Chereads / Diego & Irene / Chapter 77 - Chapter 74 : Terkejut

Chapter 77 - Chapter 74 : Terkejut

At Intan's House. Jakarta Selatan—Indonesia | 06:30 AM.

Saat Irene terbangun, tubuhnya terasa remuk. Sesuatu memeluk perutnya dan dia menoleh, menemukan Diego yang tidur telungkup disampingnya dengan napas teratur.

Irene ingat apa yang terjadi semalam, sangat ingat ketika Diego benar-benar tidak memberikan jeda—menunjukkan apa yang lelaki itu inginkan di atas tubuhnya—memompanya bertubi-tubi, tapi terasa lembut ketika bergerak. Malam itu juga mereka pertama kali mencoba sekaligus menikmati berbagai cara untuk saling memuaskan. Bahkan ketika klimaks itu datang, kegilaan mereka tidak padam. Keras dan panas, hingga akhirnya terbakar dalam gairah yang menyenangkan. Ah, jadi ini rasanya malam pertama...

Irene tersenyum kecil, lalu menyugar rambutnya dan mendesah. Dia menoleh dan memperhatikan Diego dari samping. Diego Alvaro, pria menakjubkan malam tadi kini tertidur seperti bayi. Pulas sekali. Mungkin Diego lelah, bahkan sepertinya melihat senyum kecil di bibir seksinya ketika tidurpun menunjukkan lelaki itu sangat puas. Irene ikut tersenyum. Dia lalu merendahkan kepalanya, mengecup pipi Diego.

Setelah itu, dengan perlahan Irene mencoba bangkit, memilih untuk tetap telanjang dan berjalan ke kamar mandi. Irene masuk—mengedarkan pandangan, meringis kecil ketika nyeri di bagian bawahnya kembali terasa. Kemudian Irene memutar keran air hangat sebelum melangkah ke arah cermin. Dia mengusap permukaannya yang berembun. Hingga pantulannya di cermin membuat ekspresi Irene berubah. Damn! Ada banyak hickey Diego ditubuhnya. Terutama lehernya, dada, perut, bahkan di antara kedua paha juga ada. Diego memberinya tanda dimana-mana.

Berusaha mengabaikan itu, Irene buru-buru menjauh dari cermin. Dia lalu memilih untuk segera mandi dengan berjalan ke arah bathtub, merendam tubuhnya dengan sabun beraroma stoberi. Memejamkan mata ketika rasa nyaman itu datang. Irene suka sekali berendam, apalagi dengan air hangat.

Dan lima belas menit kemudian Irene telah selesai, langsung melangkah keluar dengan kimono putihnya. Bersamaan dengan itu juga Irene memerhatikan kamarnya—tidak ada Diego. Well, mungkin suaminya itu sedang berada diluar. Irene harus segera kesana dan menemuinya.

Entahlah... Irene tidak tahu kenapa dia ingin terus berada didekat Diego. Meskipun sebentar, dia tidak ingin jauh-jauh dari Diego. Ya ampun... Irene! Kenapa kau menjadi seperti ini?

Aish, apa ini efek pengantin baru?

•••

Dengan dress cantik berwarna putih selututnya, Irene baru mencapai undakan tangga paling bawah ketika tidak sengaja melihat Christian berlari ke arah hall depan dengan tergesa sembari membawa borgol, membuat Irene bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

"Chris! What happen?"

Christian berhenti dan menoleh padanya. "Tuan muda, nona." jawab Christian cepat—sedikit menunduk, kemudian lanjut berlari.

"Diego?" gumam Irene pada dirinya. Penasaran, dia berjalan cepat ke arah Christian pergi.

Dan ketika Irene sudah sampai disana, dia tahu jawabannya. Diego memukuli seorang pria bertubuh besar yang sama sekali tidak Irene kenali. Irene juga langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan dan bergumam tidak percaya. Bahkan darisini, Irene bisa melihat bagaimana wajah pria itu terlihat mengerikan dengan lebam biru dan darah dimana-mana.

Irene meringis ketika Diego menendang perut pria itu. Tubuh pria itu langsung terkapar—tidak berdaya, tapi seakan belum cukup, Diego dengan wajah menyeramkannya—meraih vas bunga yang ada didekatnya untuk memecahkan kepalanya, dan itu lagi-lagi membuat Irene meringis.

Irene menatap ke segala arah, kemudian matanya mendapati Intan, Jasmine dan Angel yang juga sama seperti dirinya—berdiri mematung di tempat sembari menutup mulut—menatap Diego dengan pandangan ngeri.

Entah berapa lama Diego seperti itu, yang jelas ketika pria bertubuh besar itu diam dengan tubuh kaku, Diego merenggangkan lehernya dan berlalu darisana. Diego menoleh ke arah Irene yang masih termangu dan menatapnya tak percaya.

Diego bergumam halus dan dalam ketika dia sampai pada Irene. "Inilah yang akan terjadi jika ada orang yang berani menyakitimu."

"Diego..."

"Dia hampir saja membunuhmu ketika kita sedang mengucapkan sumpah."

"Oh, Jesus!" Irene makin terkejut, menutup mulutnya lagi sembari melirik ke arah pria bertubuh besar itu.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia mengincarku?" Irene menatap Diego penuh tanda tanya.

"Itu karena...." Diego menggantungkan kalimatnya, menahan geraman dengan rahangnya yang mengeras, tampak kesal. "Jangan terlalu dipikirkan. Sebaiknya kau kembali ke kamar. Pelayan akan mengantarkan makanan dan vitamin untukmu."

"Tapi Diego—"

"Menurutlah. Ini demi kebaikanmu." potong Diego cepat, menolak mendengar kelanjutan ucapan Irene.

Kemudian Diego berlalu darisana.

Irene menelan ludah dan menunduk, menatap nanar pada lantai marmer putih yang dia pijak sebelum mengangkat kepalanya dan menemukan jika pria itu masih terbaring tak berdaya.

"Urus dia." perintah Diego pada Christian. Christian pun langsung menurut dengan memborgol kedua tangan pria itu, membuatnya berdiri, lalu membawanya ke luar.

Sementara itu Irene mengejar Diego. Diego akhirnya berdiri di hadapan jendela kaca yang besar—memunggunginya—ketika Irene masuk kedalam ruang tamu.

Irene berdehem, mencoba mencuri perhatian Diego kepadanya.

"Kenapa tidak ke kamar?"

Irene mendengus dan menatap punggung lebar Diego. "Kau keterlaluan. Semua keluargaku dan Keluargamu ada di rumah ibu tiriku. Kedua ibuku... melihatmu menghajarnya, kau mau membuat mereka takut memiliki menantu sepertimu?" Irene mengabaikan pertanyaan Diego dengan mengeluarkan gerutuannya.

Diego terkekeh kecil, dan itu sedikit membuat Irene terkejut. "Itu bukan masalah besar. Lagipula aku tidak sampai membunuhnya."

"Kau membuatnya sekarat, menyuruh Christian memborgolnya dan membawanya ke luar, entah kemana aku tidak tahu, tapi—apa katamu tadi? Tidak sampai?" Irene meringis, berdecak sebal dan melangkah maju—berdiri disamping Diego. "Kau ini! Aku yakin dia akan kehilangan nyawanya tidak lama lagi."

"Benar." tukas Diego cepat, melangkah ke arah depan tempat Irene berdiri. Lelaki itu menghadap Irene, menatapnya lekat. "Mereka tertarik melihat kau yang bersinar dalam hidupku yang penuh kegelapan. Aku bahkan telah membawamu kedalam situasi yang mengerikan. Kau terlalu berharga. Karena itulah.... Musuh, perusak, parasit, orang-orang yang tidak berguna—harus disingkirkan."

Ekspresi Diego menggelap ketika melanjutkan. "Dan ketika mereka berani menyentuh istriku, hanya kematian sebagai hukumannya."

•••

Irene melangkah tanpa kata menuju kamarnya. Usai percakapannya dengan Diego, Irene hanya bisa menerima dan tidak membantah apa yang Diego kehendaki. Diego terlalu kejam. Tapi dengan kekejamannya itu, Diego bisa bertahan hidup sampai sekarang. Karena dunia ini hanyalah sebuah permainan, yang dimana kau harus memilih salah satu dari dua opsi;

Membunuh atau dibunuh.

Padahal hanya itu. Sesimpel itu. Tapi dibalik semuanya banyak sekali orang yang meregang nyawa, membuat istri mereka menjadi janda, membuat anak mereka menjadi anak yatim. Memikirkan ini, Irene tidak tahan.

Oh, Tuhan... Irene merasa dirinya tidak normal.

Mencoba mengusir pikirannya itu, Irene langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang miliknya yang empuk. Hingga tiba-tiba suara ketukan pintu membuat Irene terduduk. Dia lalu segera membukanya, mendapati seorang pelayan wanita yang membawa meja dorong berisi berbagai jenis makanan dan minuman.

"Saya sudah menyiapkan sarapan untukmu, Nyonya. Ini hampir siang, kau belum makan apa-apa. Mohon untuk menghabiskan semua makanan ini."

Irene melirik meja yang dibawanya. "Sebanyak itu?"

Pelayan itu mengangguk. "Saya hanya mematuhi perintah Tuan besar, Nyonya."

"Oh, Tuhan! Aku bisa gendut!" keluh Irene, matanya menatap nanar meja yang penuh dengan makanan dan minuman itu. Mulai dari bubur ayam, sayur bayam, roti selai, cookies, pancake, pudding, segelas susu vanilla dan air putih, juga ada vitamin.

Padahal hanya sarapan untuk satu orang. Tapi kenapa porsinya malah melebihi satu orang?!

Tidak! Aku tidak mungkin bisa menghabiskan semua makanan ini! teriak Irene dalam hati.

Pelayan itu hanya diam.

"Aku tidak mau!" Irene bergidik, jelas sekali perutnya tidak akan muat.

"Tolong dimakan, Nyonya..." suara Pelayan itu berubah memohon, sambil menunduk dalam.

Melihat itu Irene mencebikkan bibirnya. "Baiklah! Tapi aku hanya akan makan bubur dan air putih. Vitaminnya pahit! Aku tidak akan meminumnya! Oh iya, kau tidak boleh memberitahu Di—"

"Jadi kau tidak mau minum vitamin?" potong seseorang, itu suara Diego.

Irene terkesiap, langsung menoleh ke arah asal suara dan menemukan Diego baru saja masuk—melangkah mendekatinya.

"Rasanya pahit! Aku tidak suka, Diego!"

"Kau sedang hamil, Irene." tukas Diego. Mengabaikan erangan penuh penolakan Irene dengan memberikan tatapan gemasnya. "Minumlah. Hanya sebentar pahitnya, setelah itu tidak lagi." ucapnya, mengacak puncak kepala Irene.

"Astaga. Rambutku berantakan, Diego!"

"Berantakan? Seperti ini?" Diego terkekeh geli, lalu mendorong tubuh Irene hingga telentang—menindihnya, mencium bibirnya keras.

Sementara disana, pelayan wanita yang sejak tadi diam sembari memerhatikan mereka langsung menunduk, kemudian mundur perlahan, meninggalkan mereka. Hingga beberapa langkah keluar, sang pelayan mendengar suara desahan dibelakangnya.

Dan benar saja, didalam sana Irene dibuat sangat berantakan oleh tangan nakal Diego.

•••

"Kau tadi melihat Diego melakukannya?" tanya Jasmine dengan wajah cemas.

Irene mengangguk.

"Nak... Diego memang sulit mengontrol emosinya. Apalagi jika dia sudah berhadapan dengan orang yang menganggu dia, pasti sifat kejamnya akan keluar. Mommy harap kau tidak takut padanya setelah kejadian ini." ucap Jasmine, meraih tangan Irene dan menggenggamnya erat.

Irene tersenyum, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. "Aku tidak takut, Mom. Jangan khawatir.... Lagipula ini juga bukan pertama kali aku melihatnya berbuat kejam."

Jasmine menggigit bibir bawah, jari jempolnya mengelus tangan Irene. "Syukurlah, aku merasa lebih baik setelah mendengarmu."

Irene tersenyum lagi, dan senyumnya menular. Jasmine juga tersenyum, menunjukkan bahwa kekhawatirannya mulai mereda. Aish....Dasar Diego! Anak itu sepertinya tidak pandai mencari tempat untuk melampiaskan amarahnya hingga nekat melakukan itu dirumah ini. Ulangi, di rumah ini! Rumah mertuanya! Jasmine bahkan tidak tahu apa yang ada di kepala Angel dan Intan tentang anaknya setelah melihat adegan sadis itu secara langsung. Ya, Lord! Jangan sampai mereka berpikir buruk tentang anaknya. Jangan sampai...

Jasmine baru saja ingin melanjutkan kalimatnya ketika suara sapaan di belakangnya membuatnya menoleh.

"Mommy Jasmine?"

Hanya ada Jasmine dan Irene yang duduk di meja makan tersebut sontak menoleh.

Jasmine memperhatikan wajah wanita itu. Tidak kenal. Tapi kenapa wanita itu mengetahui namanya?

"Who are you?" tanya Jasmine bingung.

Wanita itu tersenyum tipis, matanya beralih menatap Irene. Bersamaan dengan itu senyumnya menghilang. Dia menatap Jasmine lagi, kali ini sembari berjalan mendekat, duduk di samping Jasmine.

"Lovelyn Mikhailova. Aku Mi Lover, Mom." jawabnya.

"Mi Lover?" Jasmine langsung berdiri, terlampau terkejut. Matanya melotot.

Irene juga sama terkejutnya. Tapi Irene menyembunyikan ekspresinya dengan wajah datar dan tetap diam di tempatnya—memerhatikan mereka.

"Kenapa kau datang kemari?" tanya Jasmine ketus.

Mi Lover ikut berdiri, meletakkan tangannya ke belakang sembari menunduk. Tampak seperti orang yang tengah menyesal. "Aku minta maaf, Mom."

"Wait—Kenapa wajahmu berbeda dari yang terakhir kali?" tanya Jasmine cepat.

Mi Lover mengangkat kepalanya. "Aku telah melakukan operasi plastik sebanyak dua kali, Mom."

"Dua kali?" ulang Jasmine.

Mi Lover mengangguk. "Sebanyak itu pula Diego merusak wajahku. Hingga aku harus melakukan operasi untuk memperbaiki wajahku." ujarnya.

"Astaga...." gumam Jasmine tak percaya, langsung mencengkram pegangan kursi—hampir terjatuh. Wajahnya berubah syok.

"Dan kau datang kemari untuk meminta pertanggungjawaban suamiku?" sahut Irene dingin, menaikkan sebelah alisnya, menatap Mi Lover datar.

Mi Lover tertawa kecil. "Aku seharusnya meminta itu sejak satu bulan yang lalu. Kedatanganku kemari bukan untuk itu. Ah, dimana Diego?"

Irene hendak menjawab, tapi suara lain menghentikannya.

"Kau menungguku, Mi Lover?" suara bariton rendah yang sangat Irene kenal terdengar menggema dan itu membuat mereka bertiga menoleh ke arah Diego.

Lelaki itu berjalan dari arah tangga, memakai setelan jas berwarna biru tua yang elegan. Aura kuat dan menakutkan langsung terasa begitu kaki panjangnya melangkah lebih dekat. Membuat ketiga wanita cantik itu memusatkan perhatiannya kepadanya, sementara wajahnya tampannya menatap mereka satu persatu.

Irene melirik Mi Lover, melihat perubahan di wajah Mi Lover. Wanita itu.... matanya berbinar-binar ketika suaminya datang.

Kurang ngajar. Batin Irene.

Irene langsung berdiri, kemudian mendorong kursinya mundur dan berbalik, pergi menjauhi meja makan—menolak untuk melihat kebersamaan Diego dan Mi Lover yang sebentar lagi akan terjadi.

"Mau kemana?" Diego menangkap lengan Irene ketika istrinya itu berjalan melewatinya tanpa melihatnya sedikitpun, membuat Irene berhenti.

Irene menoleh. Bibirnya mencebik. "Mantanmu datang! Aku tidak tertarik melihat kalian."

Diego menatapnya, tampak bingung. "Baiklah... Setelah itu kau akan apa?"

Irene jadi kesal sendiri. "Tentu saja masuk ke kamar dan mengacak-acak kasur sambil berteriak kesal karena Mi Lover menemui suamiku padahal kami baru saja menik—" Irene melotot, langsung berhenti bicara dan.... Oh, Tuhan!

Irene gelagapan, "—Lupakan! Lupakan itu!"

Astaga, bodohnya dia! Kenapa dia keceplosan?! Ugh... Irene malu. Benar-benar malu.

Sementara itu, Diego malah menyeriangi. Irene ingin kabur, tapi Diego tidak melepaskannya. "Kau cemburu?"

"Tidak!"

"Kau yakin?" Diego lagi-lagi memberikan tatapan polosnya. "Apa kau tidak takut dia akan mengambilku darimu? Menjauhiku darimu? Atau, mengabaikanmu dan membuatku tidak ingin lagi menciummu?"

Kekhawatiran disertai rayuan dalam ucapan Diego memanaskan darah Irene. Namun, Irene menahan ekspresinya, memberikan tatapan kesalnya pada Diego. "Aku akan menghajarmu habis-habisan kalau kau sampai meninggalkanku! Ingat itu!" ancam Irene, kemudian melirik Mi Lover sinis.

Diego menganga, tidak menduga Irene akan menjawab seperti itu. Dia akhirnya tertawa.

"Istriku sedang marah, ya? Katakan, kau memberiku waktu berapa lama untuk bertemu Mi Lover? Satu menit? Dua menit?"

"Satu menit!" jawab Irene cepat.

Diego terkekeh, mencubit pipi Irene gemas sebelum bergerak mencium keningnya. "Baiklah, sesuai keinginan Mrs. Alvaro. Hanya satu menit."

Sialan. Diego sialan. Kata-katanya membuat Irene berbunga-bunga. Bisa-bisanya Diego melakukan ini ketika dia terlanjur menunjukkan ketidaksukaannya pada Mi Lover terang-terangan. Menyebalkan sekali.

"Harus satu menit pas. Tidak boleh lebih!" peringat Irene. Ini yang terakhir kali, karena itu dia langsung pergi.

Diego menatap punggung Irene yang menjauh, tersenyum kecil sembari menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Diego ingin sekali tertawa. Menggoda Irene sudah menjadi kegiatan favoritnya. Percayalah, wajah Irene menjadi lebih cantik ketika kesal, dan Diego menyukai itu.

"Hai....Senang bertemu denganmu." itu suara Mi Lover. Datangnya dari arah belakang, karena Diego masih memperhatikan punggung Irene yang makin menjauh.

Begitu Irene tidak ada dimatanya lagi, barulah Diego berbalik. Dan didepannya kini, Mi Lover, sedang tersenyum manis padanya.

"Bisa langsung saja?" Diego melirik arlojinya, enggan menatap Mi Lover.

Mi Lover menyadari itu. Namun, Mi Lover tidak menyerah, dia baru saja memulai rencananya. Tenang saja....ini baru awal.

To be continued.

Plis, baca dulu sebentar Author notenya😭

Jadi gini, Ina mau minta maaf sama kalian. Pada Readersku, terutama pembaca setia Diren (Diego Irene), Ina minta maaf atas lamanya update cerita ini. Alasannya cuma satu; cerita ini aku pending!

Kenapa? Karena tiba-tiba aja rasa ingin menulis dalam diri Ina gak ada selama itu. Mungin karena mood Ina yang akhir-akhir ini jelek terus. Maaf ya....🙏🏻

Oke, segitu saja deh.

Terimakasih sudah membaca! Semoga suka!😘

See you bye-bye!🌹

With♥️, Ina.