"Yah, yah terserah saja. Memangnya aku peduli apa?" Asia menjawab dengan nada malas. Sungguh gadis itu tak ambil pusing akan ancaman Nandini. Selama Nandini tak berusaha mendekat pada Alexi maka wanita gila itu akan baik-baik saja.
Nandini mendengus kemudian bergerak masuk ke dalam restoran. Tak lama setelahnya muncul Alexi dengan semringah khas. "Ayo sayang kita pergi."
Asia lalu dirangkulnya dan berjalan menuju mobil yang terparkir. Sejak kapan mobil Alexi berada di situ ya?
Sepanjang perjalanan menuju kediaman mereka, Asia lebih banyak diam sambil menatap Alexi baik-baik. Tapi jangan salah sangka, dia tak memikirkan Alexi melainkan cinta pertama sang suami.
Ini memang bukan hal yang penting namun mengganggu pikiran Asia. "Alexi," ucap Asia pelan.
"Hmm ...."
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tentu, silakan." Asia diam sebentar dan berdeham sebelum melontarkan suatu pertanyaan untuk suaminya.
"Siapa itu Faranisa?" Mobil milik Alexi perlahan berhenti tepat di depan garis zebracross sementara lampu lalu lintas berwarna merah.
"Apa?" tanya Alexi tidak mendengar terlalu jelas.
"Faranisa, siapa dia?" Alexi mengalihkan pandangan ke depan sebentar dan memandang lagi pada Asia.
"Kenapa kau ingin tahu tentang dia?"
"Cuma mau tahu saja memangnya tak boleh?" Alexi menggeleng.
"Aku pikir kau sedang cemburu." Kekehan Alexi menciptakan rasa kesal dari Asia dan dengan nada mengancam dia menyahut.
"Kau mau menjelaskannya atau mau dapat tamparan dariku?"
"Iya, iya aku akan jelaskan. Dia sahabatku, kami bersekolah dan sekelas juga."
"Apa sangat dekat?" tanya Asia tiba-tiba.
"Bisa dibilang begitu, di mana aku dan Adya pergi Faranisa selalu ikut."
"Lalu perasaanmu padanya?" Seketika itu juga Alexi melihat ke arah Asia dengan pandangan bingung.
"Maksudku sebelum kau bertemu denganku. Kau harus jujur!" Detak jantung Asia berdetak dengan cepat. Dia akan mencoba untuk tetap mengerti kendati mungkin akan menyakiti hati Asia.
"Aku ... mengaguminya." kata Alexi lambat sekaligus pelan. Rupanya Alexi menaruh perhatian jalan raya.
"Benarkah?"
"Iya, aku jujur."
"Bukankah kau menyukainya?"
"Itu benar, tapi itu dulu. Aku tidak memiliki perasaan lagi padanya tapi sama kamu sayang." Asia tersipu malu akan panggilan sayang dari Alexi namun bukan Asia namanya jika dia tak judes.
"Jangan menggodaku!"
"Kau manis sekali saat merona."
"Sudah kubilang jangan menggodaku!" seru Asia sementara tas yang berada di tangan siap untuk mendarat di tubuh Alexi.
"Jangan memukulku, kalau aku tak fokus kita berdua dalam bahaya." Alasan Alexi cukup masuk akal sehingga Asia pun memendam kekesalannya dengan mendengus dan membuang muka.
Untuk beberapa saat mereka diam karena sibuk dalam pikiran masing-masing. "Alexi, kalau Faranisa datang ... kau akan melakukan apa?"
"Tentu saja aku menyambutnya dengan baik. Dia itu sahabatku juga. Apa kau cemas jika aku lebih condong pada Faranisa?" Asia tak menjawab dan memilih untuk merenung saja. Hanya sekali tatap saja Alexi tahu kalau Asia tak nyaman.
Alexi mengembuskan napas panjang lalu menggenggam tangan milik Asia. "Asia, aku memilih untuk melamarmu bukan dengan Faranisa. Percayalah, aku mencintaimu."
"Ya, aku tahu itu." Asia melepaskan genggaman dan kembali melihat ke arah luar. Ditepuknya kedua pipi yang Asia yakin makin merah.
"Sial, bisa-bisanya aku tersipu malu." Asia tak menyadari jika Alexi mendengarnya dan tersenyum.
Sampai di rumah, Asia segera berjalan ke dalam rumah, lebih tepatnya di kamar. Dia mengunci kamar seakan itu kamarnya sendiri sedang Alexi mengikuti dari belakang.
Diketuknya pintu agar Asia tahu kalau dia berada di luar. "Pergi! Aku tak mau "
"Tapi Asia ini kamarku juga. Ada sesuatu yang harus aku ambil." Tak lama setelah itu terdengar suara kunci terbuka. Muncul Asia dengan menundukkan kepala, dia malu karena perbuatannya sendiri.
Alexi cuma bisa menggelengkan kepala lalu masuk untuk mengambil sesuatu. Tak lama dia keluar dan memberikan kecupan di pipi sang istri. "Aku pergi dulu."
Pria itu pergi secepat mungkin membiarkan Asia berdiri sendirian terpaku. Takutnya Asia akan memukulnya.
❤❤❤❤
Di sisi lain Adya menggenggam ponsel dan melihatnya sangat lama. Dia tengah menimbang-nimbang, apakah Adya harus menelepon orang itu atau tidak? Pada akhirnya Adya dengan berat memutuskan untuk menelepon.
Kini suara tersambung bisa didengar oleh Adya akan tetapi mulutnya terus berkomat kamit agar orang yang dia telpon tak mengangkat sayangnya itu hanyalah mimpi semata. Dia mengangkatnya dan terdengar suara lembut si wanita.
"Halo?" Adya membuang napas berat dan membalas dengan nada pelan.
"Halo Faranisa, sudah lama kita tak saling bicara."
"Adya? bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja bukan? Aku sangat rindu padamu dan Alexi. Aku ada di Jakarta sekarang tapi Ibunya Alexi mengatakan kalau kalian masih bekerja di Jepang. Kapan kalian pulang?"
"Kapan-kapan. Aku baik-baik saja; begitu juga dengan Alexi, kami juga merindukanmu. Bagaimana kabarmu juga keluarga yang ada di sana?"
"Kami semuanya sehat. Seminggu yang lalu aku datang mengunjungi Ayah dan Ibumu. Oh ya Adya, berikan aku nomor telepon Alexi dong aku mau bicara sama dia, rindu sekali." Adya tersenyum hambar.
"Rindu sebagai sahabat atau yang lain?"
"Adya jangan menggodaku! Kau sudah tahu bagaimana perasaanku sama dia, hanya saja aku belum sempat bilang." Senyuman Adya lalu lenyap berganti dengan raut wajah serius.
"Faranisa, dengarkan aku baik-baik. Apa pun yang aku katakan aku mohon jangan sedih ok?"
"Ada apa? Alexi punya pacar? Kalau itu aku sudah kebal jadi aku tak akan termakan omonganmu lagi."
"Nisa ... Alexi sudah menikah." sahut Adya.
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!