Chereads / Forgive Me, Snow / Chapter 24 - Kapan Keajaiban Itu Datang?

Chapter 24 - Kapan Keajaiban Itu Datang?

Indonesia, 21:23 -

Snow bergerak gelisah di tempat duduknya sambil terus memperhatikan Aldean dan teman-temannya yang tengah lahap menikmati mie instan buatannya.

Snow belum pernah kembali sedikitpun ke rumahnya, sehingga membuat wanita itu khawatir dan takut kalau ibu tirinya nanti marah besar kepada dirinya.

Snow yakin sekali kalau pasti ibu tirinya marah besar kepada dirinya saat pulang nanti, mengingat kalau sang ibu tiri selalu saja meminta dia untuk membuat makan malam. Ya, walau mereka berkecukupan pembantu, tetapi Andin sangat suka sekali menyuruh Snow untuk memasak makan malam atau bahkan sarapan pagi.

"Lo kenapa kayak cacing kepanasan gitu?" tanya Putra yang tidak sengaja melihat tingkah laku Snow yang bergerak gelisah.

"Apa aku boleh pulang sekarang? Aku takut kalau nanti orang-orang di rumah mencari aku," jawab Snow pelan dengan nada suara tertahan.

"Emangnya, lo masih punya keluarga yang mau nerima keadaan mau itu? Ah ... Maksud gue, emangnya lo masih punya keluarga yang nggak malu punya anak burik dan buluk kayak lo?" tanya Tomi sambil terkekeh kecil dan diikuti oleh Putra.

"Aku punya keluarga. Biarpun muka aku jelek kayak gini, bukan berarti kalau aku tidak punya keluarga!" seru Snow karena tidak terima dengan hinaan Tomi dan juga Putra.

Tomi melemparkan garpu yang dia pegang tepat ke arah wajah Snow, membuat wanita itu berusaha untuk menahan rasa kesalnya.

"Mana ada gue bilang kalau lo nggak punya keluarga? Gue cuma bilang, emangnya keluarga lo itu mau terima lo sebagai keluarga mereka? Lihat aja sama tampilan lo yang mengerikan itu," ledek Tomi.

Tomi dan Putra memecahkan tawanya dengan begitu keras, sedangkan Ryan dan Aldean hanya diam saja sambil menyantap makanan mereka dengan santai.

Snow menundukkan kepalanya dengan pelan saat mendengarkan semua kalimat yang ke luar dari mulut Tomi. Kalimat yang ke luar dari mulut pria itu benar-benar membuat Snow merasa sedih dan seakan-akan dianggap kalau dia tak berhak untuk bahagia walau hanya sedikit pun saja.

"Mending lo pulang aja kalau emang lo rindu sama keluarga lo," sahut Ryan tiba-tiba.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Tomi buru-buru memberikan segelas air untuk Aldean yang baru saja terbatuk, sedangkan Aldean dengan begitu cepat meneguk air yang diberikan oleh Tomi untuknya.

Aldean menatap Ryan dengan tatapan yang begitu tajam. Ryan yang tahu dengan tatapan temannya itu hanya bisa menghembuskan napasnya dengan panjang.

"Kalau lo cuma tahan dia di sini tanpa dia lagi ngelakuin apa-apa, sama aja kalau lo nambah bakteri di dalam basecamp ini. Lo tahu sendiri kalau dia itu cuma hama dan hama itu bisa nebar bakteri ke sana ke mari," jelas Ryan.

Tomi, Aldean dan Putra langsung tertawa dengan begitu deras saat mendengarkan penuturan yang ke luar dari mulut Ryan.

"Lo emang pendiam banget, Ry. Tapi, sekali lo buka suara, itu kalimatnya beneran nusuk sampai ke ulu hati!" seru Putra sambil bertepuk tangan dengan begitu keras untuk memuji kalimat sarkas yang ke luar dari mulut Ryan.

Snow menatap Ryan dengan nanar sambil menghembuskan napasnya dengan begitu panjang.

Kenapa semua orang mudah sekali untuk mengatakan kalimat seperti itu kepada orang lain. Apakah mereka tidak merasa bersalah dan merasa kalau kalimatnya itu akan menyakiti hati orang lain?

"Ya udah kalau gitu. Lo pulang aja dan nggak usah tinggal di sini lama-lama. Ini tempat bisa penuh bakteri sama virus kalau lo lama di sini," perintah Aldean.

Snow yang mendengarkan itu langsung dengan cepat mengambil tas ranselnya, lalu berlari ke luar dari basecamp itu tanpa menunggu izin lagi. Dia takut kalau nantinya Aldean berubah pikiran dan malah menahan dia lebih lama lagi di tempat ini.

Snow tidak akan membuang kesempatan ini dan dia akan berlari dengan cepat untuk kembali ke rumahnya, mengingat kalau dia tak bisa menyewa angkutan umum karena dia tidak memegang sepeser uang lagi.

***

Sekitar beberapa puluh menit Snow berjalan sendiri di malam hari itu, akhirnya dia sampai juga di rumahnya dengan selamat.

Snow bersyukur kepada Tuhan karena dia bisa pulang dengan selamat tanpa ada lecet sedikitpun, walaupun dia yakin kalau nanti dia akan mendapatkan hukuman yang berat dari Andin.

Snow menekan pintu bel rumah itu berkali-kali dan berharap agar seseorang membukakan pintu untuknya.

Tak lama, seseorang membuka pintu rumah itu.

"Loh! Nona Snow baru balik, yah?!" seru Lastri dengan kaget saat melihat kedatangan tuan rumahnya itu.

Snow menganggukkan kepalanya dengan pelan sambil tersenyum kecil.

"Kenapa baru balik sekarang, Non? Sekarang udah mau masuk jam berapa dan Non Snow baru balik," heran Lastri karena yang dia tahu kalau anak sekolah itu tidak pulang selarut ini.

"Ah ... Saya ada pekerjaan kelompok mendadak di rumah teman, Bi. Jadi, saya nggak langsung pulang ke rumah dan langsung terus aja ke rumah teman saya," jawab Snow berbohong sambil tersenyum kecil.

Lastri menganggukkan kepalanya dengan pelan tanda mengerti, lalu dia mempersilahkan Snow untuk masuk ke dalam rumah itu.

"Untung aja nyonya besar lagi ke luar, Non. Jadi, nyonya besar nggak tahu kalau Non Snow baru datang dan pastinya nyonya besar nggak bakalan marah sama Non Snow," kata Lastri dengan penuh syukur karena tahu apa yang terjadi kepada Snow bila Andin ada di rumah ini.

Snow menghembuskan napasnya dengan lega.

"Syukurlah kalau memang Mama sedang tidak ada di rumah, setidaknya saya tidak mendapatkan pukulan lagi di tubuh saya," kata Snow dengan pelan sambil terkekeh kecil.

Lastri yang mendengarkan ucapan Snow hanya bisa menatap anak majikannya itu dengan tatapan yang sedih.

Dengan lembut Lastri menarik Snow ke dalam pelukannya, lalu dia mengusap-usap punggung anak majikannya itu dengan sangat lembut.

Snow memejamkan matanya secara perlahan sambil merasakan rasa kasih sayang yang diberikan oleh pembantunya itu kepada dirinya.

"Saya yakin kalau suatu saat nanti Andin akan mendapatkan bagiannya karena sudah menyakiti, Non. Non Snow juga pastinya akan mendapatkan balasan karena kebaikan hati Non Snow kepada semua orang," ucap Lastri dengan lembut sambil terus mengelus punggung Snow.

Snow hanya tersenyum kecil saat mendengarkan penuturan dari pembantunya itu.

Snow tahu kalau memang setiap orang akan memanen apa yang dia tanam di setiap waktunya, baik mereka bersikap negatif atau mereka bersikap positif, pasti suatu saat mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal untuk perbuatan mereka.

Tapi, yang Snow tanyakan, kapan sebuah keajaiban datang kepada dirinya untuk membuat dia bisa kembali bahagia sama seperti di masa lalunya. Snow sudah lama sekali tak merasakan kebahagiaan itu.