"Dimana dia?" Zavier telah tiba di kediamannya pada jam 7 pagi. Pria ini kalah dalam taruhan. Ia terjebak dalam permainan yang ia ciptakan. Nyatanya Oriel yang pintar berhasil membuatnya goyah. Oriel tahu benar jika Zavier sedang mengincar Calysta Cho, aktris cantik asal Korea yang sekarang namanya tengah melambung tinggi.
Pemenang dari taruhannya sudah jelas Ezell. Pria ini memiliki transaksi setelah dari club. Dan jelas ia tidak memiliki waktu untuk bermain-main dengan wanita setelah bertransakski.
Zavier juga ikut kehilangan 500 ribu dollarnya.
"Nona Bryssa ada di kamarnya, Tuan." Pelayan menjawab pertanyaan Zavier.
Zavier hanya melihat ke arah kamar Bryssa berada tapi ia tidak melangkah menuju ke kamar itu. Ia melangkah menyusuri lorong di kediaman mewahnya. Berbelok di pertengahan lorong dan masuk ke lorong lainnya. Ia sampai di depan sebuah ruangan. Memegang kenop pintu dan membukanya.
Ia masuk ke dalam sana. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan wajah dingin yang semakin dingin.
Sampai di lorong pertama yang ia lewati, langkah kakinya terhenti karena seseorang berhenti tepat di depannya.
"Kau, Zavier?" Dia –Bryssa- bertanya pada Zavier.
"Hm." Zavier hanya berdeham. Wajahnya masih tetap kaku dan dingin. Jarang sekali ia menunjukan wajahnya yang seperti ini.
"Aku, Bryssa." Bryssa memperkenalkan dirinya meskipun ia yakin jika Zavier pasti mengenalnya. Tangannya terulur, ia harus bersikap baik pada Zavier. Bryssa sudah memikirkan segalanya. Ada satu cara dia bisa lolos dari Zavier, dia harus membuat Zavier setuju dengannya untuk membayar hutangnya dalam jangka panjang.
"Zavier." Zavier membalas uluran tangan Bryssa.
"Aku rasa ada yang perlu aku dan kau bicarakan."
"Aku sedang lelah. Bicarakan nanti." Zavier melewati Bryssa.
Bryssa tercengang, ia membalik tubuhnya dan melihat ke arah Zavier.
"Dia bukan tipe orang yang bisa diajak bicara." Bryssa menghela nafas pelan.
Ketika Zavier menghilang dari pandangan matanya. Bryssa melangkah menuju ke bagian belakang mansion. Kemarin ia sudah melihat-lihat sekitar mansion Zavier. Dan keseluruhan mansion ini terlihat megah, mewah dan indah. Zavier menggabungkan 3 hal itu dengan baik.
Bagian yang paling Bryssa sukai dari tempat ini adalah taman bunganya yang terlihat sangat indah dan juga gazebo di tengah kolam teratai. Suasana di mansion ini memang menyegarkan rongga dada dan mata.
Menunggu Zavier beristirahat, Bryssa memilih untuk berada di taman bunga. Ia pecinta keindahan. Ia suka bunga-bunga yang indah, terutama mawar merah. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memuji keindahan bunga tersebut.
Itulah kenapa Bryssa bekerja di bidang fashion. Ia bisa menyalurkan pemikirannya hingga menghasilkan sebuah karya yang indah.
Zavier mengamati Bryssa dari lantai dua. Matanya menatap ke kebun bunga terbuka miliknya, bahkan kecantikan bunga-bunga itu kalah oleh kecantikan murni seorang Bryssa.
Cukup lama Bryssa berada di taman dan selama itu juga Zavier memperhatikan Bryssa tanpa beranjak.
"Apa yang akan kau lakukan padanya, son?" Suara itu membuat Zavier mengalihkan matanya.
"Sejak kapan Daddy ada disini?" Zavier tak tinggal dengan ayahnya. Jadi kedatangan ayahnya tentu akan dia pertanyakan.
"Sekitar 2 jam lalu. Daddy pikir kau sudah belajar dari masalalu, tapi kau masih sama saja." Arah pandang ayah Zavier jatuh pada Bryssa yang tengah menyiram bunga.
"Daddy mengajariku tapi Daddy juga tak belajar dari masalalu. Aku masih cukup waras, aku melangkah meninggalkan masalalu, sementara Daddy?? DAddy masih terkurung di masalalu." Zavier tak bermaksud mengejek ayahnya, ia hanya mengeluarkan apa yang dia pikirkan. Nyatanya, sang ayah masih terpaku pada ibunya. Dan nyatanya ayahnya tak bisa mencinta wanita lain selain ibunya. Jadi, siapa yang tak belajar dari masalalu sekarang? Zavier bukan pria pengecut yang patah langkah hanya karena sebuah masalalu. Mungkin di masalalu dia salah menanganinya tapi saat ini dia tak akan salah menangani lagi.
"Mencintai itu menyakitkan. Daddy tak mau mengulang lagi."
Zavier kini memperlihatkan raut mengejeknya, "Yang seperti ini ingin mengajariku?? Jelas muridnya akan gagal karena gurunya juga gagal."
Ayah Zavier tertawa kecil, "Dia terlihat sangat cantik. Kau memang pandai memilih wanita. Dua-duanya berwajah malaikat, tapi Daddy tidak tahu apakah dia termasuk iblis wanita juga atau tidak."
Zavier kini mengembalikan pandangannya ke Bryssa, "Dia harus melebihiku untuk menjadi iblis, Dad."
"Jangan terlalu keras padanya. Kau akan berakhir seperti Daddy jika melakukan itu."
"Aku tidak ingin manis lagi. Bersikap manis lebih menyakitkan daripada bersikap baik. Setidaknya ketika dia mengkhianatiku aku sudah puas menyiksanya."
"Kau akan kehilangannya kalau begitu."
"Dan aku tidak akan melepaskannya seperti Daddy melepaskan Mommy."
"Kau akan membuat anakmu sengsara nanti."
"Aku tak berencana memiliki anak." Zavier tak akan mau memiliki anak setelah apa yang ia rasakan. Ia tidak gila membuat anaknya hidup sepertinya. Akan baik jika anaknya memiliki kekuatan fisik dan mental sepertinya, jika anaknya lemah? Maka pasti anaknya akan memilih bunuh diri. Yakinlah, tak akan ada yang bisa menahan sakit yang seperti dia rasakan.
"Kau tidak bisa seperti itu. Anak itu penting. Kau harus memiliki penerus."
"Aku bisa membesarkan serigala-serigala liar tanpa menyumbangkan spermaku."
"Apa bagusnya anak orang lain, son?"
"Tak akan baik jika seorang anak bernasib sama sepertiku, Dad. Disiksa oleh ibunya sendiri, diabaikan oleh ibunya sendiri, tidak. Aku tidak bisa biarkan bagian dari darahku diperlakukan sama sepertiku dulu. Akan lebih baik aku tidak tahu siapa ibuku daripada aku tahu siapa ibuku tapi dia yang tak tahu siapa aku."
Dan ayah Zavier terdiam. Semua adalah salahnya. Zavier tidak ingin memiliki anak seperti ini itu karena kejadian di masalalu yang hadir karena keegoisannya. Mungkin jika dulu dirinya melepaskan istrinya setelah Zavier lahir maka ceritanya tak akan seperti ini.
"Lupakan tentang ini. Kenapa Daddy kemari?" Zavier mengubah topik pembicaraan.
"Tidak ada. Hanya ingin berkunjung saja. Sudah satu minggu kau tidak berkunjung ke kediaman Daddy."
Zavier menghela nafas, ia memang lupa berkunjung karena banyak hal yang dia lakukan.
"Sebaiknya kita mengobrol di ruang kerjaku saja."
"Baiklah. Ayo."
Ayah dan anak dengan wajah yang hampir serupa itu melangkah bersamaan.
**
"Sudah bisakah kita bicara?" Bryssa bertanya setelah mereka selesai makan malam.
"Katakan!"
Bryssa terusik karena nada dingin dan tatapan menyeramkan itu.
"Aku tidak bisa tinggal disini. Aku bekerja, bagaimana jika aku mencicil membayar hutang ayahku?"
Sampai kapan kau akan mencicilnya? 10 tahun? 20 tahun? Apakah kau pikir aku punya waktu untuk mengurusi recehan darimu?"
Sialan! Bryssa memaki dalam hatinya. Tajam sekali mulut Zavier ini, "Aku tidak tahu menahu tentang perjanjian itu. Dengar, aku ini manusia bukan barang. Aku tidak bisa menjadi milik orang lain seperti ini."
"Masalah itu kau urus saja dengan Daddymu. Bukan aku yang membuat kau jadi bahan perjanjian."
Bryssa mengepalkan tangannya, ia kesal tapi ia tidak menunjukan wajah kesalnya.
"Karena aku tidak bisa mengurusnya dengan Daddyku makanya aku mengurusnya denganmu. Aku tahu rumah ini sangat mewah, aku tahu kau juga kaya raya, tapi aku tidak bisa tinggal disini. Aku memiliki aktivitas sendiri."
"Sejak kau dijadikan Daddymu sebagai jaminan, kau tidak memiliki hak untuk melakukan aktivitas sendirimu itu. Kau hanya akan melakukan apa yang aku katakan. Pembicaraan ini selesai."
"Tunggu dulu." Bryssa menahan Zavier yang sekarang bangkit dari tempat duduknya. "Kau kaya raya, kan? Aku pikir hutang ayahku bukan apa-apa bagimu."
Memang bukan. Tapi kau yang aku inginkan sejak awal, Bryssa.
"Kau memiliki banyak pelayan disini. Kau tidak membutuhkan aku sama sekali. Hutang ayahku itu aku pikir tidak akan mengurangi harta kekayaanmu jika kau melupakannya."
Zavier mendengus, wajahnya masih dingin tak tersentuh, "Kau mau tahu apa kegunaanmu di rumah ini?"
Bryssa diam, ia menunggu jawaban.
Zavier menaikan Bryssa ke atas meja makan, merusak pakaian Bryssa dengan kasar lalu menyentuh wanita itu dengan kasar. Mulai dari menjilati leher Bryssa lalu turun ke payudara Bryssa.
Dorongan dari Bryssa tak ada apa-apanya bagi Zavier. Ia bahkan sudah menyatukan tubuhnya sekarang dengan Bryssa.
Sakit.. Jelas saja itu sakit. Ini yang pertama kalinya bagi Bryssa dan pertama kali itu ia dapatkan dengan cara yang benar-benar kasar. Air matanya jatuh berceceran, suara desahan Zavier membuat hatinya ingin meledak. Monster seperti apa Zavier ini!
Setelah mengeluarkan cairannya di atas perut Bryssa, Zavier kembali merapikan pakaiannya, "Inilah kegunaanmu di rumah ini. Bertindak pintarlah, jangan membuat kesalahan karena aku bukan orang baik yang akan memaafkan kesalahanmu."
Bryssa masih terkulai lemah di atas meja makan, air matanya masih meleleh, "Kau binatang!" Bryssa memaki lemah tapi tetap terdengar di telinga Zavier.
"Karena aku binatang maka jangan membuat kesepakatan denganku. Aku bukan binatang yang dimakan tapi aku yang memakan. Aku bisa memakan kau kapanpun aku mau, jadi berhati-hatilah." Usai memperingati dengan nada dingin itu, Zavier membalik tubuhnya dan pergi.
Bryssa diajarkan oleh ibunya agar tidak membenci orang karena perbuatan yang menyakiti hati, tapi kali ini ia tidak bisa mengikuti ajaran ibunya. Ia membenci Zavier. Pria itu memperlakukannya bukan sebagai manusia.
"Daddy, kenapa kau mendorongku ke neraka seperti ini?" Bryssa tak bisa tidak menyalahkan ayahnya. Apa yang ada dipikiran ayahnya ketika menjaminkan ia untuk binatang seperti Zavier.
tbc