut hanyut. Maka, semakin menjadilah dia.
Saat kembali ke gubuk, ia melihat kak Tika yang rupanya hendak bersiap memulai rutinitasnya sebagai pengamen. Wanita itu memberinya sebungkus nasi yang lauknya sayur labusiem yang mungkin hanya masak dengan air dan garam. Rasanya sangat tidak enak. Tapi, Elis sadar, di mana dia sekarang. Ia harus membiasakan dengan semua ini agar bisa cepat kembali ke kampung dan mewujudkan mimpinya untuk melunasi hutang orang tuanya, lalu menikah dengan kekasihnya, Yoga.
"Setelah ini kamu mau bekerja apa?" tanya kak Tika kepada
Elis sambil menikmati nasi bungkus yang sama.
"Aku belum tahu, ijazah Cuma SMA, kira-kira bisa bekerja apa
aku di sini, Kak?" tanya Elis, dengan wajah polosnya.
"Apapun bisa asal ada bantuan dari orang dalam, kamu ada
saudara atau kenalan yang menetap di sini, tidak? Yang bukan kaum jalanan
seperti kami di sini?"
Elis mengelengkan kepalanya dengan raut wajah sedih. "Aku
sampai ke sini saja karena kabur, bapakku menjodohkan aku dengan anak juragan
yang memiliki kelainan sexual, dan serem lagi, padahal sebelumnya dia merestui
hubunganku dengan mas Yoga, tapi …. " Elis hanya menghela napas panjang dan tak
lagi melanjutkan kalimatnya karena enggan membahas masalah ini karena termasuk
aib.
"Karena apa? Harta?" tanya kak Tika dengsan pandangan penuh
simpati.
"Yah… Begitulah, walau gak sepenuhnya karena harta, kan
awalnya bapak setuju saat aku menjalin hubungan dengan pacarku. Latar belakang
mas Yoga bapakku juga tahu, kok. karena kami tinggal sekampung."
Tika hanya mengangguk pelan, ia tidak mau memaksa Elis untuk
bercerita kepadanya, karena ia tahu, ini adalah prifasi gadis itu. "Kamu mau
ikut ngamen kaya kak Tika?"
"Ngamen, ya? Aku tidak bisa bermain musik dan menyanyi,"
jawab Elis dengan muka terlipat.
"Asal nyanyi aja, aku yang memainkan musiknya, kita nyanyi
bersama, gimana?" saran Tika.
Elis diam sesaat mempertimbangjan tawaran dari teman barunya
ini, sebenarnya dia sangat enggan menjadi pengamen, karena baginya, pengamen
sama halnya dengan pengemis, hanya saja berbeda dengan nyanyi saja. Tapi, ia
mau bekerja apa lagi untuk menyambung hidup jika bukan ini?"
"Baiklah, Kak, aku mau," jawab Elis dengan tersenyum kecut,
karena ia merasa telah menjilat ludahnya sendiri.
Hari kedua Elis berada di ibu kota ia memulai dengan sebuah
pekerjaan yang sungguh sangat ia benci sebelumnya. Sebab, selama di kampung ia
paling sebal jika ada seorang pengamen yang mendatangi rumahnya. Tapi, sungguh
sedikitpun tak pernah ia sangka dan ia duga sebelumnya di dirnya bisa menjadi seorang pengamen, tapi, karena tak
ada pilihan lain, jadi mau apa lagi?
Hari ini Kak Tika mulai mengajak Elis mengamen di kios,
warung dan toko-toko kecil yang ada di ibukota, lalu ke pasar tradisional,
barulah saat siang hari keduanya beristirahat di bawah pohon akasia pinggir
jalan yang rindang sambil menikmati sebungkus nasi uduk untuk sarapan, sengaja
siang ini kak Tika membelikan nasi dengan lauk ayam goreng karena pendapatan
mereka berdua mengamen dari pagi sampai siang cukup memuaskan, setara dengan
saat Kak Tika mengamen sendiri sedari pagi sampai senja.
"Lihat Elis, dari pagi jam enam tigapuluh menit sampai jam
setengah dua belas saja kita ngamen sudah dapat duit hampir tigaratus limapuluh
lo, biasanya aku dapatin segini itu kalau sampai jam enam sore, kamu emang
pembawa hoki," ujar Tika dengan senang.
Elis hanya tersenyum, lalu gadis belia itu menjelaskan tentang rizki yang ia ketahui dari tempat ia mengaji di madrasah, "Bukan aku
pembawa hoki, Kak Tika. Tapi, emang manusia itu memiliki takaran riski-nya
sendiri-sendiri, karena hari ini ngamennya sama aku, dari hasil itu ada
sebagian yang menjadi riskiku, kak."
Tika terdiam mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Elis,
sepertinya masih belum begitu paham dengan apa yang dimaksut oleh Elis.
Elis mengedarkan pandangannya ke sekitar, ia menangkap sosok
tua renta dan buta, tiba-tiba datang seorang anak yang dia tahu dia berada di
lingkungan kumuh tempat dia tinggal bersama kak Tika dan teman-temannya, namun
tidak dengan sosok tua itu.
"Itu bukankah anak yang tempatnya bersebelahan dengan kita?"
ucap Elis menunjuk ke arah yang sedari tadi ia amati.
"Iya, dia namanya Agil."
"Lalu, siapa sosok tua itu, kak?"
"Tidak tahu, entah dia tinggal di mana, tapi, Agil dan
sebagian anak-anak selalu memberinya makan dan minum pada kakek tua itu."
Elis tersenyum dan berkata itulah kak, setiap makhluk hidup
di dunia ini Allah sudah jamin riskinya, contohnya kakek tua itu, beliau masih
hidup meski lumpuh dan buta, tapi, Allah masih menjamin riski beliau, dan tak
membiarkan ia kelaparan, riskinya melalui Agil dan teman-temannya, sungguh
mulia sekali hati bocah itu, lebih berharga dari emas dan bermata, ya bocah itu
berhati emas, dia saja kekurangan dan sering lapar tapi, malah memberikan
sebagian besar makanan yang ia miliki dari berjualan Koran pada kakek tua itu."
Tangan kak Tika bergetar mendengar ucapan Elis, rasanya ia
seperti ditampar berkali-kali saja. Bagaimana tidak? Agil yang hanya memiliki
penghasilan dibawah tigapuluh ribu saja masih ingat berbagi dengan sesame,
sementara dia yang pehasilannya sehari bisa mencapai sepuluhkali lipatnya
bahkan lebih, tidak pernah beramal, pada Elis saja karena ia merasa bisa diajak
kerja sama, andai saja tidak, mungkin ia tidak tertarik mengajaknya ke gubuk dan
memberinya makan.
Air mata Tika tumpah begitu deras dari sudut netranya, ia
urungkan memakan nasi yang sudah terbuka namun belum tersentuh, ia merasa
betapa tidak bergunanya dia bagi orang lain, terutama yang lebih lemah.
Terlebih saat teringat kejadian tadi, ketika Elis melihat sebuah mobil mewah
yang ditinggalkan pemiliknya dalam kondisi kaca jendela terbuka dan di dalamnya
ada tas ponsel dan juga laptop. Tanpa ragu-ragu Elis berdiri dan bersandar di
sana agar tidak terjadi kejahatan yang merugikan si pemilik mobil, tapi, ketika
seorang wanita dengan pakaian perawat dan pria datang, tiba-tiba si wanita
memaki-maki Elis, gadis berpostur mungil dengan kulit putih dan rambut sebahu berwarna cokelat keoren-orenan itu menuduh temannya yang melindungi benda berharganya itu dari
maling malah dituduh mau mencuri dan dihina gelandangan miskin, Namun dengan
sabarnya Elis menjelaskan dengan senyuman kalau jendela mobilnyan terbuka dan
tadi hampir saja ada yang mengincar barang yang ada di dalamnya, si wanita
merasa malu dan sewot. Tapi, si pria tampan yang kira-kira tingginya 180cm an itu dengan rendah hatinya
mengucapkan terimakasih dan meminta maaf kepada Elis.
"Mbak, terimakasih, ya sudah bantu kami, maafkan saya dan
pacar saya ya, jangan di ambil hati,"ucap pria tadi, lalu berbisik memberi
isyarat agar kekasihnya yang ia dengar bernama Diana itu agar meminta maaf dan
berterima kasih juga pada Elis dan Tika, hanya saja si cewek sepertinya terlalu
manja dan egois, denga cepat ia menolak dan langsung masuk ke dalam mobil.
***
Dengan mata berkaca-kaca dan tangan bergetar Kak Tika
berkata kepada Elis, "Elis, terimakasih atas pelajaran hidup yang begitu
berharga yang kau ajarkan kepadaku, selama ini aku memang hanya bisa mengeluh
akan nasibku yang hanya jadi pengamen jalanan, stiap waktu jadi bahan buronan
para satpol pp dan hanya tinggal di tempat kumuh beralaskan kardus, tapi kamu
dan Agil adalah sosok yang sangat luar biasa, hari ini, semua uang ini adalah
milikmu, katanya hp kamu kena jambret, ya? Ini kalau Cuma untuk beli hp bekas
yang biasa bisa kok.'' Tika memberikan seluruh pendapatan hari ini kepada gadis
belia di depannya.
"Sudahlah, jangan begitu, ini keringat kita berdua,
bagaimana kalau dibagi rata jadi dua?" usul Elis.
Tika hanya diam, dalam keadaan susah begini, ia bahkan
sangat jauh dari kata serakah, sungguh mulia sekali hati gadis ini?" batin
tika.