Chereads / MRS4 - Temptation / Chapter 3 - part 2

Chapter 3 - part 2

Autumn Bryssa menatap lekat makam ayahnya. Setelah dua minggu ayahnya berada di ruang ICU, akhirnya sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya pagi tadi.

Kebangkrutan perusahaan yang terjadi 2 minggu lalu membuat sang ayah –Jammy Hilton– terkena serangan jantung dan berakhir di rumah sakit. Semua aset berharga yang keluarganya milikki telah disita oleh pihak bank.

Bryssa yang berada di luar negeri segera kembali ketika sekertaris ayahnya menghubunginya dan mengatakan ayahnya terkena serangan jantung. Ia benar-benar menyesal karena tak berada di sisi ayahnya ketika ayahnya dalam kesulitan. Sebenarnya bukan salah Bryssa jika ia tidak tahu apapun tentang perusahaan ayahnya yang goyang karena sang ayah memang menyembunyikan hal ini dari Bryssa.

Air mata Bryssa jatuh lagi. Setelah 6 tahun lalu ia kehilangan ibunya, sekarang ia juga kehilangan ayahnya. Ia sendirian di dunia yang kejam ini sekarang. Ia tak memiliki saudara dekat karena baik ayah maupun ibunya adalah anak tunggal. Nenek dan kakeknya juga sudah tiada. Ia memiliki keluarga jauh tapi mereka tinggal di negara yang berbeda. Bryssa juga tak mungkin pergi ke keluarga itu karena ia tak mau menyusahkan orang lain.

Sejak kecil Bryssa memang sudah dididik mandiri. Ia di sekolahkan jauh dari orangtuanya dengan tujuan agar Bryssa bisa hidup mandiri. Dan mulai hari ini ia dituntut benar-benar mandiri.

"Daddy, berisitirahatlah dengan tenang. Bryssa akan hidup dengan baik seperti keinginan Daddy dan Mommy. Sekarang Daddy sudah bertemu dengan Mommy yang selalu Daddy rindukan. Selamat jalan, Dad. Bryssa mencintai Daddy. Sampaikan sejuta cinta Bryssa untuk Mommy juga." Meski air matanya bercucuran tapi wajahnya tersenyum. Ia memang sedih karena kehilangan ayahnya tapi ia tersenyum karena orangtuanya yang saling cinta telah kembali bersatu.

Bryssa diajarkan oleh ibunya tentang mengikhlaskan, tentang merelakan dan tentang menerima takdir. Saat ini Bryssa tengah melakukan apa yang ibunya ajarkan. Ia mengikhlaskan kepergian ayahnya. Cepat atau lambat ia memang akan berpisah dengan ayahnya. Semua memang hanya masalah waktu dan siapa yang lebih dahulu pergi.

Setelah beberapa saat berada di makam ayahnya, Bryssa akhirnya kembali ke kediamannya, ralat, kediaman itu bukan kediamannya lagi. Ia harus meninggalkan rumah paling lambat besok siang.

Bryssa memeriksa setiap ruangan rumahnya. Setiap tempat yang diisi penuh oleh kenangannya bersama ayah dan ibunya. Pandangan matanya tertuju pada piano yang berada di sudut ruangan mewah yang tengah ia pijaki. Sosok seorang pria bersama seorang remaja terlihat asik bermain piano. Suara tawa dari kedua orang itu terdengar di telinga Bryssa.

Detik selanjutnya dua orang itu mengilang seperti asap. Bryssa melangkah ke tempat lain. Ia berhenti di depan foto keluarga yang terpajang indah di ruangan lain.

"Aku tidak bisa merelakan tempat ini." Bryssa akhirnya kalah dengan naluri manusianya. Ia tidak sedewa itu, ia tidak bisa merelakan semua kenangan yang ada di rumah ini. Semua kisah yang ia lalui di tempat hangat ini. Ia tidak bisa merekalkannya.

"Mommy, Daddy, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa merelakannya." Bryssa berjongkok. Ia memeluk lututnya sendiri dan menangis deras. Hatinya terasa sangat sakit, dadanya terasa sangat sesak. Air matanya makin menganak sungai.

Tetaplah kuat.. Mommy tidak pernah meninggalkanmu. Mommy akan selalu ada di hatimu..

Kata-kata ibunya terngiang di telinga Bryssa.

Pada akhirnya, meski dia tidak bisa merelakan, dia akan tetap kehilangan tempat penuh kenangan itu, kecuali jika ia memiliki banyak uang untuk membeli kembali kediamannya.

Tapi, Bryssa tak punya tempat meminta tolong. Sekertaris ayahnya bisa saja meminjamkannya uang, tapi pinjaman itu tidak akan cukup untuk menebus rumahnya. Meminjam pada sahabatnya? Tidak mungkin, sahabat-sahabat Bryssa berasal dari kalangan sederhana. Ia juga tidak memiliki teman dari kalangan atas karena Bryssa memilih teman yang tidak berasal dari kalangan atas.

Kekasih? Bryssa sudah kehilangan kekasihnya 1 bulan lalu. Pria itu mengkhianatinya, pria yang ia cintai itu berselingkuh dengan seorang model cantik dan Bryssa bukan wanita bodoh yang akan mengemis pada pria yang sudah mengkhianatinya.

Meminjam di tempatnya bekerja? Tidak mungkin juga. Perusahaan tempatnya bekerja tak akan meminjamkan banyak uang untuk Bryssa yang baru bekerja selama 1 tahun di perusahaan yang bergerak di bidang fashion itu.

Lantas, setelah semua ini, bisakah Bryssa tak merelakan kediamannya? Ia tak menemukan jalan. Ia tidak bisa mendapatkan kembali rumahnya,

Tabungan yang ia miliki dari bekerjapun tidak mencapai seperempat dari harga rumahnya.

Setelah cukup lama menangis dan berpikir. Bryssa pergi ke kamarnya. Ia membersihkan tubuhnya dan naik ke atas ranjang. Kelelahan dan terlalu banyak menangis membuatnya mengantuk hingga akhirnya ia tertidur.

Paginya Bryssa membereskan barang-barangnya. Ia harus meninggalkan tempat itu sebelum siang hari.

Aktivitas Bryssa terganggu ketika beberapa orang masuk ke dalam rumahnya. Dari mana orang ini memiliki kunci rumahnya? Sayangnya Bryssa tidak punya keahlian membaca pikiran orang.

"Siapa kalian?" Rasanya orang-orang ini bukan orang-orang bank yang waktu itu datang menemuinya di rumah sakit.

"Saya Renzo pengacara Pak Zavier." Renzo –pria tampan berkaca mata- memperkenaklan dirinya.

"Saya, Joan, bawahan Pak Zavier. Dan mereka adalah orang-orang Pak Zavier." Joan –Pria berwajah Asia – memperkenalkan dirinya dan juga bawahannya.

Dari tadi orang-orang ini menyebutkan nama Zavier. Siapa sebenarnya pria bernama Zavier itu, dan apa urusannya dengannya.

"Siapa Zavier? Saya tidak mengenal orang yang bernama Zavier."

"Kita bicarakan sambil duduk. Saya akan menjelaskan semuanya." Renzo melangkah menuju ke sofa.

Bryssa –masih dengan wajah bingung – menyusul Renzo. Ia duduk di depan Renzo.

Pria yang mengaku pengacara itu mengeluarkan beberapa berkas dari dalam tasnya.

"Anda memang tidak mengenal Pak Zavier tapi ayah anda mengenal Pak Zavier dengan baik."

Masalah apa yang ada antara ayahnya dan pria yang bernama Zavier itu.

"Silahkan baca berkas ini, jika anda ada pertanyaan, saya akan menjelaskannya secara detail." Renzo menyerahkan berkas yang berasal dari dalam tasnya tadi pada Bryssa.

Bryssa membaca dengan seksama. Wajah bingungnya terlihat makin bingung. Ketika ia mencapai ke poin-poin penting barulah ia mengerti.

Ia bukan mahasiswa hukum tapi dia cukup mengerti hukum. Di berkas itu, dia menjadi alat pembayaran hutang ayahnya. Di sana dijelaskan jika sang ayah berhutang pada pria yang bernama Zavier dengan jaminan dirinya. Jika ayahnya tak bisa membayar hutang maka dia menjadi milik Zavier sebagai pelunasan hutang.

Bryssa tidak percaya ini. Ia tidak percaya jika ayahnya melakukan perjanjian seperti ini. Tapi, ketika ia melihat tanda tangan ayahnya. Ia harus menyakini fakta bahwa ia adalah alat pelunasan hutang ayahnya.

Wajah Bryssa tak terbaca tapi jelas disana terlihat kekecewaan yang mendalam. Bagaimana bisa ia harus menjadi milik pria yang sama sekali tidak ia kenali? Bagaimana jika laki-laki itu jahat padanya? Bagaimana jika pria itu adalah pria gila yang akan menjualnya?

"Jika kau meragukan perjanjian ini kau bisa menanyakannya pada pengacara ayahmu dan juga sekertarisnya." Renzo bersuara meyakinkan.

Bryssa tidak perlu bertanya. Dia tidak perlu merendahkan dirinya dengan menanyakan itu.

"Jadi, aku harus tinggal dengan pria bernama Zavier ini?"

"Ya. Kau harus tinggal bersamanya."

Bryssa menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya kalah. Dia tidak mungkin lari. Ayahnya yang sudah melakukan perjanjian ini dan dia yang harus menepati isi perjanjian itu.

"Aku tidak bisa lari dari ini, kan?" Bryssa menaikan alisnya, bertanya seolah ia bisa menemukan jalan keluar dari sana.

"Tidak bisa. Kalaupun kau memiliki uang, point di berkas itu menjelaskan jika kau tidak bisa membayar dengan uang untuk membebaskan dirimu."

Semakin pasrah. Bryssa tak punya kekuatan untuk melawan lagi. Bryssa menutup berkas itu. Ia hanya perlu bersikap seperti biasanya. Sebagai anak penurut yang dibesarkan oleh kedua orangtuanya.

"Dimana barang-barang Anda, Nona? Orang-orangku akan membawakannya untuk anda."

"Biar aku bawa sendiri." Bryssa bangkit dari tempat duduknya.

Siapapun Zavier itu. Bryssa akan hidup dengan pria itu sesuai dengan isi perjanjian dari sang ayah. Ini adalah bentuk baktinya untuk sang ayah yang sudah merawatnya sejak kecil hingga ia dewasa. Meski ia tak terima dijadikan pelunasan hutang, tetap saja ia tidak bisa menghindar karena dia adalah putri ayahnya. Karena dialah Autumn Bryssa yang namanya disebutkan dalam surat perjanjian itu.

tbc