Kebahagiaan adalah dimana sebuah keluarga bisa lengkap dalam keadaan apapun. Mungkin itu pendapat bagi sebagian orang, tapi bagaimana jika keluarga mereka tidak lengkap? Apakah tidak ada sebuah kebahagiaan bagi mereka? Entahlah. Rasanya pertanyaan itu pantas di tanyakan pada bocah laki- laki berambut indigo dengan marga Go disana. Go Kyoya, bocah laki-laki dengan rambut indigo ini sama sekali berlum pernah merasakan rasanya keluarga sesungguhnya. Sejak ia dilahirkan, dirinya memiliki orang tunggal yaitu sang ibu. Ia sama sekali tak mengetahui siapakah ayah kandungnya, atau bagaimana rasanya kasih sayang seorang ayah.
Bocah berumur lima tahun ini begitu pengertian di umurnya yang masih muda. Dia tak pernah bertanya secara berlarut-larut tentang ayahnya pada sang ibu. Tapi hal ini malah menyayat hati kecil Mina. Terlebih melihat bocah itu terdiam seraya memandangi beberapa temannya yang dijemput oleh kedua orang tuanya. Bocah itu memang tak pernah mengeluh, tapi sorot yang mengatakan keirian membuatnya menyadari sesuatu. Bocah itu terlihat mirip dengannya di masa lalu.
"Kyo ...."
Kyoya berbalik menatap Mina yang memanggilnya dengan pandangan seakan baik-baik saja. Sial! Mengapa dari sebagian banyak pribadi miliknya, kenapa sifat selalu memendam segalanya sendiri inilah yang harus diwarisi bocah itu? Kenapa Tuhan begitu kejam pada mereka? Seharusnya hal ini tidak pernah terjadi. Apakah ini karma yang di berikan Tuhan? Tapi mengapa harus anak ini? Anak yang sama sekali tak mengetahui apapun.
"Kyo mau es krim?"
"..."
"Ada apa?"
Kyoya menundukan kepalanya seakan tanah yang ia pijak lebih nyaman untuk di pandangi. "Kyo mau bermain sama mamah hari ini," katanya dengan suara yang kecil.
Mina terdiam tatkala permintaan buah hatinya itu lagi-lagi tidak bisa ia penuhi. Ia mengerti rasa kesepian yang di alami Kyoya, tapi tanggung jawabnya untuk bekerja pun harus di penuhi jika ia masih mau menyambung hidupnya agar lebih baik. Mina berjongkok di hadapan Kyoya dan mengusap surai indigo buah hatinya.
"Bukankah akhir pekan nanti Kyo dan mamah akan piknik berdua? Mamah sudah janji denganmu, bukan? Jadi, jadilah anak baik untuk mamah, mengerti?"
Bocah indigo memainkan jari jarinya seraya terus menunduk menanggapi perkataan sang Ibu. Bocah itu mengerti bahwa Ibunya bukan tidak mau bersama dengannya. Tapi sebagaimana anak lainnya, Kyo pun ingin bisa berlama-lama dengan orang tuanya. Apakah itu salah? Apakah ia terlalu memaksa?
"Bagaimana jika hari ini mama buatkan kue untuk menemani Kyo di rumah?" Kyoya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya pada tanah di bawahnya. Mina tersenyum tatkala mendapat tanggapan kecil dari Kyo, meski dia tau kue saja belum cukup untuk menutupi rasa kesepian sang buah hati.
**
Go Kyoya, bocah kecil dengan rambut indigo kelam itu memandang keluar dari jendela rumah tua yang ia dan ibunya tempati. Di tangan kirinya, sebuah handphone di pegang begitu erat seperti saran sang ibu yang menyuruhnya membawa alat tersebut kemana pun ia pergi. Bukan apa-apa, hanya saja meninggalkan seorang anak di rumah sendirian itu sangat berbahaya. Mina tahu konsekuensinya tapi apa daya jika itu harus ia lakukan demi dirinya dan sang buah hati.
Rasanya begitu sepi dan hening yang Kyoya rasakan. Setiap hari melalui siang seperti ini rasanya sangat kesepian. Ia butuh hiburan, ia ingin keluar untuk bermain, ia ingin ibunya bermain dengannya, tapi itu tidak mungkin, Kyoya tahu itu. Kyoya memanyunkan bibir saat menyadari kue-kue yang di buatkan oleh mamahnya tidak membuat suasana di tempat itu berubah atau lebih baik. Ia ingin keluar.
Ah, entah mengapa tiba-tiba saja ia mengingat seorang pria yang pernah menemaninya ke tempat sang ibu beberapa hari yang lalu. Seorang pria dengan rambut sedikit keriting berantakan yang sangat mirip dengannya, dan bahkan sangat akrab dengan sang ibu. Pria itu sangat baik dan sepertinya dia adalah teman sang ibu. Rasanya ia ingin bertemu lagi dengan pria itu, tapi apakah pria itu melewati rumahnya lagi seperti beberapa hari yang lalu? Ah, rasanya tidak mungkin. Jika memang benar, tidak mungkin pria itu bisa melihat Kyoya yang berada dalam rumah seperti ini.
Kyoya mengembungkan pipinya. "Kyo benci Mama," gumamnya menyadari bahwa dia seperti di isolasi di rumahnya sendiri.
"Umm?"
Mata bulat Kyoya membesar tatkala pandangannya menangkap rambut indigo berantakan tengah berjalan mendekat ke arah rumahnya dan berhenti di gerbang. Mungkinkah? Jika benar pun, tidak mungkin orang itu dapat melihatnya. Yah, itu pemikirannya sampai pria di bawah sana menengadah ke arah salah satu jendela lantai dua yang tepatnya adalah jendela kamar tidur Kyoya. Pria itu tersenyum ramah kearahnya dan mulai melambaikan tangannya ke arah bocah tersebut. Sepertinya pria itu menyadari keberadaan Kyoya.
Senyum bocah itu mengembang seketika dan dengan melupakan nasihat sang ibu, bocah itu membuka pintu balkon dan berlari ke arah pagar pembatas lantai dua lalu melambaikan tangannya dengan riang pada pria yang menjadi teman ibunya itu. Ya ampun, Mina harusnya kau melihat betapa kesepiannya anakmu.
"Paman!"
**
Beruntung bagi Mina hari ini. Ya, sangat beruntung jika mengingat ia mendapat tips lebih dan pujian langsung dari customernya terlebih dia diperbolehkan pulang lebih awal hari ini hingga dirinya bisa membelikan es krim vanila kesukaan Kyoya. Biasanya ia hanya membelikan es krim vanila bungkusan, sekarang dengan adanya rezeki ia sudah membelikan es krim vanila paling enak yang sudah direngekkan Kyoya sejak beberapa minggu lalu. Mina yakin bahwa anaknya itu pasti senang, sesenang dirinya mendapatkan es krim. Ah, mempunyai selera yang sama itu tidak buruk juga ternyata.
"Mama pulang, Kyo."
Mina membuka pintu rumahnya dengan perasaan bahagia hingga matanya terfokuskan pada sepatu phantopel yang tertata rapi di dekat pintu. Seingatnya, ia sama sekali tidak pernah membeli sepatu phantopel apalagi model pria seperti ini. Siapa yang datang ke rumahnya? Apakah penyusup? Tidak! jika penyusup, Kyoya pasti tidak akan membukakan pintu baginya.
"Kyo."
Mina melepaskan sepatu yang ia pakai sebelum kembali melangkah lebih jauh memasuki rumah huniannya. Perlahan dia mulai mendengar suara tawa dan obrolan dari arah ruang keluarga. Siapa yang datang kemari hingga membuat Kyoya tertawa seperti itu? Padahal setaunya, Kyoya sangat susah untuk di ajak bergaul karena sifatnya yang agak pendiam bahkan di taman kanak-kanak pun bocah itu hanya memiliki beberapa teman saja. Rasa penasaran dan khawatir Mina membuatnya melangkah perlahan ke ruang keluarga. Bukan tanpa alasan ia melangkah seperti ini, ia hanya berhati-hati karena bisa saja yang bersama Kyo seorang penjahat dan jika ia terburu-buru maka anaknya akan dalam bahaya.
"Kyo?"
"Mama!"
Mata obsidian milik Mina itu kini bersibobok dengan cerahnya warna shappire dari seorang pria yang tengah memangku anaknya seraya memegang sebuah buku. Mina terdiam seakan terhinoptis dengan cerahnya bola mata pria tersebut bahkan ia melupakan panggilan riang anaknya saat melihat sang ibu yang tengah berdiri di ambang ruang keluarga.
Len--pria itu-- tersenyum menyambut kepulangan sang ibu dari anak yang di pangkunya. "Selamat datang, Mina."
Mina mengerjapkan mata tatkala menyadari kebodohannya saat ini. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Mina pada pria itu.
"Aku hanya berkunjung dan sedikit bermain dengan jagoan kecilmu ini." Len mengusap surai indigo milik Kyoya dengan gemas dan mendapati tanggapan senyum bahagia dari yang di elus.
"Bukankah sudahku bilang untuk tidak membukakan pintu pada siapapun, Go Kyoya?" Mina menekankan nama Kyoya agar bocah itu mengerti seberapa bahayanya membukakan pintu bagi sembarangan orang dan seberapa khawatirnya dia terhadap bocah itu.
Kyoya menunduk tatkala mendapat nasehat dari sang ibu. "Maaf," gumamnya dengan nada suara yang mengecil.
Melihat kyoya yang seperti itu, Len hanya dapat tersenyum. "Sudahlah, Mina. Ini bukan sepenuhnya salahnya. Lagipula aku bukan orang asing, bukan? Aku ini sahabatmu." Len memeluk tubuh kecil Kyo dengan gemas. "Benarkan, Kyo?"
"Umm!" Kyo mengangguk semangat menanggapi perkataan Len.
"Lagipula, bukankah seharusnya kau pulang sekitar pukul sembilan malam? Dan sekarang baru pukul 06.30 sore, apakah terjadi sesuatu?"
Mina menaikan sebelah alisnya saat mendengar Len yang mengetahui jadwal kerjanya. "Siapa yang memberitahumu tentang jadwal kerjaku?" tanya Mina.
"Kyoya."
Mina menghela nafas saat tahu bahwa anaknya sendiri yang membongkar kegiatan sehari-harinya pada orang yang dihindarinya selama ini. "Baiklah-baiklah," jawab Mina dengan malas. "Lalu mengapa kau masih berada disini? Seharusnya kau pulang." Sambung Mina dengan niatan mengusir Len dengan cara halus.
"Sebentar lagi. Aku masih ingin bermain dengan, Kyo," jawab Len seraya menarik pelan pipi Kyo yang seketika mendapat tanggapan dengan kembungan pipi chubby bocah laki-laki itu. Kyo memang paling tidak suka jika pipinya ditarik-tarik seperti itu.
"Tidak bisa!" Tegas Mina. "Bagaimana pendapat orang jika seorang pria datang hingga larut malam di tempat seorang wanita yang telah berkeluarga? Bukankah kau juga sudah memiliki keluarga, Len? Apa kau mau gosip itu terdengar oleh, Narumi? Jadi pulanglah." Jelas Mina.
Kini bukan Mina yang menghela nafas, melainkan Len. "Yah, kau benar. Aku harus pulang sekarang." Len mengangkat tubuh mungil Kyoya dari pangkuannya dan mendudukan anak itu di sofa sebelahnya lalu bangkit dari posisi duduknya.
"Paman sudah mau pulang?" Tanya Kyoya dengan raut kesedihan.
Melihat wajah sedih Kyoya, Len pun berjongkok di hadapan Kyoya seraya tersenyum padanya. "Maaf, Kyo. Paman harus pulang sekarang karena bibi Narumi sudah menunggu di rumah." Len mencoba memberi pengertian pada Kyo.
"Umm ...." Kyoya menganggukkan kepalanya masih dengan wajah sedihnya. "Tapi paman Len akan bermain dengan Kyo lagi kan?" tanya bocah itu.
Len mengangguk menanggapinya. "Paman akan bermain lagi dengan Kyo nanti," kawab Len yang mendapat tanggapan senyuman bahagia dari wajah Kyo. "Kalau begitu, paman pulang dulu. Jadilah anak baik, jangan buat Mamamu marah." Len mengusap gemas pucuk kepala Kyo sebelum ia berdiri dari posisi jongkoknya.
Len melangkah kan kakinya menuju pintu depan rumah dengan Mina yang berjalan di belakangnya. Setidak inginnya Mina melihat Len berada di rumahnya, ia tetap menjaga sopan satunnya dengan mengantarkan Len hingga pintu depan. Ia pun menunggu Len dengan sabar hingga pria itu memakai sepatunya dengan rapi dan hendak keluar dari rumahnya.
"Baiklah, sampai jumpa besok."
Mina menatap datar ke arah Len yang memberikan salam perpisahan padanya. "Jangan pernah datang ke rumah ini lagi, " kata Mina datar.
Senyuman Len yang tadi sempat ia berikan saat mengucapkan salam perpisahan itu pun memudar. "Ada apa denganmu sebenarnya?" tanya Len yang sama sekali tak mendapat tanggapan dari wanita di hadapannya ini. "Sejak pertama bertemu denganmu di cafe, aku selalu merasa bahwa kau telah berubah. Kau bukan Mina yang ku kenal, siapa kau? Mengapa kau merubahnya? Apa yang terjadi pada Mina?"
Mina mengalihkan pandangannya ke arah lain seraya menunduk. "Pulanglah, dan jangan pernah berpikir untuk melangkah ke dalam rumahku lagi. Jangan mengganggu kehidupanku dan Kyoya lagi," ucap Mina.
"Baiklah, jika itu yang kau mau. Tapi aku akan tetap menepati janjiku dengan Kyoya, permisi."
Suara pintu yang tertutup seakan mengatakan bahwa sang tamu telah pergi dari rumah tersebut. Entah mengapa, suasana di pintu depan itu pun seakan berubah drastis. Suasana panas atas sedikit perdebatan tadi kini berubah menjadi sebuah keheningan yang menyakitkan. Menyakitkan, begitu menyakitkan bagi Mina jika pria itu setiap hari datang ke tempat ini. Demi dirinya, demi keluarganya dan demi pria itu, ia harus menjadi peran penjahat dalam kehidupan.
"Demi Kyoya."
***