Chereads / Suamiku mantan gay / Chapter 6 - bab 5(Janji2)

Chapter 6 - bab 5(Janji2)

Merasa kesal dengan istrinya yang selalu membela anak semata wayangnya itu, pak Ranu pun akhirnya kembali pergi ke luar rumah.

Bu Mirna mendekati putrinya dan menanyakan prihal yang baru saja dikatakan ayahnya.

"Elis, apa benar tadi pagi kamu ke ladang menemui Yoga?" tanya bu Mirna dengan nada rendah.

"Maafkan Elis Bu, tapi kan menemuinya juga di tempat yang tidak sepi, kita tidak sedang berduaan saja, kan?" jawab Elis. Tak mau di salahkan.

"Jadi benar, kau menemuinya? Jam berapa dan lewat mana? Kenapa ibu tidak tahu?" tanya Bu Mirna penuh selidik.

"Tadi, Bu. Sekitar jam lima subuh lewat jendela kamar Elis." Gadis itu nampak gugup, tertunduk dan meremas ujung kaus yang dikenakannya.

"Ada perlu apa kau sama Yoga sampai harus bertemu secara diam-diam begini?"

Elis masih diam tertunduk tak mampu menjawab pertanyaan ibunya. Mau jujur atau tidak, karena sudah kepalang basah, ia pun memutuskan untuk mengatakan yang sejujurnya sekaligus meminta dukungan serta doa dari ibunya.

"Bu, Elis menemui mas Yoga itu untuk menanyakan kesungguhan dia padaku, seserius mana dia jika memang iya, berani tidak kabur berdua sama Elis. Kita kawin lari tapi dia mau, Bu. Tolong restui Elis, Bu. Elis ingin dalam hidup ini yang hanya satu kali menikah pun juga satu kali itu pun dengan pria yang Elis cintai."

"Memang kau mau lari ke mana, nak? Kekuasaan juragan itu sangat luas anak buah Doni juga ada di mana-mana. Apa bisa lepas dari jangkauan mereka?" Seketika itu juga tangis Bu Mirna pecah.

Sekuat hati Elis berusaha menenangkan perasaan ibunya.

"Elis mau ke kota, Bu. Mencari uang banyak untuk membayar hutang kepada juragan agar kelak Elis bisa menikah dengan mas Yoga. Tolong Bu, restui anakmu ini. Sesulit apapun aku nanti dan seberapa bahayanya aku di Jakarta, jika aku sudah mendapatkan doa serta restu darimu maka semua akan baik-baik saja dan mudah kulewati, tolonglah aku, ibu." Elis bersimpuh di depan ibunya yang hanya bisa menangis tanpa dapat mengatakan apapun.

"Lalu, bagaimana caramu nanti pergi, Lis?"

"Elis ambil hp yang disembunyikan bapak, Bu. Nanti tengah malam Elis akan pergi dengan mas Yoga ketemu di suatu tempat, tolong Elis, ya Bu."

Bu Mirna masih saja menangis tak mau memandang Elis. Ia pun juga bingung saat di hadapkan oleh situasi sulit yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apakah benar ini semua karena Ranu suaminya? Jika saja dulu dia nurut pada mendiang orang tuanya agar tidak menikahinya tak akan hidupnya akan sengsara seperti ini yang juga malah melibatkan putrinya?

Jika meminta Elis tetap tinggal ia harus mau menikah dengan Doni. Jika tinggal, Jakarta itu kota besar dan kejam. Neraka bagi kaum pendatang yang tak memiliki tujuan pasti. Tapi bagi mereka yang berduit, kota itu adalah surga. Sebab, apapun yang dimau ada di sana.

Tiba-tiba saja Bu Mira terlintas bayangan dua wajah bapak dan ibunya bagaimana dulu Saat menasehati agar tidak menikah dengan. Suaminya saat ini. Mereka berpesan menikah tidak harus dengan lelaki tampan dan anak orang kaya, cukup dia baik, tidak aneh-aneh dan bekerja keras. Orang berumah tangga itu nomor satu suaminya yang bertanggung jawab, Nduk. Tapi, apa daya ia tengah dibukan oleh cinta tak menggubris dan benar saja apa yang ditakuti mereka kini telah terjadi.

Bu Mirna menatap ke arah Elis memandang dengan tatapan mata yang susah dijelaskan.

"Cepat kemasi barangmu selagi bapak belum kembali nak, dan pergilah diam-diam nanti malam. Ibu akan mendoakan mu."

Bu Mirna nampak mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Entah itu apa Elis tidak tahu, Karena hendak kecil itu dibungkus dengan kresek berwarna hitam.

Binar bahagia terpancar jelas di mata bulat gadis itu begitu mendengar keputusan sang ibu yang merestui keputusaannya. Ia tersenyum dan berkata, "Terimakasih Ibu, terimakasih. Elis janji akan pulang dan bawa banyak uang untuk bayar hutang bapak dan bahagiakan ibu kelak doakan Elis terus ya Buuu." Gadis itu meraih tangan kanan ibunya menggenggam erat dengan kedua tangannya dan menciuminya berulang-ulang sebagai ekspresi kebahagiaan dan juga rasa terimakasih-nya.

Bu Mirna menarik tangan kanannya. Ia tersenyum mengelus kepala putrinya lalu mulai membuka bungkusan kresek itu. Lalu memberikan semuanya kepada Elis.

"Kamu gunakan dengan baik, untuk bekalmu hidup di kota nanti, Nak." Bu Halimah memberikan semua uang yang ada dalam kantrong kresek itu, uang pecahan berisi lima ribu, sebuah ribuan dan beberapa lembar saja duapuluh rinuan.

"Jangan, Bu. Ini yang ibu, udah susah payah ibu mengumpulkan kenapa harus diberikan pada Elis, Bu?" Gadis itu menolak.

"Tidak apa-apa, Nak. Ambilah, ya!"

"Tidak Bu. Elis sudah ada, selama ini Elis nabung hasil dari mengajari anak-anak, Elis sudah ada uang, Bu."

"Ini kamu terima buat tambah, atau ibu tidak akan tenang karena terus memikirkan mu?" Bu Mirna terus memaksa, akhirnya gadis itu pun menerima pemberian ibunya meski sebenarnya dia sangat tidak tega.

Tepat di malam hari, pukul satu di mana bapaknya Elis sudah tidur sekitar satu jam lalu, tentunya ia juga sudah sangat pulas, Elis mengabari Yogi melalui pesan chat dan mengajak pria itu bertemu di jembatan penghubung jalan besar dan jalan kecil ke desanya.

Dengan sangat berhati-hati. Elis melangkahkan kakinya agar tak terdengar oleh bapaknya. Ia lewat pintu belakang memang sengaja tidak ditutup oleh ibunya agar saat ia keluar rumah tidak menimbulkan suara berisik dari deritan pintu itu.

Sepuluh meter dari rumah Elis melangkahkan kakinya kian cepat. Ia mulai berlari begitu mendapat chat kalau Yoga sudah ada di jembatan, menunggu dirinya. Lima menit berlari Elis pun tiba di jembatan ia bernapas terengah-engah sambil membungkukkan badan dengan kedua tangan betumpu pada lututnya.

"Maaf sudah membuatmu menunggu lama, Mas Yoga." Elis masih terengah-engah dan menggandeng tangan pria itu mengajaknya berjalan.

"Kau sudah tidak apa-apa? Ayo kita sebentar lagi tiba di jalan raya. Kita numpang truk aja agar bisa cepat sampai Jakarta," sahut Yoga, melangkah bersama Elis.

"Itu orangnya, ayo tangkap mereka dan serahkan pada juragan!"

Elis dan Yoga menoleh ke belakang keduanya terkejut, ternyata ada yang mengetahui misi mereka. Dengan cepat keduanya pun berlari dari kejaran lima orang suruhan Juragan.

"Pegangan yang kuat Elis, kita lari!" seru Yoga. Keduanya pun berlari kencang.

Tapi, naas jalanan berlumpur setelah tersiram hujan deras membuat Yoga tergelincir dan kakinya terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam. Sementara di belakang lima orang suruhan Juragan sudah kian dekat.

"Elis, limapuluh meter lagi sudah jalan besar. Kau larilah cepat. Yang dikejar oleh mereka adalah kamu!" Seru Yoga saat ia mulai prustasi tak sanggup mengangkat kakinya dari kubangan lumpur.

"Tapi, Mas. Mereka bisa saja menghajarmu nanti!" jawab Elis dengan panik masih berusaha menarik tubuh Yoga.

"Jangan pedulikan aku. Kau pegang janjiku. Aku akan terus menyimpan kalung pemberian darimu dulu sebagai buktu kalau aku akan masih tetap menungguku. Kabari aku jika sudah tiba di sana."

Dengan sedih dan beruraian air mata Elis pun melepaskan tangannya dari lengan Yoga. Dia tidak boleh menyerah. Benar kata Yoga dia harus lari dari kampung ini. Karena jika tertangkap itu akan sangat fatal.

"Baik, aku juga berjanji padamu akan selalu setua Mas. Aku tak akan melupakanmu dan akan kujaga gelang dari mu ini. Maafkan aku, Mas."

Elis pun perlari kencang menuju jalan raya. Kebetulan, ada pic up lewat yang membawa sayuran untuk dipasokan ke kota Elis pun langsung melompat di bak belakang tanpa izin pengemudinya lebih dulu.

Untuk antisipasi, ia menutup tubuhnya dengan terpal plastik yang ada di sana, jika pun berpapasan dengan orang desanya. Keberadaanya tak diketahui.