Chereads / URAKAN / Chapter 19 - 15.1: Merelakanmu ...

Chapter 19 - 15.1: Merelakanmu ...

Herma tak tahu harus bagaimana. Pikirannya penuh sejak semalam, hatinya pun gamang. Bernapas rasanya sesaaak sekali, tapi di satu sisi, dia tahu dia sudah tak memiliki harapan.

Kalian tahu rasanya cinta pada sahabat sendiri, tapi ditahan-tahan agar tak merusak persahabatan … eh orang yang kita jaga itu, tiba-tiba jatuh cinta pada orang lain dengan konyolnya di pandangan pertama? Remuk nggak hati? Remuk dong. Dan ya, itu yang Herma rasakan.

Kalau boleh, Herma ingin menangkap lelaki mungil yang kini kepalanya bersandar di bahu kanannya ini … mengurungnya di tempat lain dan tak membiarkan dia keluar. Ya, Herma ingin membuat Sean untuk dirinya sendiri. Dia tak ingin berbagi.

Tak adil, kalian tahu?

Herma merasakan ketidak adilan …

Dia mencintai Sean sudah lama! Sudah sejak mereka masih ingusan!

Namun dia menahan diri. Dia tak ingin hubungan mereka runyam. Herma tak tahu orientasi seksual Sean apa. Okay, ia tahu Sean menerima hubungan sejenis. Dia bahkan tidak masalah ketika mendapati Herma lagi mengehek bapak-bapak untuk dapet tambahan uang jajan. Herma tahu Sean menerimanya apa adanya … tapi jauh di lubuk hati, Herma tak ingin menodai Sean.

Jika Sean orang yang lurus …

Herma tak ingin serakah dan membuatnya bengkok.

Herma cukup menjadi sahabat yang menemaninya sampai Sean mendapatkan wanita terbaik.

Herma tak mengapa akan hal itu.

Namun lain ceritanya jika orang yang Sean cintai itu lelaki dan orang itu merespon Sean saja tidak. Heh, Herma berjuang keras untuk menyadarkan Sean jika dia kekanakan. Tapi usahanya sia-sia dan dia justru Sean menganggapnya tak peduli—seperti apa yang dia katakan pada Om Doni.

Dan ternyata pernyataan Sean yang demikian membuat hati Herma makin terluka. Yang menganga di jiwanya makin lebar.

Gaungan ucapan Ayahnya memantul-pantul di gendang Herma, [[ "Kalau dia tak mencintaimu ... bukan berarti kau harus mematikan cintanya untuk orang lain. Bukankah lebih baik kau dikenang sebagai orang baik daripada sebagai bajingan jika pada akhirnya kau tak bisa memilikinya? Herma, jadilah lelaki yang laki!" ]] membuat Herma memejamkan mata, menggigit bibirnya sendiri tuk menahan sakit hati yang mengarak di jiwa.

Herma tahu ucapan ayahnya tak salah. Dia tahu cinta tak bisa dipaksakan; bukan salah Sean tak menyadari cintanya meski sekian tahun mereka bersama. Tak adil rasanya jika dia menekan Sean, mendoktrin dia gila dengan konsep cinta hanya karena rasa suka itu bersemi di pertemuan pertama Sean dengan Mahesa. Bukankah dia setara gilanya? Bedanya dia mencintai sahabat sendiri, menjadikan orang yang bersangkutan bahan pelampiasan birahi dan memutuskan menelan semua sendiri.

Mereka sama-sama nggak benernya.

"Gua harus apa, Sen?" Herma mengelus surai-surai lembut Sean dengan tangan kirinya. Pandangannya lurus memandang ke arah langit-langit kabin, nanar. Dia merasa tak berdaya. Merasa tak rela melepas Sean, tapi mengerti jika dia tak bisa … memaksakan cinta yang dia miliki.

Haha. Inikah karma?

"Sakit, Sen. Sakit gua melihat lu bersemangat mengejar lelaki lain ..." Herma melanjutkan gumamannya, mata gelap itu berkaca-kaca, tunjukkan betapa hati rasakan kepedihan tak terperi. Sementara jarinya … terus membelai puncak kepala sang sahabat.

"Kenapa bukan gua, Sen? Kenapa?" suara lelaki tengah nan gagah itu bergetar. Bibir kuat ia gigit. Keras, dia berjuang sekuat tenaga untuk tak terisak.

Namun tanpa bisa dinyana, sebening air mengalir dari ujung mata Herma.

Dia belum siap untuk kehilangan seseorang yang selama ini dia jaga.

Dia belum siap.

Namun dia tak berdaya.

Dia hanya bisa merelakan kepergiannya dan mengantarkannya pada orang yang dia cinta.

[]