Chereads / Lady in Red (21+) / Chapter 7 - Workaholic

Chapter 7 - Workaholic

Workaholic

- BOL4 -

========

"Vin."

"Ya, Pa?"

"Papa butuh bicara serius denganmu." Pria 56 yang masih memperlihatkan gurat ketampanan itu berjalan ke ruang bacanya diikuti sang anak.

"Ada apa, Pa?" tanya Vince ketika mereka sudah sama-sama duduk berhadapan, terpisah meja besar.

"Kantor kita di London agak goyah. Papa harap kau mau ke sana untuk memperbaiki. Papa percaya kemampuanmu."

Ucapan Tuan Benetton Hong serta merta mengakibatkan Vince terkesiap. Bukan lantaran salah satu perusahaan sang ayah nyaris kolaps, tapi karena itu artinya dia harus berpisah beberapa waktu dari Ruby.

Vince gelisah. Matanya bergerak tak tenang. Kuku digigit tanpa sadar.

"Vin, ada apa? Apa kau tak mau?" tanya sang ayah.

Anaknya segera membalas tatapan Beliau, namun masih tak menemukan jawaban yang tepat.

Vince tak mungkin mengabaikan permintaan ayahnya. Dia adalah anak tunggal. Hanya ayah yang tersisa karena ibu sudah tiada sejak Vince duduk di bangku SMA.

Sang Tuan Muda Hong sangat menyayangi sang ayah, begitupun sebaliknya.

Apakah Ruby akan memenangkan pertarungan batin Vince? Ayo, siapa yang akan dimenangkan Vince? Ayahnya atau Ruby?

Apakah boleh membawa serta Ruby ke London? Tidak! Itu ide buruk. Kalau ketahuan sang ayah, pasti bakal runyam urusannya.

Ayah paling tak suka mencampur pekerjaan dengan hura-hura, terlebih mengenai wanita. Bisa-bisa ayahnya murka dan membekukan semua aset untuk Vince!

"Umh... err... baiklah. Baiklah, Pa. Aku... aku ikut apa kata Papa saja. Kapan kita berangkat?" Akhirnya Vince memenangkan sang ayah di atas Ruby. Tak apa, berkorban sebentar tidak bertemu Ruby asalkan aset tidak dibekukan.

"Kau sendiri ke sana, Vin. Papa ingin kau yang ke sana sebagai wakil Papa," sahut Tuan Benetton bagai tembakan peluru di kepala Vince.

"Apa?! Aku sendiri?!" Vince nyaris melompat dari kursi saking kagetnya. Ia cengkeram kuat pegangan kursi. Otak terus berpikir. 'Papa pasti sedang mengujiku. Ya, ini pasti ujian dari dia. Papa ingin mengukur kemampuan bisnisku!'

"Bagaimana, kau sanggup? Papa sudah belikan tiket untuk minggu depan. Kau bisa pelajari sebentar seluk-beluk perusahaan kita di sana selama seminggu." Tuan Benetton Hong bangkit dari kursinya, lalu balik badan membelakangi sang putera. Ia memandangi taman melalui pintu geser dari kaca.

"Minggu... depan, yah?"

Benetton Hong melirik sekilas ke belakang tanpa memutar kepala. "Hanya kau harapan Papa satu-satunya, Vin. Kalau bukan kau, siapa lagi? Tak mungkin Papa kirim orang lain ke sana."

Vince mengakui ucapan ayahnya benar. Memang seharusnya dia yang menangani ini. Toh, nantinya perusahaan akan diwariskan ke dia juga.

Selama 3 tahun ini dia sudah masuk ke salah satu perusahaan sang ayah di bidang mebel.

Tuan Benetton memiliki banyak bisnis. Dari ritel, elektronik, mebel, hingga makanan. Semuanya berskala internasional.

Vince diberikan amanat mengelola bisnis mebel rotan dan kayu. Usia 27 tahun ini dia sudah menjadi pengusaha muda di bidang classic furniture.

Vince cukup berhasil menangani perusahaan mebel ayahnya. Bahkan sudah mendunia, tersebar di Eropa dan Amerika.

Di London hanya ada perusahaan elektronik. Itu artinya Vince harus benar-benar mempelajari seluk-beluk seperti sang ayah katakan.

'Oke, aku akan pelajari. Siapa tau setelah ini aku akan diserahi semua perusahaan elektronik. Kalau sudah begitu, aku bisa enteng melamar Ruby. Yah! Itu rencana sempurna!' Vince senyum-senyum sendiri membayangkan berumah tangga dengan Ruby. Pasti anak-anak mereka akan cantik dan tampan seperti orangtuanya.

-0-0-0-0-

Kesibukan Vince mempelajari tentang bisnis di London ternyata sangat menyita perhatian dan waktunya. Dia susah keluar. Sang ayah terus menempelinya untuk memberikan pengarahan bersama tim ahli lainnya.

Kadang Vince hanya bisa bertukar kabar saja melalui ponsel ke Ruby, meminta wanita itu sabar menunggunya.

Ia sudah menjelaskan ke Ruby mengenai urusan dia di London minggu depan. Ruby bilang, oke tak apa, dan komunikasi pun hanya bisa dilakukan melalui chat pribadi.

Selama seminggu ini, Vince hanya bisa dua kali menemui Ruby. Itupun tak bisa berlama-lama karena keterbatasan waktu dan sudah ditunggu tim ayahnya untuk membahas bisnis.

-0-0-0-0-

Tibalah hari keberangkatan ke London. Ruby tak bisa mengantar karena harus ke kafe. Vince memaklumi.

Di London, dia benar-benar pontang-panting mengurus segala sesuatunya. Perusahaan sang ayah sungguh diujung tanduk karena beberapa masalah, baik internal maupun eksternal.

Vince nyaris menyerah jika bukan karena ini merupakan masa depan dia dan Ruby. Pemikiran itu yang bisa membuat dia terus berjuang di London mengembalikan kestabilan perusahaan.

Akibat parah dan banyaknya masalah di London, mengakibatkan Vince tak bisa pulang dalam waktu dekat.

"Sudah sebulan lebih. Hghh..." keluhnya suatu malam ketika selesai meneliti data perusahaan. Sesekali dia menengok ke ponsel di dekatnya, siapa tau Ruby membalas chat-nya.

Sekali lagi desah napas keluar begitu tau layar ponsel tetap kosong tanpa ada notifikasi yang datang.

"Dia juga sibuk di sana, yah?" gumam Vince sebelum kembali menekuni data di depan mata.

-0-0-0-0-

Dua bulan tak terasa sudah dijalani Vince di negeri orang. Tiap kali dia ingin menyerah, kali itu pula bayangan menikahi Ruby terlintas dan membangkitkan semangat yang luntur.

Di bulan ketiga, perusahaan mulai stabil, meski belum sepenuhnya. Vince benar-benar bekerja keras. Itu semata agar dia lekas pulang.

"Anak Papa memang hebat." Demikian pujian dari Benetton Hong ketika menghubungi Vince. "Keputusan Papa tidak meleset, hahaha. Kau memang putera yang sangat membanggakan. Papa beruntung memilikimu."

Hidung Vince terasa kembang-kempis saking senangnya. "Apakah aku sudah bisa pulang, Pa?"

"Jangan dulu, Vin. Bulan depan. Lebih baik bulan depan saja sembari menunggu wakil Papa ke sana menggantikanmu. Kemarin dia sedang mengurus istrinya yang sakit, makanya Papa tugaskan kau."

Vince menahan sesuatu yang terasa berat di dada. Sebulan lagi. Ia harus menunggu sebulan lagi untuk bertemu pujaan hati.

-0-0-0-0-

"Kirimkan saja mobilku ke Chek Lap Kok (nama Bandara Internasional di Hongkong), aku akan langsung menemui teman begitu tiba." Vince mengemasi barang-barangnya sebelum ia masuk taksi menuju bandara Heathrow.

Anak buahnya langsung mengiyakan dan sambungan telepon ditutup.

"Aku akan kejutkan Ruby. Hahah, pasti dia kaget dan memelukku erat-erat begitu aku menemuinya." Vince mengelus bungkusan beludru sepanjang kotak pensil. Itu adalah satu di antara banyaknya hadiah untuk Ruby.

"Papa, aku sudah sampai Heathrow. Nanti aku tidak langsung ke rumah. Aku harus menemui seseorang dulu. Bye, Pa!" ucapnya melalui telepon sebelum dia mematikan ponsel karena akan naik ke pesawat.

-0-0-0-0-