Di STM ini tak ada yang tidak mengenal Sean Dwiki Ardanta. Dia sosok yang dikatakan memiliki segalanya, literal segalanya, termasuk harta dan otot. Banyak orang enggan cari ribut dengan Sean karena hal ini. Katanya, kalau sampai berseberangan dengan pemilik wajah kokoh ganteng macam boyband ini, maka bisa dipastikan … mereka akan masuk ke dalam neraka.
Seperti sekarang ini, kakak tingkat mereka ini sudah mengoarkan aura-aura, 'lu senggol gua atau anak ini lagu, lu gua bacok.' Namun berbeda dari tekanan cara dia melihat—yang penuh intimidasi—bibir pemuda berambut coklat itu melantunkan elakan manis, "maaf kenapa, eh? Gua lho cuma lewat doang. Kok lu minta maaf?" Sean terkekeh, dia bersedekap.
Namun tak ada yang menimpali candaan tak lucu Sean. Jelas sih, bagi mereka, ucapan Sean itu sarkasme.
"A-anu ..." mewakili rekannya, remaja berpotongan rambut 1 1 1itu maju dan berusaha bernegosiasi. Awal katanya, dia terbata. Jujur saja dia tak tahu harus membela diri bagaimana, keringat dingin mengaliri punggungnya.
Namun seperti tak berikan kesempatan mereka untum beralasan, Sean bercerita, "Gua tadi mau ke lab CNC dari kantin. Terus iseng lewat situ,"-Sean menunjuk tempat dia datang, "terus nggak sengaja gua lihat gerombolan manusia bego yang abaikan permintaan gua buat 'tidak saling menyerang lawan', jadi gua mampir."
Di sini ketiga manusia itu memucat.
"K-kak Sean salah paham ..." mereka masing-masing mengatakan hal serupa. Ekspresi ketiganya sudah tak berbentuk, takut mendominasi.
"Apanya?"
Salah paham? Dimananya?
"S-sebenarnya kita tadi tuh cuma blablabla," mereka berusaha menjelaskan.
Sementara Sean, dia memutar matanya mendengar penjelasan yang mengikuti. Tipikal drama picisan, mengatakan 'kamu salah paham, sebenarnya kita tadi tuh cuma bercanda, tak ada unsur kesengajaan atau lalala blablabla' pada orang yang jelas-jelas memergoki tindakan tercela mereka. Menggelikan.
Hanya saja, Sean berbeda dengan orang pada umumnya yang berujung 'let it slide'. Begitu orang yang di nametagnya bertuliskan 'Sendro Kelviandra' menutup mulut dan mengakhiri pembelaan mereka ... kaki Sean bergerak.
Sekejap dia memperpendek jarak yang memisahkan dia dan remaja berhidung bengkok itu, cepat pula ia mengangkat kaki dan menjejak muka Sendro dengan sepatunya. DUAAAK! suara tendangan terdengar, Sendro tersentak ke belakang.
"Ah, sorry, sepatu gua sepatu safety," kata Sean sambil tertawa kecil, sengaja ia memainkan kaki di depan Sendro yang meringkuk memegangi mukanya yang berdarah. Sengaja pula Sean memperlihatkan betapa plat besi melingkupi sepatu yang ia pakai, termasuk di bagian sol, bahkan tonjolan-tonjolan di sana juga. "Lu jangan salah paham, gua cuma meregangkan kaki. Eh kaki gua nyamperin muka lu. Jadi gua nggak sepenuhnya, ok?" ucapnya dengan dua alis terangkat, menirukan bagaimana Sendro menjelaskan tadi. Sarkasme kental tersurat di sana.
Berganti target, Sean berbalik. Dia menghadap ke arah dua antek-antek Sendro kini. Dia bisa membaca nama mereka meski dia bergerak dalam kecepatan tinggi tadi. Yang dia tendang pertama kali di serangannya yang pertama, bernama Bimo. Sedang yang mukanya dia tinju adalah Angga.
Target pertamanya si Bimo, manusia songong yang bawa-bawa pekerjaan orang tua. Sean amati orang ini lekat sembari melangkah mendekat. Seringai tersungging di wajahnya. "Heh. Pantes lah lu ngelakuin hal rendahan kek gini," katanya sedikit tertawa.
Tangan terjulur, menangkap rahang Bimo. Dia tolehkan muka lonjong Bimo ke kanan kiri kanan kiri dengan kasar, sembari mengembalikan ucapan Bimo. "ya pantes sih lu jadi orang bangsad. Sebangsad bokap lu si kang korup duit negara, kan ya?" tangan itu berhenti. Sean membawa dagu Bimo mendongak ke atas, memaksa manusia itu memandangnya. "Apa kabar pak Suryo di penjara, Bim? Mau ikut bapak lu gara-gara bikin masalah sama gua? Skuy. Gua kasih tiket gratis," Sean melanjutkan, nadanya main-main dan jelas sekali cengkok hinaan di sana. Tapi senyum yang merekah di wajah itu membuat Bimo menahan napas. Tubuhnya bergetar.
Bimo ingin marah karena ayahnya direndahkan, tapi di satu sisi dia tahu sosok di depannya anak siapa. Ardanta bukan keluarga yang bisa ditantang kalau masalah 'kekuatan'. Dilema. Dia dilema. Dia merasa lemah.
"M-mahaf hak." Mau tak mau, Bimo berbicara di tengah tekanan dua jari Sean di pipinya. Sean mengerjap mendengar permintaan maaf ini. Dia tertawa kemudian dan melepaskan Bimo. Sambil balik badan dan berjalan ke remaja keriting, dia membalas Bimo, "Kok ke gua? Yang lu salahin bukan gua."
Sean berdiri tegak di depan sosok berambut keriting yang teraniaya. Ia menjulurkan tangannya ke arah remaja yang masih meringkuk itu. Manusia itu tampak terpana melihat Sean, Sean hanya tersenyum dan menariknya berdiri. "Lu minta maaf ke dia," lalu ia berkata demikian sambil menepuk bahu remaja berbadge kelas X yang mukanya penuh lebam itu.
Bimo menegang, mukanya memutih, darah seperti meninggalkan kepala. Jelas, bagi seseorang yang melihat derajat manusia hanya dari harta, pasti tak mau merendah di depan rakyat jelata. Tipe-tipe manusia munafik yang matanya ingin Sean cocol pake saos. Namun Sean tak mau menunggu, ia mendorong anak kelas X yang setinggi bahunya itu dan berhitung. "Satu," jeda sesaat, "dua," Sean terus menghitung. Di hitungan kelima akhirnya Bimo minta maaf pada orang yang tepat.
Pintar.
Sasaran terakhir Sean tentu si mulut besar yang berani mengolok-olok preferensi seseorang. Untuk yang satu ini, dikarenakan Angga dan Sendro sudah bersama—Angga sedang membantu ketua mereka berdiri—Sean memutuskan tak mendekati mereka. Lekat dia memandang dua cunguk itu sebelum dia menghela napas panjaaaang. Sambil mengacak rambutnya frustasi Sean bertanya, "lu kenapa sih, Ngga? Harus gitu ya, lu bully orang yang preferensinya beda sama lu terus lu sebut mereka bervirus?"
Sean bisa melihat adik kelasnya terperangah. Pemilik rambut ala ekor tikus itu tampak membuka tutup mulutnya beberapa kali. Dia seperti kesulitan menyusun kalimat sebelum akhirnya menyampaikan pendapat, "gay itu penyakit kak. Jiwa mereka terganggu. Para LGBT dan pendukung mereka sudah dihinggapi virus mengerikan, makanya jiwanya terganggu gitu. Mereka musti dimusnahkan agar yang lain tidak tertular."
Tik tok tik tok.
Sean terdiam.
Tik tok tik tok.
Gimana gimana?
Sean mengerjapkan matanya cepat, gagal paham dengan cara berpikir Angga.
Seolah paham jika kakak kelasnya agak tidak mengerti apa yang dia katakan, Angga buru-buru menambahkan, "Iya kak. Jadi kita harus merukyah orang-orang belok begitu kak biar virusnya hilang. Nah sebelum dirukyah harus dibuat jera dulu."
Okay. Muka Sean berubah warna. Dia yang awalnya bertanya-tanya langsung membentuk ekspresi malas. "Dirukyah dengan dipukulin, maksud lu?" tebak Sean asal.
"Iya ben—nggak gitu kak! Gue tadi cuma ..."
Jengah dengan alasan di atas alasan yang tak logis, Sean menghela napas panjang. Sambil menggaruk belakang kepalanya ia menyuarakan isi hati, "njir. Lu manusia purba, Ngga?"
"Eh? Maksudnya apa k—"
"Pikiran lu kuno banget. Lu pasti manusia purba." Sean geleng-geleng kepala. Tiba-tiba mukanya seperti menemukan ide brilliant, "oh! Bisa juga lu katak. Katak yang hidup dalam tempurung bertajuk kefanatikan. Ya kan?"
Semua orang di situ terdiam. Sesang Angga memasang tampang terkejut. Dia membuka mulutnya, ingin mematahkan ucapan Sean. Namun belum juga dia berbicara, Sean mendahului, "googling deh biar mata lu kebuka. Virus itu apa, gangguan jiwa kek apa. Beda kaga LGBT, hm, kita ambil yang homoseksual deh," Sean bergumam sejenak, "Beda kaga homoseksual dengan homoseksual ego distonik?" siswa kelas XII itu memandangi ketiga adik kelasnya yang terdiam dan berusaha mencerna ucapan Sean.
"Njir lah. Lu masih muda udah bacot nggak jelas gitu, pen ngakak gua." Sarkasme kental tersurat dari cara remaja berambut lurus itu berkata. "Lu pengen kelihatan intelek malah jatuhnya lu kayak tai, tau nggak? Menggelikan," lanjut Sean sambil memutar badan. Setelah itu, santai dia merangkul pemilik rambut keriting bernama Wisnu ini dan mengajaknya melipir pergi.
Ah. Sebelum jauh dari tiga manusia pembuat orang ini, Sean berucap lagi, "oh btw, gua salah satu pendukung LGBT. Kalau lu pen musnahin gua, gua terima tantangan lu, Ngga." Dia tersenyum miring kecil. "Kita lihat yang musnah duluan siapa."
[]