Arrggg..
Macan itu mendekati dua orang pendaki yang mengganggu di wilayahnya.
"Ratu hati-hati. Si Putih sudah lama di lepas di habitatnya, saya takut dia akan menjadi buas."
"Kemarilah Putih."
Beberapa detik setelah Si Putih melihatkan lambang Kerajaan yang di miliki Sang Ratu, Macan Putih pun jinak.
***
Setelah kejadian kebakaran beberapa tahun yang lalu, indera penciuman Si Putih hilang. Sejak saat itu ia di latih Sang Ratu terdahulu untuk mengenali pemiliknya dengan lambang kerajaan yang di miliki oleh Putri kecilnya.
"Sudah lama sekali, maaf baru berani untuk menemuimu. Kau selalu mengingatkanku pada Ibu dan kakakku. Aku sangat merindukannya."
Ratu Borneo mengelus dan memeluk Putih beberapa kali.
***
Putih kehilangan kendali sejak kehilangan Putra Mahkota. Kejadian yang menoreh luka bertahun-tahun, Kerajaan Khatulistiwa kehilangan Putra Mahkotanya.
***
# 10 tahun yang lalu
"Raja kediaman Putra Mahkota, terlalap oleh api."
"Apa yang kalian lakukan, cepat selamatkan Putra Mahkota."
Pemberontakan yang di dalangi Paman dan petinggi kerajaan membuat sejarah kelam di Kerajaan Khatulistiwa.
Perang saudara tak dapat di hindarkan lagi. Ayahanda dan Paman pun tewas di tangan pihak ketiga yang masih belum di ketahui sampai detik ini.
***
"Ratu, hamba mohon di titahkan untuk membunuh Si Putih Sang Pangeran. Putih telah membunuh para penjaga. Hamba mohon Sang Ratu."
Entah bukan karena Ibunda tidak tahu tapi hanya tidak ingin mendengar tentang penjaga Si Putih yang selalu terbunuh karena kebuasan Putih yang menjadi-jadi karena kehilangan tuannya.
"Ibunda, apa boleh aku melihat Putih."
"Apa kau bisa menggantikannya?"
"Apa boleh?"
Ratu yang dingin menanggapi putri kecilnya hanya terdiam sejenak.
"Baiklah, berikan plakatmu pada Ibu."
Sejak saat itu ibunda tak pernah bertemu denganku. Beberapa kali kulihat ibunda terluka dan kesakitan, tapi keesokannya ibunda menghilang beberapa hari dan seperti itu sampai berbulan-bulan dan akhirnya ibunda tak bisa bangun untuk menghilang lagi. Luka Ibunda semakin banyak dan sangat parah.
"Putri, Ratu memanggil tuan Putri."
"Benarkah?"
Rasa rindu yang menyeruak membuatku tak bisa melihat luka ibunda saat itu.
"Ini plakatmu Putri Borneo, Tuan Putri Mahkota anakku."
Pertama kalinya ibunda mengakuiku sebagai putrinya.
Aku hanya bisa menangis untuk yang pertama dan terakhir kalinya, karena keesokannya Ibunda sudah tiada.
***
"Piqwi, bisakah meninggalkanku sebentar."
"Baik Ratu. Panggillah hamba jika Ratu butuh bantuan."
Anggukan yang penuh artipun membuat Piqwi pergi.
***
"Putih aku akan pergi beberapa hari, selama aku pergi kau harus tetap tenang disini seperti sebelumnya. Tunggulah aku disini. Aku tak akan lari darimu lagi."
Si Putih hanya menyodorkan kepala besarnya ke wajah Ratu Borneo yang menatap langit hingga tertidur pulas.
***
Wajah itu mulai terlihat lagi dengan jelas, tapi kali ini dia tersenyum terhadapku. Tak pernah ada lagi mimpi buruk itu. Akhirnya aku akan pergi.
***
"Hai, Ratuku."
Seorang Pangeran mencium tanganku dengan lembut.
"Aku dengar kau memberanikan diri bertemu Si Putih. Aku sangat kaget ketika Piqwi memberiku kabar."
"Apa, kau masih saja ingin tahu tentangku ternyata. Sebab itu kau memberikan Piqwi padaku?"
Dia hanya tertawa bangga.
***