Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 8 - Aldo

Chapter 8 - Aldo

Di sebuah pinggiran kota yang nampak sepi dan gelap karena sudah lewat tengah malam, berjalan dua orang pria yang baru saja pulang dari sebuah cafe.

Dia adalah sepasang sahabt sejak keduanya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ya, Riyan dan Aldo. Kini keduanya sama-sama sudah kuliah di sebuah universitas ternama di Jakarta. Tidak hanya akrab, mereka memiliki banyak kesamaan mulai dari hobi, dan juga kegemaran. Bahkan, selera untuk memilih cewek pun juga sama. Namun, meski begitu, mereka tidak pernah menyukaio satu orang yang sama. Sama, tak harus sama persis dan satu orang saja, kan?

Sambil berjalan pulang menuju kos-kosan yang tak jauh jaraknya dari  cafe di mana keduannya melakukan pekrjaan sampingan, mereka berdua ngobrol membicarakan ceweknya masing-masing.

Kali ini nasib kurang baik tengah dialami Riyan, pasalnuya bebrapa hari yang lalu dia melihat pacarnya jalan bareng dengan pria lain, setelah beberapa bulan yang lalu hal itu dialami oleh Aldo.

Entah ada yang salah atau bagaimana dengan selera mereka. Sebab, beberapa kali pacaran atau menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita, pastilah selalu berakhir dengan penghianatan. Apakah mereka hanyalah seorang mahasiwa dan pelayan restoran slabutan belum memiliki banyak uang sendiri jika tak meminyta kepada orang tuannya? Entahlah.

"Kenpa, kamu keliatan lemes banget gitu, Yan? Belum dapat dari Devi, ya?" ledek Aldo. sambil terbahak. Memang keduanya sama-sama nakal dan gaya pacarannya pun juga bebas, setiap memilih wanita untuk dfijadikan pacar mereka mencari yang mau diajak tidur bareng.

Berada jauh dari jangkauan keluarga dan orang tua membuat keduanya menjadi bebas dan liar.

"Devi? hemb, aku sudah putus. Kemarin aku lihat dia dan anak pemilik hotel bintang satu di sini tengah cek in di hotel milik bapaknya itu. Dua orang lelak-laki dan perempuan ngapain coba kalau sudah berada dalam satu ruangan yang sama?" tanya Riyan kepada sahabatnya, Aldo.

"Iya juga, sih. Kaya aku kemarin saat sama Lutfi, lama gak ketemu tau-tau bunting aja tuh cewek... padahal, kenal baru dua bulan tapi umur kandunga dah tiga bulan menginjak empat bulan lagi, jelas bukan anak gue, lah," jawab Aldo, yang juga sama-sama pernah merasakan pahit dan akitnya sebuah penghianatan.

Keduanya pun sama-sama tertawa menertawakan dirinya masing-masing.

"Kita ini cuma menang tampang kalah modal, kita hanya anak kuliahan yang masih mengandalkan kedua orang tua sendiri, demi cewek, kita rela matia-matian banting tulang jadi pelayan restoran. Tapi, mereka tidak bisa menghargai itu, mereka hanya tahu ferarry dan duit banya, hahaha,' ucap Riyan.

"Aldo!"

Keduanya menoleh ke sumber suara yang memanggil nama Aldo. Ternyata seorang gadis berambut lurus sebahu yang dicat dengan warna coklat ke oren-orenan.

"Wiih, kayaknya ada yang mau bikin gempa nih malam ini," bisik Riyan sambil terkikik.

"Makanya cari tuh yang kek gini, setia dan bisa nerima apa adanya," jawab Aldo dengan rasa percaya diri.

"Ya sudah, sana pergi, jangan maen di kos-kosan pokoknya biar aman dari razia." Riyan pun mendorong pelan tubuh Aldo agar lebih cepat menghampiri kekasihnya.

Sementara Aldo cuma tersenyum sambil mengacungkan jempol saja pada sohib sekamarnya itu.

Aldo menarik napas dalam-dalam sebelum menghampiri Diana. Diana adalah teman satu kampusnya. Tapi, mereka beda jurusan. Jika Aldo ambil di bagian conten editor, multimedia dan sejenisnya, Diana adalah akademi keperawatan.

Aldo memberikan senyuman termanisnya untuk Diana sebelum dia menggoda kekasihnya itu.

"Hey, anak perawan tidak boleh berkeliaran malam-malam. Apalaginsendirian, begini."

Diana, gadis yang dipacarinya sejak dua bulan itu tesenyum manja sambil mencubit perutnya, dan berkata, "Eh, siapa bilang aku masih perawan. Sudah layh keles.'

"Masa..." timpal Aldo sambil merangkul mpingganya dan berjalan menuju ke sebuah losmen yang berada tidak jauh dari tempatnya.

"Iya... Dih, lupa, kan kamu yang memperawaniku," jawab gadis dengan postur tubuh mungil dan berkulit putih itu sambil menyandarkan kepalanya pada lengan Aldo.

Habis, kamu masih sempit aja kek dulu,Sayang. Makanya aku lupa," puji Aldo.

Sementara Diana menundukkan wajahnya yang bersemu merah karena sanjungan kekasihnya itu.

Di sebuah gang, Diana menghentikan langkahnya, ia menatap serius pada wajah pria yang lebih tinggi dari ya sekitar duapuluh empat centimeter an itu sambil mendongak, agar leluasa memandang.

"Ada apa, Sayang?"

"Al, aku mau ngomong sama kamu," jawab Diana, serius.

Pria dengan tinggi 180 cm an itu mulai salah tingkah dengan pandangan pacarnya. Gelagatnya mencurigakan, seperti wanita yang sudah-sudah saja.

"Kamu emang mau ngomong apa?" Aldo membungkuk, berusaha mencium pipi gadis itu.

Namun, memang ada yang aneh dengan Diana, biasanya ia tidak pernah menolak jika di cium kekasihnya di mana pun, selama masih area wajah. Kenapa kali ini dengan cepat Diana memalingkan wajahnya dan menampik pipi Aldo dengan telapak tangannya dan berkata, "Tidak mau! Kita ngomong di losmen saja."

Rasa tak nyaman dan takut kehilangan semakin kuat menjalari hati dan pikirannya. Aldo hanya bisa mengangguk dan mengiyakan saja.

"Baiklah, ayo kita ke losmen sekarang!''

Setiba di penginapan, Aldo langsung menuju ke toilet untuk mencuci muka. Cukup lama pria itu di dalam sana. Entah, dia mendadak diare atau apa, lamanya ngalah-ngalahin anak cewek saat sedang mandi.

Bukannya tigapuluh menit itu terlalu lama untuk seorang pria mencuci muka saja? Tentu saja, kecuali ada hal lain yang dikerjakan di sana.

Aldo sengaja mengulur waktu dengan berlama-lama di dalam toilet hanya untuk menyiapkan mental dan ekspresi tetap biasa dan baik-baik saja saat Diana memutuskan dirinya. Bagaimana pun ini bukanlah hal baru, baginya.

Ada saja sandiwara yang dimainkan para mantan kekasihnya dulu untuk alasan agar dapat s

udahan. Ada yang tak bisa menolak perjodohan dari orangtuanya lah. Ada yang merasa tak bisa menjadi cewek baik lah.

Ketika melihat Aldo keluar dari toilet, Diana yang sedari tadi duduk memikirkan sesuatu di tepi ranjang pun langsung bangkit dan menghampiri pria itu. Dengan sigap digenggamnya erat kedua pergelangan tangan Aldo.

"Al, aku mau tanya sama kamu." Dengan mimik takut dan ragu, Diana mendongak menatap tajam ke dalam mata Aldo yang berwarna coklat pekat itu.

"Mau tanya, apa, sayang?" tanya Aldo dnegan susara lembut.

"Tapi, kamu harus janji dulu sama aku bakal jawab jujur dan jangan marah."

Pikiran Aldo kian kacau, haruskah hubungannya akan kandas lagi dan lagi?

Sambil tersenyum tipis Aldo tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan, "Iya, aku bakalan janji. Gak marah dan jujur jawabnya."

"Kamu sayang gak sama aku?"

"Tentu saja aku sayang banget sama kamu."

"Cinta, gak sama aku?"

"Iya, sayang. Aku cinta banget sama kamu."

"Walaupun apa yang telah terjadi di antara kita?"

'Maksutmu meskipun kita putus? Kau dengan cowo tajir, agar aku siap jika kau sudah dibuang?' batin Aldo lagi. Aldo tersenyum sambil mengangguk pelan.

Belum juga Diana berbicara, air matanya sudah mengalir deras. Rasa takut terus menghantui hati dan juga pikirannya.

"Sudah dua Minggu aku telat datang bulan, Al." Gadis itu kian erat menggenggam pergelangan tangan Aldo dan menangis terisak, tak pedulikan air matanya mengalir membasahi kedua pipinya.

Aldo bengong sesaat. Ia masih berusaha mencerna kata-kata kekasihnya itu. "Terus apa hubungannya dengan rasa sayang kau ke kamu? Selama kamu tidak selingkuh dariku, mana mungkin aku melepasmu begitu saja?"

"Aku taku, gimana kalau aku hamil nanti?"

"Kalau kamu hamil? Ya udah kita nikah. Lagian, itu benihku, dan akulah ayah biologis janin itu. Mau apa lagi memang? Orangtuaku pasti juga akan setuju dan suka punya mantu yang cantik, baik dan pinter kek kamu."

"Aku taku, Al. Kamu benci dan ninggalin aku saat tahu aku mengandung anakmu seperti yang dialami teman-temanku. Maka itulah kenapa ada banyak kasus ibu tega membuang anaknya sendiri, sebenarnya mereka terpaksa, karena pria yang menghamilinya tak mau bertanggung jawab dan keluarga tak ada memberi belas kasihan. Tapi, nyatanaya mereka semua pun juga stres dan bahkan depresi karena menyesal buang darah dagingnya sendiri yang tak tahu apa-apa akan dosa orang tuanya."

Diana kian terisak saat dengan jangan Aldo mendekapnya erat ke dalam pelukan.

**Flashback.

"Sudah hampir dua Minggu aku kok gak dapet, ya?" Sengaja Diana berkata dengan suara agak lantang agar teman seasramanya me dengar dan memberi masukan.

Gadis itu terus menglihay dan menhitung linkar merah yang ada pada kalendernya.

"Jangan-jangan kamu hamil, Din. Coba dicek! Tuh, di dalam lemari ada respek. Kamu ambil aja satu."

Dengan raut wajah cemas Diana melihat ke arah Mega yang menawarinya alas tes kehamilan itu.

"Gak, ah. Takut kalau hamil beneran aku."

"Takut Aldo ninggalin kamu kaya pacar

Riri? Makanya, sebelum janin itu berusaia satu bulan, kamu harus segara aborsi, Kalaupun Riri tidak telat ketahuan, dia pasti sudah akan mengaborsi ya dan pacarnya ga akan ninggalin dia."

**Comeback.

"Kamu jangan samakan aku dengan mereka, apakah kamu berfikir selama ini kita kencan, aku cuma butuh tubuhmu untuk ditiduri saja? Tidak, Din. Aku tulus mencintai kamu dari lubuk hatiku."

"Terimakasih, Aldo, terimakasih." Gadis itu kian terisak dan mengeratkan pelukannya.

"Kamu sudah tes hasilnya belum? Positif apa nggak?" lirih Aldo dengan suara lembut dan penuh kasih sayang.

Diana menggelengkan kepalanya dalam pelukan kekasaih-nya lalu berkata, " Aku belum ada keberanian."

Aldo menghela napas panjang dan mendorong lembut tubu Diana dan menatapnya dengan lembut, "Kamu ada tespek, tidak? Jika tidak coba aku belikan di minimarket yang buka duapuluh empat jam."

"Ada, di dalam tas."

"Ya sudah, coba kamu cek, gih."

Dengan langkah perlahan Diana mendekat ke ranjang di mana ia meletakkan tasnya. Bahkan saat akan memasuki toilet kamar mereka pun gadis itu masih nampak ragu, dan sempat menoleh ke arah kekasihnya untuk meyakinkan nya.

Barulah dia masuk saat melihat Aldo menganggukan kepalanya.

Hanya menunggu waktu selama kurang lebih sepuluh menit saja, Aldo sudah merasa itu sangat lama. Sebab, ia sangat penasaran

dengan hasil dari tes tersebut.

"Kreek... !"

Pria itu langsung memutar badannya menghadap toilet ketika mendengar pintunya terbuka. di sana sudah berdiri Diana dengan benda kecil berwana putih di tangannya.

Aldo berjalan sedikit buru-buru ia memandang Diana dengan tatapan penuh harap, "Gimana hasilnya, Sayang? "

"Cuma satu garis merah, Al. Artinya aku negatif. Aku nggak hamil. Tapi, kok aku belum dapet dapet ya?" Wajah cantik itu yang semula penuh dengan rasa takut sekarang malah nampak bingung, dan hanya membuat Aldo menjadi kian gemas saja.

"Kamu terlalu stres kali, berapa lama coba kita nggak ketem? mungkin kamu kangen sama aku," goda Aldo. Aldo pun tiba-tiba meraih tubuh mungil itu dan menggendongnya membawa ke atas ranjang.

Sementara Diana memekik keras karena terkejut. "Apa yang kau lakukan Al?"

"Lalu kau pikir apa, Din? kita berada di kamar malam-malam dan hanya ada kita berdua akan ku buat kau mendesah sepanjang malam sampai pgai," ucap Aldo dengan tatapan penuh nafsu.