Chereads / Ranting - Ranting Patah / Chapter 1 - Prologue

Ranting - Ranting Patah

Tomi_Saputra
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 10k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prologue

Seorang pemuda berperawakan cukup kurus sedang duduk termangu, sembari memegang kumpulan kertas nan tertata rapi dengan segala rupa dekorasinya. Tertulis dengan jelas kalimat membosankan yang selalu muncul disemua kartu undangan pernikahan. "Selamat menempuh hidup baru".

Wajahnya dipahat tidak begitu lembut, kesan pertama orang baru pertama kali bertemu selalu beranggapan sedang berhadapan dengan pemuda apatis yang mudah mengamuk dan mengumpat ketika disalip menelusuri sepanjang perjalanan dalam menikmati macetnya Dago yang perlahan semakin sumpek seiring semakin banyak kendaraan murah berseliweran dengan congkaknya. Atau memaki waitress jika terlambat mengantarkan pesanan meskipun itu hanya kentang goreng yang bakal disuguhkan untuk 5 orang sembari menghabiskan waktu sekian lamanya nongkrong. Tidak bisa dipungkiri jika memang sorot matanya begitu mengintimidasi sehingga segala prasangka bisa dengan mudah terlontar menghakimi pemuda ini.

Namun, jika diberikan kesempatan untuk berbincang lebih lama kamu akan menemukan keramahtamahan dan kerendahan hatinya. Begitulah kemasan seseorang masih seringkali jadi tolak ukur kepribadian.

2 cangkir Americano dan sebungkus rokok impor pahit tak kunjung bisa menghibur lamunan Disa, kata demi kata dibaca perlahan dengan khidmat bahkan menebak font apa yang digunakan untuk dekorasi kumpulan lembaran kertas cantik itu.

Hal yang sungguh tidak berfaedah dilakukan untuk pembunuh waktu ditemani dengan gerimisnya kota kembang, sepertinya musim hujan masih betah berlama-lama tinggal dan menumpahkan air matanya ditiap senja menuju penantian akan malam, tentunya dingin menyapa hingga menusuk tulang. Meskipun syal dari wol hangat serta parka tebal menutupi tubuh tak kunjung bisa menghangatkan, mungkin saja karena ini adalah masalah hati yang telah beku dari menjelang Dzuhur dihari itu.

Ruangan cafe di persimpangan jalan Braga ini cukup Instagramable, tentunya membuat pengunjung saling berpose ria untuk dipamerkan via media sosial masing-masing. Perlahan perkembangan teknologi membuat tren baru, 'wisata foto' demikianlah istilah yang Ia dengar dari salah satu kolega yang memposisikan diri sebagai pengamat media sosial jaman now. Meski tanpa sertifikasi dari badan tertentu kolega ini memang punya analisa mendalam akan perilaku terbaru masyarakat memberikan respon akan perkembangan.

Suatu hari Ia berujar, "Disa sadar kah kau bahwa kenikmatan berwisata bukan lagi seperti pada masa sebelum smartphone merajalela menguasai era generasi menunduk ini? Hampir semua orang berekreasi ke tempat wisata hanya untuk pamer di dunia maya, waktu berkualitas untuk menikmati liburan tidak lagi menjadi bagian penting, atau kurangnya bersosialisasi dengan teman tongkrongan sambil bercanda, bagian ini sudah tergusur oleh kecanduan akan Mobile Legend atau percakapan pesan singkat lainnya" Selalu dengan bersemangat menjabarkan pengamatannya, jika sudah mencapai bagian ini Disa biasanya tidak terlalu begitu menanggapi, baginya hanya bisa mengagumi orang-orang yang punya cukup waktu luang untuk bisa memikirkan hal sesepele kemudian bisa dikemas sedemikian rupa dirubah menjadi diskusi yang menarik. Entah kenapa saat ini pembahasan seperti itu dirindukan. Mungkin cukup efektif untuk mengisi kekosongan atau hanya sekedar mengalihkan perhatian sejenak dari kegundahan pada masa ini.

Perlahan lamunan Disa menjadi begitu liar, semua kebisingan hasil kolaborasi antara pengunjung dan lantunan musik jazz seakan menjadi ditiadakan. Tidak lagi menarik perhatian. Dalam benaknya beranjak menyeberangi selat Sunda, melintasi kumpulan kota menuju suatu dusun di Ranah Minang. Bayangan berlarian di pematang sawah dengan segerombolan bocah bertelanjang kaki meliuk-liuk dengan senangnya, hingga semua kumpulan pertemanan ini terjatuh dalam genangan lumpur coklat yang lengket. Bagaikan suatu candu hal ini begitu berulang dilakukan dari tahun ke tahun.

Atau bermain layang-layang ketika matahari menapaki persis di arah jam 12, tanpa pelindung kepala tetap saja bermain tanpa henti. Setelah kelelahan bermain seharian, menjelang magrib langkah kaki itu beranjak ke surau untuk menyerap pendidikan agama. Rutinitas kehidupan yang dijalani hampir satu dekade masanya.

Tentunya ketika itu tidak ada beban akan pelik kehidupan yang penuh kepalsuan dan panggung untuk bertahan hidup. Suatu alibi untuk berlaku seenaknya dengan alasan kebutuhan. Disa terlalu naif untuk mengakui ini.

Disela lamunan mengawang akan masa kecil, perlahan pandangan tergelitik oleh kemunculan sesosok gadis berkerudung biru langit, terlihat begitu asyiknya mengarahkan lensa kamera ke seputaran perempatan jalan Braga. Sepertinya dia sendirian tapi tidak terlihat takut atau keraguan dari gestur tubuh maupun mimik wajahnya. Belakangan Disa baru mengenal bahwa gadis ini bernama Gilang Alfa Maharani.