Chereads / My Deadly Beautiful Queen / Chapter 44 - Kegelisahan Hati

Chapter 44 - Kegelisahan Hati

"Yang Mulia, apa yang membuat Yang Mulia begitu gelisah?" tanya Aninda pada Siane yang sedang dihias oelah para dayang terbaik di Istana Tawang.

"Benar, mengapa Yang Mulia terlihat tidak bahagia. Yang Mulia akan menjadi permaisuri setelah ini. Tidak akan ada satu orang pun yang akan menyakiti Yang Mulia, bahkan Raja Tawang sekalipun" kata seorang dayang yang menyisir rambut indahnya.

"Katakan Baginda, bagaimana kami harus membuat Yang Mulia senang. Penobatan sudah di depan mata. Jika Yang Mulia seperti ini bukan tidak mungkin Raja akan mengukum kami"

Siane tertawa mendengar ucapan mereka.

"Apa kalian lebih takut pada Raja dari pada Kematian?"

Pertanyaan Siane membuat tiga dayang yang melayaninya saling berpandangan. Mereka segera berlutut dan memohon ampun atas kata-kata mereka.

"Kami tidak bermaksud demikian Yang Mulia, mohon luputkan nyawa kami"

~Sungguh memalukan, bahkan para dayang ini adalah orang-orang yang suka mencari muka~

"Keluarlah, aku akan menyelesaikan riasanku sendiri" perintah Siane Yang. Saat satu diantara mereka hendak membantah, Siane menaikkan tangannya.

"Baiklah kami permisi Yang Mulia"

Aninda yang melihat majikannya tidak senang menjadi sedikit risau. Ia berfikir, apakah status akan mengubah seseorang menjadi kejam? Jika belum menjadi Permaisuri saja sudah sekejam ini, bagaimana jika ia sudah menjadi ibu negara?

Kamar Yang Mulia Permaisuri suram dan hening bagikan malam tak berujung. Tidak ada satupun yang bergerak tanpa instruksi darinya. Ming dan Aninda mematung, sementara yang empunya kamar hanya melamun menatap gambar diri pada cermin.

~Apakah ini harus terjadi? Mengapa ini begitu rumit. Setelah ini aku akan menjadi permaisuri. Sungguhkah akan semudah itu?~

"Yang Mulia, saatnya penobatan. Mohon Yang Mulia segera menampakkan diri. Yang Mulia Raja sudah menunggu" teriak seorang abdi dalem laki-laki.

Aninda segera mendekati Siane dan membantunya berdiri. Rambut indahnya berjuntai begitu saja tanpa ada pengikat apapun atau hiasan apapun. Memasuki pelataran, semua orang takjub dibuatnya. Semua mata tertuju pada rambut indah Siane Yang yang terurai begitu indah dan lembut seperti benang sutra. Ini adalah pertama kalinya seorang wanita tidak mengikat rambutnya di hadapan umum.

"Wanita ini dia sudah gila! Bahkan ia biarakan rambutnya terurai begitu saja" bisik salah satu tetua kerajaan pada yang lainnya.

"Kurasa tidak buruk. Ia terlihat cukup memesona, tampil apa adanya."

"Ih dasar, kau ini"

Melihat Siane Datang, Raja segera menyambutnya. Siane berdiri dan berlutut tepat di bawah kaki raja. Dengan rambut indah yang menjuntai sampai ke tanah saat ia berlutut.

"Bagunlah" kata Raja."Jangan biarakan, rambut sutra ini jatuh menyentuh lantai. Ini akan menjadi hal yang tidak baik."

"Begitukah? Bahkan hamba merasa penobatan ini pun juga bukan hal yang baik" protes Siane yang berbisik ke telinga Raja saat Raja membantunya berdiri.

"Aku mencintaimu ingat saja hal itu. Sisanya, kau bisa percayakan padaku."

"Aku mengerti"

Tetua Kerajaan mendatangi dan membacakan banyak hal dalam pegangkatan itu. Ia membacakan asal usul pendirian Kerajaan dan sebagainya. Tidak seperti peserta yang lain, mata Siane mencoba menyapu setiap orang yang hadir. Aninda yang berlutut sampai ke tanah dibelakangnya, merasa perlu memberitahu majikannya agar mendengarkan dan menunduk. Maka perempuan itu, menarik sedikit ujung kain yang menutupi pakaian majikannya. Dengan tanda itu, Siane mengerti dan segera kembali menunduk.

Sementara itu, Rendra dengan api cemburu di dalam hatinya sudah sampai diperbatasan. Ia bertemu dengan pasukan Wani Geni.

"Yang Mulia, apakah yang Mulia yakin akan keputsan ini. Menyerang penobatan hari ini, sama artinya menyulut api peperangan"

Rendra tak menjawab dan segera pergi. Maka kepala pasukan Wani Geni menyerukan agar mengikuti Raja dan segera bersiap untuk berperang.

"Arya, kita serang dari gerbang utama istana." Perintah Rendra.

Arya yang mendengar hal itu merasa perlu memberinya nasihat bijak. Sayangnya, nasihat bijak Arya ditolak mentah-mentah. Apapun yang ia katakan menguap bagiakan air ke udara. Sia-sia.

Mahkota kebesaran terbuat dari emas dipasangkan ke atas kepala Siane. Ia pun segera berlutut mencium kaki raja, sebagai tanda penghormatan. Tepat pada saat itulah seorang pembawa pesan datang.

"Yang Mulia, seseorang menerobos istana dan membunuh para prajurit membabi buta" kata orang itu.

Siane yang berlutut segera menegadah. Ia melihat ke arah datangnya keributan. Ia melihat beberapa pasukan berkuda dengan senjata. Mereka mencoba menerobos pelataran. Semua yang hadir segera lari Karena ketakutan. Rendra menarik tangan Siane dan memerintahkan prajurit-parajurit terbaiknya untuk melindungi.

"Yang Mulia ini tidak baik. Kita harus pergi dari sini" usul Ming dan Aninda.

Mereka yang melihat penyerbuan ini dengan mata kepala tahu benar, ini adalah pembantaian. Pembataian besar-besaran tanpa ampun. Tapi siapa? Dan mengapa? Apakah mereka musuh kerajaan Tawang? Apakah mereka memang sudah merencanakan semua ini?

"Tenanglah, mereka adalah pasukan dari Artha Pura Kencana" kata Siane yang melihat sesosok yang ia kenal mendekati dirinya. Ia menggunakan kuda beringas dan terlihat sedikit tidak waras.

"Berhenti!" gertak prajurit yang melindungi Siane."Berhenti! Kami tidak segan untuk menghabisi siapapun yang mendekati Yang Mulia Permaisuri"

Tak lama, orang itu kehilangan nyawa hanya dengan satu goresan pedang di dadanya.

"Harusakah Yang Mulia Raja Artha Pura Kencana melakukan semua ini demi seorang selir seperti saya?"

Rendra turun dari kudanya. Prajurit lain menodongkan pedang ke arahnya. Ia sama sekali tidak gentar. Di belakangnya ada Arya dan seorang lagi. Seorang yang Siane tidak kenal.

"Aku akan mengahabisi siapapun yang merebut kekasihku" kata Rendra gambalang.

Siane yang mendengar itu merasa tidak senang. Ia meminta pria itu pergi dan menghentikan tindakan pembantaian yang ia dan pasukannya lakukan.

"Tidak, sampai aku mendapatkanmu dan menghancurkan Tawang!"

Selesai mengatakan hal itu, Rendara kembali ke kudanya dan mencari Waradana, Raja Tawang. Ia berduel sangat senngit. Penyerbuan ini benar-benar sebuah pembantaian. Dalam keadaan terdesak, beberapa orang mencoba melarikan selir dan pejabat tinggi yang ada melalui pintu belakang istana.

"Yang Mulia, kita harus pergi" perintah salah satu prajurit. "Mari ikuti kami"

Dengan tegas Siane menolak. Siane meminjam pedang salah satu dari mereka dan berjalan mendekati Rendra dan Waradana yang sedang berdual. Arya yang melihat ini mencoba menghentikan Siane.

"Kalian bodoh? Apa kalian tidak lihat permaisuri kalian mendekati para Raja yang berduel"

Prajurit itu saling padang. Mereka mengerti, tapi mereka tak berani menghalangi Siane. Para prajurit itu hanya bisa mengikuti perlahan sambil berjaga agar tak seorang pun menyerangnya.

"Jika kalian tidak berhenti aku akan membunuh kalian berdua" kata Siane yang melihat kebrutalan Rendra. Raja Waradana bersimpuh dengan darah mengucur diseluruh tubuhnya.

"Berhenti! Ini sudah selesai. Ini adalah pembantaian." Pinta Siane.

"Tidak! Dia telah menghacurkan semua hal. Ibuku, kerjaanku dan sekarang kekasihku. Maka, ini yang harus ia terima!"