Perlahan Alea berjalan menuju ke meja yang sudah disediakan oleh Max kusus untuk dirinya bekerja, di dalam satu ruangan bersamanya. Dipandanginya meja tersebut, tmpat yang sudah hampir tiga bulan ia tempati, dan sudah dua minggu juga ia tinggalkan. Tiba-tiba saja, terselib rasa rindu di dalam hatinya. Entah, rindu pada meja dan pekerjaannya yang selalu banyak, menumpuk serta setiap hari selalu menunggu deatline, atau pada sosok pria yang selalu duduk tenang dengan mimick wajah selalu serius di seberang mejanya sana.
Diam-diam Alea tersenyum seorang diri, ia merasa geli dan aneh saja. 'Apakah seperti ini rasanya jatuh cinta? Ya, mungkin juga demikian,' ucap Alea dalam hati.
"PINK!"
Denting pinsel di dalam saku kemeja yang ia kenakan membuyarkan dirinya dalam lamunan. Ternyata, itu adalah pesan dari ibunya. Alea kembali tersenyum setelah membaca isi pesan tersebut yang isinya mengingatkan dirinya agar tidak terlalu capek. Tidak hanya itu, bahakan ibunya juga sudah menitipkan dirinya pada Axel supaya lebih menjaga kesehatannya dan tidak terlalu keras dan gila dalam bekerja. Padahal, selama ini yang membuatnya nampak gila dengan pekerjaan adalah hobi menulisnya yang juga dapat menghasilkan uang jutaan rupiah. Hanya saja, tidak ada yang tahu akan itu. Jelas saja, Alea tidak memberitahukan itu pada sang ibu. Karena yang dia tulis adalah real story. Meskipun dalam buku itu sudah tertuliskan fiksi, itu hanya cara dia, agar bisa meluapkan apa yang ia rasakan serta tidak terkesan membuka aib dirinya. Toh, teman-teman yang kenal dengannya juga tidak tahu pasti seperti apa Alea yang sebenarnya. Yang mereka tahu, Alea adalah sosok yang tenang, kalem, baik dan suka memberi kata-kata motivasi pada siapapun yang curhat padanya.
Karena ini masih baru pukul tujuh pagi, Alea bermaksut pergi ke kantin untuk memesan satu cup kopi hitam agar tidak ngantuk. Dua minggu cuti tidak bekerja dan banyak menghabiskan waktunya untuk tidur membuat ia menjadi ngantuk saja jam segini. Entahlah, mungkin juga efek obat yang ia konsumsi semalam yang juga dapat mengakibatkan kantuk.
Baru saja Alea keluar dari ruangan tersebut, "Secangkir kopi hitam manis untuk tuan putri yang kembali," ucap seorang pria berkulit kuning langsat dan berpawakan tinggu besar serta gagah. Walaupun dia tidak setinggi dan segagah CEO di perusahaan ini, Axel Maxmiliam. Tapi, sebagai pria lokal, dia adalah sosok yang maskulin dan ganteng banget.
"Ah, Andra! Kok kamu tahu sih akum au memesan ini? Terimakasih, ya?" ucap Alea sambil tertawa lepas dan menerima cup tersebut dari tangan Andra. Teman kantornya yang paling koplak. Namun, ia menyukainya. Bagaimana tidak? Dia baik, dan juga humoris.
"Bagaimana kondisi kamu? Apakah sudah benar-benar sudah baikan? Jika kau merasa keberatan dengan tugas yang bos berikan padamu, kau boleh meminta bantuan padaku, oke?" ucap Andra sambil berjalan menuju balkon, dan menumpukan lengannya di atas pagar sambil melihat pemandangan ibu kota yang dipenuhi dengan Gedung-gedung besar pencakar langit yang menjulang tinggi.
"Aku sudah baikan. Makanya aku kembali bekerja. Kamu apa kabar? Kok sekalipun tidak jenguk aku ke rumah, sih? Aku cuti lama banget, lo padahal," ucap Alea.
Andra hanya diam tidak bisa menjawab pertanyaan dari Alea. Mau jujur pun juga tidak nyaman. Ia taku, kalau itu justru malah membuatnya tersinggung dengan mengira kalau dia adalah type cewek matrealistis. Tapi, mau berkata apa juga sepertinya percuma. Andra tidak pandai mencari alasan apalagi berbohong. Buktinya, ia juga sebenarnya memang merasa minder dengan keluarga Alea yang sepertinya memang orang tajir melintir.
"Ndra, kok kamu diam saja? Kenapa?" tanya Alea sekali lagi. Sambil matanya lekat memandang kea rah Andra.
"Oh, tidak. Aku tidak kenapa-kenapa kok, Alea. Aku hanya merasa tidak nyaman saja. Gak ada teman yang bisa diajak ke rumah kamu. Aku takut sama bapak kamu kalau datang sendiri," ucap Andra sambil tertawa, namun sangat pelan-pelan.
Jelas, hal itu membuat Alea kaget. Sempat matanya melotot karena ia takut Andra tahu tentang kondisi ayahnya yang sekarang. Hanya saja, Alea segera memasang wajah santai dan datar seperti sebelumnya. Memang dalam mengelola emosi Aela juaranya. Semarah apapun, dia bisa menyembunyikan kemarahan itu. Tapi, setelahnya, ia bisa bertindak tidak manusiawi dan lebih buruk dari seekor binatang.
"Hahaha, memang kenapa takut sama ayahku?" tanyanya dengan raut wajah tenag tanpa beban, meskipun di dalam hati juga ia benar-benar was-was. Bahkan, kini darah ya juga terasa mengalir lebih deras dari biasanya.