Drama atau sesuatu yang berbau Theatrical tak pernah menarik perhatian Desta Aaron Mahesa sebelumnya. Dia tipe yang tak bisa menikmati hal seperti itu. Kata si Andre, otak Hesa hanya dipenuhi oleh kerja, kerja, kerja. Meh. Si Kunyuk itu bahkan memanggilnya 'workaholic'. Walaupun benar sih.
Karena itulah, saat Hesa mengatakan dia mau berkunjung ke gedung Graha Universitas M untuk menikmati pentas seni drama, muka Andre tak bisa dikondisikan. Dia seperti melihat akhir dunia dan berujung memaksa Hesa untuk mengajaknya serta. "Nggak mauuu! Pokoknya aku mau ikuuut dan kamu harus berangkat sama akuuu! Aku nggak mau ada Wijaya di antara kitaaaaa," kata si rambut cepak itu tadi. Sumpah, kadang Hesa tak habis pikir, si Andre ini badan doang yang kekar, seksi, berisi macem atlet-atlet, jiwanya kek bocah.
Dan yak, itu berujung dengan Hesa terpaksa membawa Andre kemari, mereka berangkat berdua. Hesa menyesalinya sekarang. Andre sudah ribut tak jelas dan godain banyak orang. Well, cuma ngajak ngobrol cewek random sih. Tapi kan ramah dan 'gatel' itu bisa dibeda—
"Permisi …" seseorang menepuk bahu Hesa kecil. Hesa menoleh ke belakang, ke sumber suara. Dia melihat pemuda berambut ikal hitam, berseragam panitia, sedang tersenyum ramah ke arahnya. "Mas temannya Wijaya, kan? Erm, Mas Mahesa?" sopan, pemuda itu bertanya.
Yang ditanya terdiam sejenak, loading sejenak dan menerka-terka siapa orang ini. Begitu ingatannya menemukan file tentang 'Ketua EM Universitas M' yang bernama Cakrawala Pangestu dan orang ini adalah 'teman dekat' Wijaya, buru-buru dia mengangguk dan membalas, "Iya mas, bener."
Kemudian terjadi perbincangan singkat di sana. Pemilik manik coklat cerah itu memperkenalkan diri dan mengatakan bila ia dimintai tolong untuk mengantar Hesa ke ruangan VIP karena Wijaya masih ada urusan yang tak bisa ditinggal. Sikap ramah dan sopan yang dipunya pemuda itu membuat Hesa menurut dan membalas semua dengan kesopanan serupa. Dua insan ini kemudian naik ke lantai dua dan masuk ke dalam ruang kecil di tengah lengkungan huruf U yang langsung menghadap ke arah panggung di lantai satu.
Hesa dan Cakra berbincang asik tanpa ada intimidasi atau rasa ingin mengalahkan seperti yang biasanya Hesa rasakan ketika ngobrol dengan Wijaya. Hesa lumayan bersyukur ada orang waras di circle si setengah bule itu.
"Terimakasih sekali lho ya mas, sampeyan sudah kasih ide luar biasa untuk acara ini," Cakra berkali mengatakan ini. Hesa tak mengerti sebenarnya, ia tak merasa berkontribusi apa pun, bahkan cenderung nggak ngurus dengan kegiatan kolaborasi dua universitas. Namun Hesa senyum saja. Toh dia sudah dapat 10 juta, mau dapet tambahan 2 juta pula. Jadi yah … dia menganggap basa-basi ini seperti kerja—kerja ngecap.
"Haha, nggak apa kok. Bukan hal besar," jawab Hesa setengah ambigu. Dia kemudian duduk di kursi yang dipersilakan dan mengamati sekitar. Matanya menemukan kabel roll semeter darinya, lalu kursi yang diduduki juga ada papan meja. Hah, perfect.
Saking nyaman dan perfectnya situasi pun kondisi yang dia dapatkan saat bersama Cakra, Hesa sampai lupa sesuatu.
Bahkan ketika Cakra undur diri dan dia mulai kerja sambil nonton drama pun, dia melupakan sesuatu itu.
Dia lupa dia kesini tidak sendirian, tapi bersama temannya.
Yak. Dia melupakan Andre.
***
Hesa termenung mengamati drama yang disajikan mahasiswa gabungan Universitas B-M ini. Laptopnya sudah lama tertutup, tangannya tak lagi berlari di keyboard. Fokus si ikal kini tertambat pada peragaan di bawah sana.
[[ "Kak. Kami datang untuk membantu!"
"Kakak-kakak di belakang saja, fokus orasi. Kami yang maju" ]]
Ah. Pemuda kelahiran 26 Desember ini tahu kini mengapa Cakra berterima kasih padanya. Drama yang di bawah itu, yang sedang mencuri banyak perhatian masa baik umum atau mahasiswa adalah …
[[ "WOI PAK! BANYAK CEWEKNYA INI PAK!"
"PAK POLISI! TUGASMU MENGAYOMI RAKYAT, PAK!"
"MUNDUR!!! MUNDUR ADA GAAAS!"
"ANJENG BELUM JUGA NANGIS KELAR UDAH GAS LAGI AJA!" ]]
Yap. Drama ini adalah apa demo di Ibu kota dimana Hesa terpaksa ikut berpartisipasi.
Heh, pantes tadi Wijaya mengirimi dia pesan seperti itu ...
Senyum kecil merekah di wajah Hesa. Melihat rombongan anak-anak yang memakai baju STM dengan dandanan berantakan berteriak lantang menghadapi polisi-polisi itu sungguh membawa Hesa ke masa dua bulan yang lalu. Satu karakter di sana menarik perhatian Hesa, dia tampak menjadi salah satu pemimpin masa dan siap pasang badan untuk melindungi kakak-kakak mahasiswa.
"He ..." Hesa menyeringai kecil. Dia tak menceritakan detail apa yang terjadi pada Wijaya, termasuk detail dia menyelamatkan seseorang dan bagaimana orang itu. Lucunya, Hesa bisa melihat bocah itu di pentas seni ini.
Memejamkan mata, Hesa tertarik kembali ke masa itu. Dia berasa berdiri di tempat ramai dan memperjuangkan hak-hak rakyat. Pemerintah melawak dan hanya mahasiswa yang bisa memberontak. Dia merasa sangat terbebani kala itu, kalian tahu? Hesa turun ke jalan bukan karena keinginannya, tiba-tiba saja dia Andre mengusulkan sebuah ide dan tahu-tahu dia yang saat itu berkedudukan menjadi ketua tim diangkat menjadi koordinator pula. Hesa hanya bisa mengumpat dalam hati dengan keseeneak jidatan ini. Dia sudah pusing dengan projectnya sendiri lalu harus mengurus hal begini.
Namun jujur sejak anak STM datang, dia mulai menikmati semua. Anak itu … Sean. Sejak mereka bersisian pertama kali tanpa sengaja di keramaian, sejak melihatnya begitu bersemangat untuk mendukung sesuatu yang Hesa yakin, dia tak mengerti penuh, dia merasa terhibur.
Semangat muda itu … mengingatkan Hesa dirinya yang dulu.
Hesa yakin, kala dia melihat si coklat melompat dan mengambil GAM dengan tangan kosong … dia melihat sayap di punggung itu. Bebas sekali anak itu berulah. Dia melakukan sesuatu tanpa harus berpikir dua atau lima kali lipat. Bak burung di luar sana, yang menentukan kemana dia akan terbang.
Tak ada besi atau ruji yang membatasi.
Sesuatu yang Hesa inginkan.
Dan jujur saja, sejak saat itu mata Hesa selalu kembali ke anak bernama Sean. Di mana pun dia, matanya selalu mencari pemilik rambut coklat dengan mata kontras biru. Sampai akhirnya dia melompat, melindungi Sean yang dengan begonya tak bisa bergerak dari depan barakuda.
Menghela napas, ada rasa yang tiba-tiba bercongkol di hati Hesa melihat semua ini. Hatinya bergemuruh, ia berteriak keras pada otak, memaksa rasio untuk melakukan sesuatu. 'Cari! Cari anak itu! Cari tahu dimana dia, sedang apa dia, dan bagaimana kabarnya! Cari! Kamu bisa melakukannya!' Bulu roma Hesa berdiri semua. Tangannya yang sedari tadi diam dia atas laptop yang tertutup, mulai bergetar.
Dia ingin tahu …
Dia ingin tahu …
Tapi, tak apa kah?
Nggak apa deh, gas aja.
Eh, tapi bagaimana jika rasa ingin tahunya membawa kekecewaan? Bagaimana bil—
"Sean Diwiki Ardanta, nama bocah itu."
Hesa terkesiap. Dia seperti tertarik pusaran kuat dan terhempaskan keluar begitu mendengar Andre berkata. Napas Hesa terengah. Dia bingung, 'apa itu tadi?' Kesadarannya sempat hilang, emosi sesaat mengambil alih rasio. Dan betapa terkejutnya Hesa ketika melihat laptopnya kini terbuka, tangannya sudah kembali di atas keyboard. Yang bikin dia lebih kaget lagi adalah … tab command sudah aktif di layarnya.
Dan layarnya menampilkan segala informasi tentang semua informasi seorang remaja berambut coklat dengan mata biru yang pernah terlibat dalam demo kota J.
Hesa mematung.
A-Apa yang terjadi?
[]