Diego memilih untuk duduk, tepat di paling ujung meja makan panjang tersebut. Mi Lover mengikutinya, duduk tepat di sebelahnya.
Dua detik
Lima detik
Sepuluh detik
Mi Lover tidak kunjung bicara, Diego mulai bosan. Lelaki itu menghembuskan napas. "Katakan saja, Mi Lover." ujarnya, kemudian mengambil anggurnya.

"Waktumu tiga puluh detik. Irene menungguku." ucap Diego setelah meminum anggur itu, sembari meletakkannya kembali.
"Aku dan Alex... akan segera menikah." ucap Mi Lover akhirnya.
Diego tersenyum tipis. "Well, selamat, Mi Lover." ucapnya, lalu berdiri, merapihkan kemejanya. "Beritahu aku kapan tanggal resminya." ucapnya lagi, kemudian berbalik.
"Tunggu dulu!" ucap Mi Lover cepat, membuat Diego berhenti.
Diego berhenti, kemudian berbalik dan menatap Mi Lover sembari menaikkan satu alisnya. "Apa lagi?"
"Untukmu." Mi Lover memberikan sebuah kunci. Kunci mobil. Mobil pemberian Diego, yang dari dulu hingga sekarang, masih dia gunakan. Dan sekarang adalah waktunya, waktu untuk dia memberikan mobil itu kembali.
Diego bukan lagi miliknya, bukankah mobil itu juga bukan miliknya lagi?
Ah iya, itu seharusnya milik Irene. Si jalang itu.
Mi Lover menarik tangan Diego dan meletakkan kunci mobil itu disana. "Berikan saja pada istrimu. Rasanya tidak enak jika aku masih menyimpan barang pemberian dari pria yang sudah beristri. Itu akan membuatku disebut sebagai wanita jalang...." Mi Lover memberi jeda, menarik napas tajam sembari berkata. "Aku tidak sama dengannya. Aku bukan jalang."
"Mi Lover...." Diego bergumam tidak suka, mata birunya berkilat memeringati. "Jangan bawa-bawa dia. Dia istriku. Wanita kebanggaan Alvaro."
Mi Lover tersentak sembari menatap Diego takjub. "Wow... Kebanggaan?" tanyanya, tertawa mengejek. "Kebanggaan macam apa? Kebanggaan memiliki ikatan dengan seorang jalang?"
"Tutup mulutmu!" Diego membalas hinaan itu dengan tatapan mematikannya, tangannya yang terkepal dengan gigi yang bergemelatuk cukup menunjukkan bahwa emosinya benar-benar naik.
"Kenapa? Kau tidak terima mendengar kenyataannya?" Mi Lover mencoba berani—balas menatap mata Diego yang berkilat, melangkah maju dan menekan dada Diego dengan telunjuknya sembari menaikkan dagunya tinggi-tinggi—menantang Diego. "Bukan hanya aku yang tahu siapa wanita itu. Tapi semua orang. Semua orang di dunia ini tahu kalau kau menikahi wanita yang dipungut dari klub malam. Kau menikahi wanita yang kotor! Apa kau tidak malu?!"
Sialan.... Diego marah. Sangat. Dia bahkan hampir meledak, tapi suara melengking dan lemparan sepatu yang terdengar bersamaan dari arah depannya membuatnya membulatkan mata. Terkejut.
"Mi Lover! Jaga mulutmu!" Itu bentakan Jasmine. Dia masih berada disana—memerhatikan keduanya, tampak marah dengan mata menyalang ke arah Mi Lover. "Irene tidak pantas untuk dinilai oleh wanita sepertimu. Dasar pengkhianat!" geram Jasmine.
Mi Love langsung berbalik, terkejut mendapati sepatu siapa yang hampir mengenai kepalanya. "Maksud, Mommy? Aku pengkhianat?" Mi Lover menatap Jasmine tidak percaya. "Jika itu benar, kenapa Diego tidak membunuhku, huh? Dia benci pengkhianat, tapi sampai sekarang aku baik-baik saja bukan?" tanya Mi Lover bertubi-tubi.
Jasmine mengepalkan tangan. Tidak suka dengan keadaan ini. Dia akhirnya menatap Diego penuh tuntutan, memerintahkan anaknya itu untuk bicara.
Mi Lover yang menyadari itu kembali menatap Diego, memusatkan penuh perhatiannya pada pria itu.
"Katakan, Diego... Sebenarnya kau anggap aku apa?" Mi Lover bertanya lembut.
"Kau?" Diego memberikan tatapan polosnya. Tampak tampan namun menyebalkan disaat yang bersamaan. Oh, jangan lupakan mata birunya yang menakutkan tadi, entah kenapa menghilang begitu saja. Ini aneh. Diego malah begitu tenang. "Apa perlu aku menjawabnya?" ucapnya serak, menahan senyum.
Mi Lover mengangguk cepat. "Tentu saja." ucapnya, percaya diri.
Tapi sayangnya, kalimat Diego selanjutnya malah menghantam harga diri Mi Lover.
"Seseorang yang aku anggap mahal, ternyata terlalu murahan." ucap Diego, suaranya berubah dingin—membuat Mi Lover takut. Bukan takut hanya karena suaranya, tapi juga kata-katanya. Itu pernyataan yang sama sekali tidak ingin Mi Lover dengar, kata-kata yang begitu menusuk. Namun, Mi Lover terdiam, berusaha kuat menghadapi pria bermata biru yang kini tengah memindainya.
Diego menatapnya lekat, kelewat lekat. "Aku juga terlalu bodoh hingga berniat menjadikannya satu-satunya hal yang aku perjuangkan, tapi ternyata aku keliru. Ada yang lebih pantas untuk aku perjuangkan. Dan dia sudah aku dapatkan...." Diego tersenyum kecut. "Apa itu cukup?"
"Diego...."
"Aku tidak membunuhmu karena kau aku berikan kesempatan untuk berubah. Hanya itu. Jadi gunakanlah baik-baik." ujar Diego, melirik arlojinya dan meringis—sudah satu menit, dan dia masih disini. Sialan. Irene pasti merajuk. "Dengar.... Berhenti menganggap dirimu lebih baik, Mi Lover. Berkacalah. Justru kau yang membuatku malu. Bukan Irene." Diego menutup pembicaraan mereka, mengambil langkah mundur sebelum keinginannya untuk melobangi kepala orang benar-benar terjadi.
Tapi sepertinya, Diego harus melakukan satu hal. Pembicaraan mereka tidak ada gunanya, akan lebih baik jika dia mengatakan hal ini,
"Masa laluku adalah kau. Masa lalu yang tidak ingin aku ingat lagi, masa lalu yang akan aku kubur selama hidupku. Karena aku.... Membencinya." ucap Diego, kemudian menarik matanya dari Mi Lover yang kini tengah menahan sesuatu didadanya yang bergejolak.
Marah, kesal, malu, ingin menangis—itu yang dirasakan Mi Lover.
Diego pergi, meninggalkan dua wanita yang kini menampilkan raut wajah yang berbeda. Jasmine tersenyum puas, sementara Mi Lover diam membisu—dengan mata berkaca-kaca.
•••
"Alex..." tangis Mi Lover pecah, langsung berlari ke arah Alex dan memeluk lehernya. Menangis kencang di pelukan pria itu.

Pria itu balas memeluknya, mengelus punggung dan kepala Mi Lover dengan lembut. "Lovelyn? Kenapa kau menangis?"
"A-aku tadi terselandung dan jatuh. Tapi sekarang sakitnya—" sakitnya ada di hatiku, karena Diego menyakitiku—lanjut Mi Lover dalam hati. Oh, ayolah... tidak mungkin dia berkata kalau dia sedang menangisi pria lain di depan calon suaminya sendiri. "—sakitnya malah semakin sakit. Kakiku sepertinya terkilir, Alex."
Alex memerhatikan kaki Mi Lover.
"Bukankah kau tadi berlari?" tanya Alex bingung. "Kalau kakimu sakit, tidak mungkin kau bisa berlari secepat ta—"
Mi Lover melepas pelukan. "Aku tidak bohong, Alex!" potongnya cepat, menatap Alex sebal. "Gendong aku... kakiku sakit." keluh Mi Lover manja, memeluk leher Alex lagi.
Alex memutar bola matanya. "Oke. Tapi kau sudah selesai dengan mantan tunanganmu kan?"
"Sudah."
"Kita pulang sekarang?"
Mi Lover mengangguk cepat.
"Baiklah." Alex tersenyum, langsung meletakkan tangannya di punggung dan sela kaki Mi Lover—menggendong wanita itu dengan gaya bridal style dan membawanya keluar dari rumah Intan untuk kembali ke bandara—pulang ke Jerman—mansion keluarga Mikhailova.
Awalnya Alexander Matthew hanya menunggu Mi Lover di teras rumah Intan, sembari itu dia juga mengobrol dengan beberapa bodyguard berlogo ALVARO yang berjaga di depan. Tapi detik-detik yang dia lalui selama itu, Alex merasakan seperti ada yang mengawasinya. Sepertinya bukan dari mereka—para bodyguard itu, tapi orang lain yang juga sepertinya berada di rumah ini.
Alex melihat ada seorang pria berwajah dingin dan mata tajam bersetelan hitam yang tengah berdiri di atas balkon, ada juga pria tua yang memakai setelan serupa. Mereka tampak berbincang disana, dan dia tahu jelas bukan mereka yang mengawasinya.
Lalu... siapa? Kenapa Alex begitu yakin ada seseorang yang mengawasinya?
•••
Unknown Place.
Malam hari, di sebuah mansion keluarga ternama. Tepatnya di sebuah ruangan yang dingin, sunyi, minim cahaya, dan letaknya yang tersembunyi ada seorang pria yang berdiam diri didalam ruangan tersebut. Pria itu duduk di kursi besarnya, bersender dengan tangan menggenggam segelas wine, sementara satu tangannya yang lain memegang erat sebuah foto. Matanya terus memandangi foto itu, hingga kemudian bunyi ponsel yang tiba-tiba terdengar mengalihkannya.
+6281********* is calling.
Pria itu langsung mengangkatnya.
"Halo, Sir." sapa seorang pria di seberang sana. "Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Glen Michael Johanson—Ayah tiri Irene.
Nomornya berstatus internasional. Well, jadi Glen masih berada di Indonesia? pikir pria itu.
Senyum di wajah pria bermata hijau itu menggelap begitu teringat dengan rencananya. "Pertama, aku akan melenyapkan mereka." bisiknya.
Pria itu mengangkat foto yang tengah dia genggam. Sebuah foto yang berisikan lima orang—gambar wajah, dimana dari lima orang itu terdapat dua orang yang wajahnya sudah dia coret menggunakan tinta merah. Mata hijau yang menatap tajam bak jarum itu menelisik satu persatu gambar wajah kelima orang itu, terutama pada wanita yang wajahnya berada di tengah-tengah.
Dan dia adalah Irene.

"Mereka adalah sasaranku. Dylan Alvaro dan Lucas Zaviero. Kau lakukan apa yang seperti aku katakan kemarin, dan sisanya akan aku urus. Mengerti?"
"Aku mengerti."
"Kedua, jika rencana pertama berhasil, akan lebih mudah untuk kita menang. Si Alvaro itu tidak punya pelindung. Dan yang tersisa hanya istri dan ibunya...." bisiknya kejam, terutama ketika dia melanjutkan. "Habisi dulu mereka semua, baru habisi Diego Alvaro itu."
"Tapi, Sir. Bagaimana dengan Sean Morgan Alvaro?" tanya Glen khawatir.
Bagaimana tidak, orang-orang Alvaro itu terkenal sulit dikalahkan. Kelompok mafia, polisi, petinggi negara, bahkan musuh paling berbahaya pun tidak mampu mengalahkan Alvaro. Kekayaan dan kegelapan mereka seakan mengecam dunia—bahkan pengendali dunia itu sendiri adalah mereka.
"Santailah. It's not a big thing. Dia akan aku urus." ucap pria itu.
Tapi tetap saja, Glen masih sangat khawatir.
Pria itu kembali menatap foto di tangannya, jemarinya mengelus wajah wanita yang berada di tengah. Sangat cantik. Membuatnya terpana untuk kesekian kali.
"Irene terlalu menarik untuk aku lenyapkan." bisiknya serak, menyeringai. "Dia ada urusan pribadi denganku. Dan urusan kita... belum selesai. Kau jangan apakan dia dulu, Glen."
"Baiklah. Aku pastikan Istriku tidak akan tahu tentang ini, Sir." ujar Glen.
Pria bermata hijau itu tertawa senang. "Aku yakin anak tirimu itu pasti tidak akan keberatan jika kau yang memintanya bukan?"
Sementara itu ditempat yang jauh disana, Glen, pria yang sosoknya sangat tertutup itu berdiri di hall depan rumah Intan sembari menghela napas.
•••
At Intans House. Jakarta Selatan—Indonesia | 15:05 WIB.
Begitu Diego masuk ke kamarnya, Irene sudah berdiri tidak jauh di depan pintu—memandanginya. Diego sedikit terkejut, mengedipkan matanya berkali-kali. Mengabaikan debaran di jantungnya, Diego berjalan menghampiri Irene.
"Sudah?" tanya Irene datar.
"Huh?" Diego mengernyit bingung—berpikir, lalu meringis. "Tadi aku bicara banyak dengan Mi Lover karena semua itu perlu aku bicarakan padanya. Lagipula kami tidak berduaan, ada Mommy." jawab Diego. Irene makin memicing—menatapnya lekat. Tidak berkata apapun.

Diego jadi gelisah sendiri, berdehem—sebisa mungkin membuka percakapan lagi. "Kau tidak lelah berdiri? Duduklah, kakimu bisa pegal."
"Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Irene. Ketus.
Diego tertawa guyon. "Tentu saja. Kau pikir aku ini siapa? Tukang pijat?" candanya, mencoba mencairkan suasana. Namun...
Mata Irene menajam. "Bukankah aku bilang satu menit? Aku sudah menunggu lima menit, Diego!" Irene memutus pandangan, berjalan menjauhi Diego dan naik ke atas ranjang—duduk disana. Irene kembali menatap Diego, lelaki itu tengah melangkah ke arahnya. Irene mendengus. "Tetap disana! Jangan kemari!"
Diego langsung berhenti, mengernyit. "Apa katamu?"
"Pergi saja sana!" Irene menghantam kepala Diego dengan bantal, lalu berbaring di ranjang—menarik selimutnya ke atas.
Diego menyeriangi, berjalan mendekati Irene dan ikut berbaring di sebelahnya. Irene tersadar, langsung duduk dan menatap Diego kesal. "Ish, pergi sana!"
Mengabaikan erangan Irene, Diego menutup mata. Irene hendak memprotes, tapi Diego lebih dulu menariknya—membuatnya terbaring dipelukan pria itu.
"Diego! Kau ini benar-benar, ya!" erang Irene kesal.
Diego tersenyum miring. "I am." ucapnya serak, terdengar angkuh. "Sudah aku peluk begini... kau masih merajuk, eh?" kekehnya.
"Menurutmu?" tukas Irene cepat.
"Well, kau masih marah." Diego membuka mata, menarik wajahnya. Menatap Irene lekat-lekat, kemudian menarik pinggangnya. Irene menahan napas. Tangan Diego membelai perutnya.
"My babies... Katakan pada Daddy, bagaimana caranya membuat Mommy kalian senang?" ucap Diego lembut, matanya berbinar hangat. "Oh, apa Daddy harus melakukan ini?" ucap Diego, menyeriangi.
Irene menatap Diego sebal—masih marah. "Aku ingin tidur sendiri, Diego! Kau lebih baik pergi saja, kalau perlu temui mantanmu yang—" Irene menutup mata, berusaha menahan erangan. Jemari Diego sudah bermain di puncak dadanya. Irene dengan segera mendorong tubuh Diego. Diego menahan pinggangnya. "Diego...."
"Okay, aku paham. Aku yang salah. Maafkan aku."
"Sudah aku maafkan. Sekarang lepaskan aku," erang Irene tertahan.
Diego menggeleng. "Tidak bisa. Kau tidak boleh tidur sendiri, ada aku, aku akan menemanimu."
Tiba-tiba Irene teringat sesuatu. "Kau kan bilang kalau sore ini kau harus mengurus saham-saham besar itu, sekarang sudah jam—" Irene menjeda, melirik jam dinding. Pukul 15:20. Itu berarti masih tersisa sepuluh menit untuk Diego pergi bersama Christian ke kantor sebelum tepat jam setengah lima. "—waktunya sepuluh menit lagi. Kau tidak siap-siap?"
"Tidak. Nanti saja. Aku ingin disini," bisik Diego, makin merapatkan tubuh mereka. Wajah Diego tenggelam dilekukan leher Irene—mengendus lehernya, memberi Irene gigitan kecil-kecil. Irene mengerang.
"Kau tahu? Waktu yang aku lewati bersamamu, rasanya menyenangkan. Izinkan aku disini, boleh kan, Irene?"
"Baiklah.... baik," Irene mengalah. "Tapi kali ini saja ya, besok-besok kalau kau menyebalkan lagi aku tidak akan mau menurutimu. Ingat itu!" gerutu Irene.
"Yes, Mommy." ucap Diego cepat, lalu mengecup bibir Irene. Irene tersentak, bibirnya dilumat keras—penuh gairah. Liar. Panas. Lidah Diego mendesak dalam. Irene kewalahan. "Diego...."
"Yeah... it's me. Only me." desah Diego begitu ciuman mereka terlepas.
Irene buru-buru menghirup oksigen—nyaris tersenggal. Tapi Diego tidak membiarkannya lama, langsung menempelkan bibirnya di bibir Irene lagi. Tubuh Irene gemetar, Diego begitu ahli. Hingga Irene merasa dua jemari Diego bermain disana. Nikmat. Diego membawa dirinya keluar masuk lagi dan lagi, tidak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan Diego—menguasainya dalam sentuhan, ciuman, dan belaian—melanjutkan siksaannya. Meskipun tahu Diego tidak dipuasi, Irene tidak peduli. Kepala Irene pening.


To be continued.