Axel tersenyum sambil memandang Alea.
Berhubung Alea menolak untuk di antar pulang, maka ia hanya menemani di pinggir jalan sampai taxi online yang dia pesan datang.
Alea memandang ke arah pria tersebut sebelum masuk ke dalam mobil, melihat wajah itu tersenyum lembut penuh wibawa.
Namun, begitu Alea membuka pintu mobil, Axel giliran yang memanggilnya, "Alea!"
Alea berhenti kembali menoleh padanya, "Iya." bingung.
"Hati-hati, ya!" serunya, canggung.
"Iya. Kau juga hati-hati di jalan," balas Alea dengan senyuman terbaiknya. Tak lupa ia melambaikan tangan dari jendela mobil.
Setelah taxi online yang membawa Alea lenyap dari pangannya, Axel memutar tubuhnya menuju ke arah parkiran. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati Wulan duduk di jok depan dengan posisi lutut terlipat wajahnya terdunduk.
"Wulan, kukira kau langsung pulang," ucap Axel, sambil memasang sabuk pengaman.
"Rencananya sih gitu, tapi urung." Gadis itu menggeser posisi duduk lebih dekat dengan pria yang sudah dia anggap kakaknya sendiri.
"Kenapa sih kamu? Kaya orang habis lihat setan saja?"
"Bahkan ini lebih serem dari setan, Xel." Matanya masih lurus ke depan. Seolah, ia antara sadar dan tidak ketika berkata.
"Kok bisa?" Tertawa kecil.
"Iya, setan dibacakan ayat kursi pergi, la ini, dilempar kursi aja belum tentu pergi, kecuali tepat pergi selama-lamanya."
"Huys! Ngomong apa sih kamu? Pasti kamu lapar, makanya nglantur kemana-mana."
"Iya, aku lapar banget Xel, dari siang belum makan... Mau makan malam malah... "
"Malah kenapa?"
"Kita cari makan saja. Aku pengen ayam betutu. Nanti, di rumah kuceritakan padamu." Baiklah.
Akhirnya, mereka berdua pun kembali berbelok ke rumah makan. Meskipun hanya Wulan yang makan. Tapi, tidak mungkin juga, kan dia tidak ikut menemani duduk? Meskipun hanya minum dan memesan jamur krispi. Lagipula, daya tampung lambung Axel juga lumayan besar.
Setelah makan malam, mereka berdua memutuskan untuk pulang ke rumah.
"Ini sudah malam. Kau segeralah tidur," ucap Axel ketika ia hendak merebahkan tubuhnya di atas ranjang tiba-tiba saja Wulan masuk ke kamarnya mengenakan piyama lengan panjang dan celana panjang.
"Aku numpang tidur di sini, ya? Aku benar-benar takut."
"Astaga, Wulan!"
"Kalau saja tante Elizabeth ada di rumah, aku juga tidak mau satu ranjang sama kamu!" cetus gadis itu membuat Axel terkejut.
"Apa, seranjang? Tidak! Aku tidur di sofa saja," jawab Axel beranjak sambil membawa satu bantalnya.
"Kau ini kenapa, sih? Seperti pihak yang dirugikan saja jika seranjang berdua. Padahal, di sini yang statusnya perawan itu aku, bukan kamu."
"Baik. Aku tidak akan macam-macam sama kamu," jawab Axel sambil menelan ludah mendengar betapa vulgarnya gadis kecil yang sepertinya baru kemarin selalu dia gendong belakang saat terjatuh saat bermain.
Di dalam kamarnya, Alea terus terbayang-bayang dengan apa yang Axel lakukan padanya nanti. Hangat dan lembutnya kulit bibir pria itu di bibirnya masih sangat terasa. Sehingga, ia pun tidak bisa tidur semalaman karena masih memikirkan ciuman pertamanya tadi.
***
Suatu sore, di kediaman rumah Axel...
Perlahan Wulan melangkah mendekati Axel yang tengah asik dengan lap topnya. Dengan ragu-ragu Wulan memulai pembicaraan, "Xel, ada yang mau aku bicarakan sama kamu."
"Mau bicara apa? Bicara saja!" Pria itu meletakan laptop dari pangkuannya ke nakas, matanya lekat memandang Wulan yang semakin nampak bimbang.
"Gadis itu berbahaya, buang jauh-jauh perasaanmu terhadapnya, Xel."
"Berbahaya?" ekspresi mimiknya nampak bingung tak mengerti.
"Ya, sedikit banyak aku tahu dari orang dekat Andrea, jadi kesimpulan yang kuambil berdasarkan tulisan dan kisah dirinya, dia menulis apapun perjalanan hidupnya dan menjadikannnya sebuah novel, jadi jika dia menulis soal psycopath bisa jadi dia juga seorang psyco, terlebih Revanda dalam tokoh karya terbarunya juga suka meletakan pisau pada pinggangnya." wajah Wulan semakin terlihat pucat, takut Axel tidak terima atau lebih parahnya lagi yang dibicarakan mendengar lalu menyerangnya, mencabik-cabik tubuhnya seperti dalam film psycopat. Wulan semakin termakan halusinasinya sendiri.
Axel berusaha tenang, dia tidak dapat mengelak tentang keanehan Alea, "Tapi dia kan bukan Andrea, Wulan. Dia Alea." memegang kedua pundak Wulan, menenangkan.
"Max. Andrea itu adalah Alea, nama asli dia dalam kehidupan nyatanya memang Alea Rafika Putri, tapi dalam literasi nama penanya adalah Andrea S," jelas Wulan panjang lebar.
Mendengar itu cukup membuat Max terkejut, terlihat dari mimik yang berubah serta matanya langsung melotot, "Kau serius Wulan?"
"Jika kau tidak yakin, aku memiliki data-datanya, ayo ikut aku!" ajak Wulan.
Di kamarnya Wulan menyalakan lap topnya membuka file-file mencari data-data setiap penulis yang menerbitkan karyanya di tempat ia bekerja. Di sebuah nama Andrea S ia berhenti dan menunjukan pada Max.
"Kau lihat, emailnya, juga foto ktp miliknya, apalah aku salah?" ucap Wulan penuh kemenangan setelah berhasil memperlihatkan bukti-bukti pada Axel.
Axel hanya tercengang, melihat itu semua.
"Maaf, jika aku tidak mematuhi ucapanmu agar tidak mencari tahu tentang hal yang tak kutahu. Mungkin aku akan tenang, jika tidak mengetahui akan hal itu. Tapi, aku tidak mau, ketidak tahuanku yang membuat tenang malah akan membuat kau menghilangkan jika kelak tanpa sengaja menyinggung gadis itu."
Puas mengatakan apa yang memang ingin dia katakan sebelumnya, Wulan pergi meninggalkan Axel yang masih tercengang dengan data-data Alea yang masuk ke dalam kantor Wulan sebagai seorang penulis yang hendak menerbitkan karyanya.